Rabu, 18 November 2020

Mengenal Prinsip Business Judgment Rule



Prinsip Bussines Judgement Rules adalah prinsip yang terdapat dalam hukum perseroan terbatas yang muncul berkaitan dengan kewenangan pengurusan perseroan terbatas yang melekat pada direksi, dimana tiada suatu perseroan terbatas tanpa adanya direksi atau sebaliknya tiada direksi tanpa adanya perseroan. Tugas dan wewenang yang diberikan oleh perseroan kepada direksi diberikan berdasarkan kepercayaan dengan penuh tanggungjawab (prinsip fiduciary duty) dan prinsip duty of skill and care yang mewajibkan direksi harus mempunyai kemampuan dan pengalaman yang baik dalam kapasitasnya mengelola perusahaan Bismar Nasution menyatakan bahwa hubungan fiduciary duty didasarkan atas kepercayaan dan kerahasiaan (trust and confidence) yang dalam peran ini meliputi ketelitian (scrupulous), itikad baik (good faith), dan keterusterangan (candor).[1]. Sedangkan pelaksanaan duty of care menurut Denny J Block: "The duty of care requires that the directors, in the performance of their corporate responsibilities, exercise the care that an ordinarily prudent person would exercise under similar circumstances. As summing no other breach of fiduciary duties or violation of applicable law, a director who performs his duties in compliance with the applicable standard of care will be absolved of liability.[2]. Dengan adanya duty of care, direksi diharuskan untuk bertindak dengan kehati-hatian dalam membuat segala keputusan dan kebijakan perseroan. Dalam membuat setiap kebijakan direksi harus tetap mempertimbangkan segala informasi-informasi yang ada secara patut dan wajar.[3]

Direksi sebagai organ perseroan terbatas yang menjalankan kegiatan usaha sebagaimana maksud dan tujuan perseroan terbatas dengan prinsip fiduciary duty dan duty of care, tentu dihadapkan kepada risiko bisnis. Risiko itu terkadang berada di luar kemampuan maksimal direksi sebagai manusia. Olehkarena itu, untuk melindungi ketidakmampuan yang disebabkan oleh adanya keterbatasan manusia, maka direksi dilindungi oleh doktrin business judgements rule. Direksi perseroan terbatas yang menjalankan fungsi dan tugasnya, dihadapkan kepada risiko operasional, yang terkadang berada di luar kemampuan maksimal diri yang bersangkutan, sehingga tidak dapat digeneralisir bahwa direksi diharuskan bertanggung jawab atas kesalahan dalam mengambil keputusan (mere errors of judgment), tanpa mempertimbangkan unsur manusiawinya. Pemikiran mengenai Businnes Judgments Rule timbul guna melindungi direksi dari ketidakmampuan yang disebabkan oleh adanya keterbatasan manusia. Dalam pelaksanaannya direksi perseroan memiliki aturan kekebalan atau perlindungan dari setiap tanggungjawab yang lahir akibat transaksi atau kegiatan yang dilakukan olehnya sesuai dengan batas-batas kewenangan dan kekuasaan yang diberikan kepadanya dengan memperhatikan bahwakegiatan tersebut telah dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan itikad baik, prinsip ini disebut Business Judgment Rule.[4] Business judgment rule timbul sebagai akibat telah dilaksanakannya kewajiban sebagai direksi dengan penuh tanggungjawab (fiduciary duty) oleh seorang direksi, yang didalamnya termasuk pelaksanaan atas duty of skill and care.[5] 

Awalnya business judgment rule merupakan doktrin yang berasal dari sistem common law dan merupakan derivatif dari Hukum Perusahaan di Amerika Serikat sebagai upaya untuk mencegah pengadilan-pengadilan di Amerika Serikat mempertanyakan pengambilan keputusan bisnis oleh direksi. Stephen M. Bainbridge menjelaskan fungsi business judgment rule adalah untuk mencapai jalan tengah dalam hal terjadinya pertentangan antara otoritas direksi dalam menjalankan perseroan dan tuntutan akuntabilitas direksi terhadap para pemegang saham.[6]

Menurut Dennis J. Block: “The business judgement rules both shields directors form liability when it’s five elements – a business decision, disinterestedness, due care, good faith and abuse of discretion – are present and creates a presumption in favor of the directors that each of these elements has been satisfied.”[7]

Black’s Law Dictionary mendefinisikan business judgment rule sebagai suatu tindakan dalam membuat suatu keputusan bisnis tidak melibatkan kepentingan diri sendiri, kejujuran dan mempertimbangkan yang terbaik bagi perusahaan (the presumption that in makin business decision not involving direct self interest or self dealing, corporate directors act in the honest belief that their actions are in the corporation best interest).[8]

Bagi negara-negara civil law system yang sumber hukum terletak pada peraturan perundang-undangan, maka pengadilan bertugas untuk melakukan interpretasi terhadap doktrin tersebut yang disebabkan oleh belum adanya pengaturan yang secara komprehensif, jelas dan spesifik mengenai business judgment ruleTry Widiono memberikan pendapat mengenai doktrin business judgement rule:[9] . Doktrin ini mendudukkan manusia pada proporsi yang sebenarnya dengan segala kekurangannya, yang sering mengalami pencapaian atau harapan dari prediksi yang dirancang. Seorang direksi, bagaimanapun tidak mungkin selalu benar dalam menjalankan usahanya, karena error (kekeliruan) adalah kelengkapan manusia. Sudah sepantasnya jika seorang direktur perseroan tidak digeneralisir untuk bertanggungjawab atas kesalahan dalam mengambil keputusan (mere errors of judgement) tanpa mempertimbangkan unsur manusiawinya. Doktrin business judgements rule memberikan perlindungan kepada direksi perseroan atas kemungkinan kesalahan yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang wajar dan manusiawi”

Business judgement rule dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia termuat  dalam Pasal 97 ayat 5 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang mengatur bahwa anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana termasuk dalam Pasal 97 (3) apabila dapat membuktikan:

  1. Kerugian timbul bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
  2. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan Terbatas;
  1. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
  1. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

 Secara filosofis doktrin “business judgment” menetapkan bahwa Direksi suatu perusahaan tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari suatu tindakan pengambilan keputusan, apabila tindakan tersebut didasarkan kepada itikad baik dan hati-hati. Direksi mendapatkan perlindungan tanpa perlu memperoleh pembenaran dari pemegang saham  atau pengadilan atas keputusan yang diambilnya dalam konteks pengelolaan perusahaan. “Business judgment rule” mendorong Direksi untuk lebih berani mengambil resiko daripada terlalu berhati-hati sehingga perusahaan tidak jalan karena apabila terdapat akibat yang timbul dari keputusan direksi dan direktusi dapat membuktikan bahwa hal tersebut bukan merupakan kesalahannya, maka ia bisa dibebaskan dari tanggung jawab pribadi. Hal ini dikarenakan seorang direktur dalam melaksanakan tugasnya tidak hanya terikat pada apa yang secara tegas dicantumkan dalam maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan, tetapi dia juga dapat mengambil prakarsa guna mewujudkan kepentingan perseroan dengan melakukan perbuatan (sekunder) yang menunjang dan mempelancar tugas-tugasnya, namun masih berada dalam batas-batas yang diperkenankan atau masih dalam ruang lingkup tugas dan kewajibannya (masih dalam kewenangan perseroan atau intravires) sehingga dia dapat bertindak asalkan sesuai dengan kebiasaan, kewajaran, dan kepatuhan (dan tidak bersifat ultravires). Secara sederhana, pengertian intravires adalah dalam kewenangan, sedangkan ultravires diartikan sebagai bertindak melebihi kewenangannya.[10] Fred B.G. Tumbuan berpendapat, yang menyatakan intravires adalah perbuatan yang secara eksplisit atau secara implisit tercakup dalam kecakapan bertindak (termasuk dalam maksud dan tujuan perseroan). Sedangkan ultravires adalah perbuatan yang berada di luar kecakapan bertindak (tidak termasuk dalam maksud dan tujuan perseroan). Ultravires mengandung arti bahwa perbuatan tertentu itu hakikatnya adalah sah (dalam hubungan dengan pihak lain), tetapi ternyata berada diluar kecakapan bertindak perseroan. Sebagaimana diatur dalam anggaran dasar dan atau berada di luar ruang lingkup maksud dan tujuannya.[11]

Sehubungan dengan kekuasaaan direksi dalam menjalankan perusahaan, Paul L. Daviesz menyatakan bahwa:[12]

“In applying the general equitable principle to company directors, four separate rules have emerged. These are:

1.      That directors must act in good fa ith in what they believe to be the best interest of the company;

2.    That they must not exercise the powers conferred upon them for purposes different from those for which they were conferred;

3.      That they must not fetter their disc retion as to how they shall act;  

4.      That, without the inform ed consent of the company, they must not  place themselves in a position in which their personal interests or duties to other persons are liable to conflict with their duties.  

Keempat prinsip menunjukkan bahwa direksi perseroan dalam menjalankan tugas kepengurusannya harus senantiasa: 

a.       Bertindak dengan itikad baik; 

b.      Senantiasa memperhatikan kepentingan perseroan dan bukan kepentingan dari pemegang saham semata-mata; 

c.   Kepengurusan perseroan harus dilakukan dengan baik sesuai dengan tugas dan kewenangan yang diberikan kepadanya dengan tingkat kecermatan yang wajar, dengan ketentuan bahwa direksi tidak diperkenankan untuk memperluas maupun mempersempit ruang lingkup geraknya sendiri;  

d.      Tidak diperkenankan melakukan tindakan yang dapat menyebabkan benturan kepentingan antara kepentingan perseroan dengan kepentingan direksi.[13]

Prinsip tersebut berkaitan dengan prisip fiduciary duty yang melekat pada direksi perseroan yaitu: Jika dalam menjalankan tugasnya untuk kepentingan perusahaan, di mana perusahaan tersebut mempunyai kepercayaan yang besar (great trust) kepadanya, sementara di lain pihak, dia wajib mempunyai itikad baik yang tinggi (high degree of good faith) , loyalitas yang tinggi ( high degree of loyalty) , kejujuran yang tinggi ( high degree of honesty) , serta kepedulian dan kemampuan yang tinggi ( high degree of care and skill) dalam menjalankan tugasnya kepada perusahaan tersebut.[14]

Business Judgment Rule tidak berlaku bagi direksi, jika telah dibuktikan bahwa direksi tidak memenuhi proses, tatacara prosedur yang diwajibkan dan tidak dilakukan semata-mata untuk kepentingan perseroan dan stake holders, yaitu bahwa keputusan diambil dengan kecurangan (fraud), mempunyai benturan kepentingan (conflict of interest) didalamnya, terdapat unsure perbuatan melanggar hukum (illegality), terjadinya kelalaian berat (gross negligence).[15]

Dengan demikian, direksi sebagai organ perseroan terbatas, dalam menjalankan tugas dan kewenangannya harus mengikuti prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance), yaitu harus sejalan dan berdasarkan pada undang-undang, anggaran dasar perseroan, dan mekanisme pengambilan keputusan. Dengan prinsip Business Judgment Rules, Direksi tidak dapat dibebankan pertanggungjawaban secara perdata maupun pidana, apabila keputusan bisnis yang diambil berdasarkan pertimbangan bahwa keputusan tersebut adalah sebaik-baiknya untuk kepentingan perseroan, telah sesuai dengan undang-undang, anggaran dasar perseroan, atau mekanisme pengambilan keputusan, serta berdasarkan itikad baik dan tanpa adanya pertentangan kepentingan (conflict of interest) dengan dirinya pribadi.

Rabu, 11 November 2020

PERUBAHAN TATA CARA PENYELESAIAN GUGATAN SEDERHANA TERBARU (PERMA No. 4 Tahun 2019)


Upaya Mahkamah Agung RI pada tanggal 7 Agustus 2015 untuk  mewujudkan asas peradilan sederhana, cepat dan berbiaya ringan  terobosan dengan menetapkan Peraturan Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana (Perma 2/2015) telah mendapatkan respon positif dari masyarakat pencari keadilan sehingga Mahkamah Agung pada bulan Agustus 2019 menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana (Perma No.4 Tahun 2019) guna mengoptimalkan penyelesaian gugatan sederhana.

