ASAS ITIKAD BAIK (GOOD FAITH) DALAM SUATU PERJANJIAN BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PENIPUAN



I.      TENTANG PERJANJIAN/KONTRAK
Perjanjian dalam praktik di masyarakat sering juga disebut dengan “kontrak/contract”. Contract/Kontrak dalam Black’s Law Dictionary dijelaskan :[1]A promissory agreement between two or more persons that creates, modifies, or destroys a legal relation”. Menurut Sudikno Mertokusumo, perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih  berdasar kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum".[2] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, berpendapat bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih.[3] Selanjutnya Subekti berpendapat bahwa perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Berdasarkan pengertian-pengertian para ahli tersebut, perjanjian menimbulkan hubungan hukum bagi para pihak yang membuatnya. Hubungan hukum menimbulkan akibat hukum dimana ada hak dan kewajiban yang melekat pada diri pihak-pihak dalam perjanjian.
Dalam Burgerlijk Wetboek (BW), sebagaimana diatur dalam pasal 1320 BW mengenai syarat sahnya suatu perjanjian, disebutkan 4 syarat yaitu :
1) Harus dibuat beranjak dari kesepakatan para pihak.
2) Pihak yang membuat kontrak harus memiliki kecakapan hukum untuk bertindak.
3) Kontrak harus mengenai hal tertentu dan
4) Apa yang diperjanjikan tidak boleh sesuatu yang melawan hukum

Apabila suatu perjanjian telah memenuhi unsur tersebut maka perjanjian tersebut sah dan mengikat para pihak dalam perjanjian tersebut.
Dalam Teori Perjanjian Klasik (Classical Contract Theory), terdapat 3 unsur yang bertalian dalam perjanjian yaitu:[4]
-       Contract is bargain, which means a reciprocal agreement between the parties, almost invariably an exchange of promises (1 promise to do X and you promise to do Y in return). (Kontrak/perjanjian adalah kesepakatan, yang dapat diartikan persetujuan timbal balik diantara para pihak yang membuatnya, yang hampir tanpa terkecuali saling memberi janji diantara para pihaknya (satu pihak berjanji akan melakukan X, dan sebagai balasannya pihak lain berjanji akan melakukan Y)).
-       Contracts are the product of the will of the parties, so that it is the parties intention to “bind” themselves that justifies legal recognition of enforceable contractual rights and obligations. (“Kontrak adalah hasil dari kehendak para pihak, sehingga para pihak bermaksud untuk mengikatkan dirinya yang membenarkan pengakuan hukum agar hak dan kewajiban kontraktual dapat dilaksanakan.”).
-       Freedom of contract is paramount, (“Kebebasan berkontrak adalah yang utama”).

Berdasarkan unsur dalam teori perjanjian klasik tersebut, perjanjian adalah sebuah kesepakatan timbal balik dimana para pihak dalam perjanjian tersebut saling memberikan janji. Perjanjian dibuat sebagai sebuah alat bukti yang dijadikan dasar agar hak dan kewajiban para pihak dapat dilaksanakan. Dalam perjanjian para pihak bebas mementukan kehendaknya.
Kebebasan para pihak dalam teori perjanjian klasik tersebut bukan bebas dalam arti yang sebebas-bebasnya, namun dibatasi pada hukum yang berlaku. Pada prinsipnya apa yang diperjanjikan para pihak tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berlaku. Berdasarkan BW, apabila hal yang diperjanjikan oleh para pihak melanggar atau bertentangan hokum maka akibat hukumnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum.
Berkaitan dengan syarat keabsahan perjanjian dan teori perjanjian klasik, dