PERJANJIAN PENGIKATAN JUALBELI (PPJB)

Posted by Adrian K Adi on 06.58


    
    Perjanjian Pengikatan Jual Beli merupakan perjanjian yang bentuknya tidak diatur dalam KUHPerdata. Perjanjian Pengikatan Jual Beli merupakan wujud dari asas kebebasan berkontrak
  Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian meliputi ruang lingkup sebagai berikut:

1.   Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian,

2.   Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian,

3.   Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya,

4.   Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian,

5.   Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian,

6.   Kebebasan untuk menerima atau meyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend. optional).

 

Menurut Prof. Subekti dalam bukunya yang berjudul Hukum Perjanjian, pada halaman 75 disbutkan “Pengikatan jual beli adalah perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli sebelum dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk jual beli tersebut antara lain adalah sertifikat hak atas tanah belum ada karena masih dalam proses, atau belum terjadinya pelunasan harga atau pajak-pajak yang dikenakan terhadap jual beli hak atas tanah belum dapat dibayar baik oleh penjual atau pembeli.

Berdasarkan hal tersebut, pengikatan jual beli merupakan sebuah perjanjian pendahuluan atas perjanjian jual beli hak atas tanah dan atau bangunan yang nantinya aktanya akan dibuat dan ditandatangani di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Dan pada pengikatan jual beli tersebut para pihak yang akan melakukan jual beli sudah terikat serta sudah mempunyai hak dan kewajiban untuk memenuhi prestasi dan kontra prestasi sebagaimana yang disepakati dalam pengikatan jual beli. Isi dari perjanjian pengikatan jual beli yang merupakan perjanjian pendahuluan untuk lahirnya perjanjian pokok/utama biasanya adalah berupa janji-janji dari para pihak yang mengandung ketentuan tentang syarat-syarat yang disepakati untuk sahnya melakukan perjanjian utamanya. Misalnya dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah, dalam perjanjian pengikatan jual belinya biasanya berisi janji-janji baik dari pihak penjual hak atas tanah maupun pihak pembelinya tentang pemenuhan terhadap syarat-syarat dalam perjanjian jual beli agar perjanjian utamanya yaitu perjanjian jual beli dan akta jual beli dapat ditanda tangani di hadapan pejabat pembuat akta tanah (PPAT) seperti janji untuk melakukan pengurusan sertifikat tanah sebelum jual beli dilakukan sebagiman diminta pihak pembeli, atau janji untuk segera melakukan pembayaran oleh pembeli sebagai syarat dari penjual sehingga akta jual beli dapat di tandatangani di hadapan pejabat pembuat akta tanah (PPAT).

Dengan demikian oleh karena dalam perjanjian pengikatan jual beli memuat syarat-syarat maka perjanjian pengikatan jual beli merupakan suatu perikatan bersyarat. Pasal 1253 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa “suatu perikatan adalah bersyarat, apabila digantungkan padanya suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan perikatan sehingga terjadinya peristiwa tersebut maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadinya atau tidaknya peristiwa itu”. Adapun syarat tangguh ditentukan dalam Pasal 1263- 1264 dan 1463 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan syarat batal terdapat pada Pasal 1265-1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) timbul dan eksis dalam praktik transaksi tanah di masyarakat karena dalam proses jual beli atas obyek tanah dan atau bangunan, seringkali terkendala pada belum dilakukan pelunasan pajak yang dibebankan baik pada pihak penjual maupun pihak pembeli, sedangkan salah satu syarat untuk melaksanakan jual beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang nantinya akan dituangkan dalam Akta Jual Beli (AJB) adalah lunasnya pajak-pajak yang dibebankan pada penjual ataupun pembeli. Akta Jual Beli (AJB) merupakan salah satu dokumen yang disyaratkan oleh Kantor Pertanahan untuk proses balik nama suatu sertifikat hak atas tanah, yang mana diketahui balik nama sertipikat hak atas tanah tersebut merupakan bukti bahwa adanya peralihan hak atas tanah. 

Pajak yang dibebankan kepada pembeli dan penjual tersebut berkaitan dengan Akta Jual Beli (AJB) oleh sebagian besar masyarakat dirasa cukup besar dan merupakan kendala proses balik nama sertipikat tidak dapat segera dilaksanakan. Hal tersebut membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) eksis di masyarakat dimana Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) merupakan salah satu jalan keluar, agar pembeli yang belum dapat membayar pajak yang dibebankan kepadanya dapat membayar harga tanah saat itu juga, dan dapat membayar pajak dikemudian hari karena dalam praktiknya Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) seringkali diikuti dengan akta Kuasa Menjual, yang mana dalam akta Kuasa Menjual tersebut pihak pembeli dalam Pengikatan Jual Beli (PPJB) diberikan kuasa oleh si penjual dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) untuk dapat menjual kepada diri sendiri maupun orang lain sehingga dikemudian hari si pembeli pada akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dan akta Kuasa Menjual tersebut dapat menghadap ke PPAT untuk dibuatkan Akta Jual Beli (AJB) tanpa perlu si Penjual ikut hadir karena si pembeli dapat menjual kepada dirinya sendiri berdasarkan akta kuasa menjual tersebut.   

Terhadap kondisi yang demikian, Mahkamah Agung RI melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 memberikan pendapatnya mengenai status hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yaitu jika pembeli dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli telah membayar lunas harga, telah menguasai obyek jual beli dan dilakukan dengan itikad baik maka peralihan Hak Atas tanah secara hukum telah terjadi.