Dalam Perma No.4 Tahun 2019, terdapat beberapa perubahan diantaranya mengenai kriteria, tahapan dan mekanisme tata cara penyelesaian gugatan sederhana. Adapun beberapa perubahan tersebut diantaranya:

  1. Ruang lingkupnya meliputi gugatan sederhana terhadap perkara cidera janji(wanprestasi) dan/atau perbuatan melawan hukum dengani nilai gugatan materiil paling banyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). (vide pasal 1 angka 1 dan pasal 3 ayat (1).
  2. Gugatan sederhana tidak termasuk :
    • Perkara yang penyelesaian sengketanya dilakukan melalui pengadila n khusus sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan;atau
    • Sengketa tanah.

Pihak yang dapat mengajukan gugatan sederhana diatur dalam pasal 4 Perma 4/2019 sebagai berikut :

  • Para pihak dalam gugatan sederhana terdiri dari penggugat dan tergugat yang masing-masing tidak boleh lebih dari satu, kecuali memiliki kepentingan hukum yang sama.
  • Terhadap tergugat yang tidak diketahui tempat tinggalnya, tidak dapat diajukan gugatan sederhana.
  • Penggugat dan tergugat dalam gugatan sederhana berdomisili di daerah hukum Pengadilan yang sama.
  • Dalam hal penggugat berada di luar wilayah hukum tempat tinggal atau domisili tergugat, penggugat dalam mengajukan gugatan menunjuk kuasa, kuasa insidentil, atau wakil yang beralamat di wilayah hukum atau domisili tergugat dengan surat tugas dari institusi penggugat.
  • Penggugat dan tergugat wajib menghadiri secara langsung setiap persidangan dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum, kuasa insidentil atau wakil dengan surat tugas dari institusi penggugat

Mengenai tata cara pendaftaran perkaranya, dalam Perma 4 Tahun 2019 ini memberikan kesempatan kepada Penggugat dan Tergugat untuk mengoptimalisasi administrasi perkara di pengadilan melalui aplikasi e-court . Selanjutnya dalam Perma 4 Tahun 2019 menambahkan adanya upaya perlawanan (verzet) terhadap putusan verstek. serta alasan upaya keberatan atas putusan gugatan sederhana yaitu terhadap putusan verzet dan putusan contradictoir dalam hal tergugat yang hanya hadir pada sidang pertama.

Dalam Perma No.4 Tahun 2019 juga memberikan kewenangan kepada Hakim untuk dapat memerintahkan peletakan sita jaminan terhadap benda milik tergugat dan/atau milik penggugat yang ada dalam penguasaan tergugat. Hal mengenai sita jaminan sebelumnya tidak diatur dalam Perma Nomor 2 Tahun 2015 (vide: pasal 17A). Kemudian yang menarik dalam pasal 18 ayat (1) disebutkan gugatan yang diakui secara bulat oleh pihak Tergugat tidak perlu pembuktian tambahan. Hal tersebut diharapkan dapat mengefisiensikan proses penyelesaian perkara guna mewujudkan peradilan sederhana, cepat dan berbiaya ringan. Hal baru lainnya yaitu Perma No.4 Tahun 2019 juga menambahkan ketentuan mengenai proses aanmaning berkaitan dengan adanya permohonan pelaksanaan putusan (eksekusi).

Mengenai waktu penyelesaian gugatan sederhana dalam Perma No. 4 Tahun 2019 tidak terdapat perubahan, yaitu tetap dibatasi maksimal 25 hari kerja yang dihitung sejak hari sidang pertama. Mengenai acara dalam gugatan sederhana tetap, tidak mengenal eksepsi, rekonvensi, permohonan provisi, replik, duplik dan atau kesimpulan. Hakim dapat mengupayakan para pihak untuk melakukan perdamaian termasuk menyarankan para pihak untuk damai diluar pengadilan.

Perma No. 4 Tahun 2019 adalah terobosan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung RI ini untuk mengoptimalisasi serta mengefisienkan penyelesaian permasalahan keperdataan yang seringkali timbul di masyarakat.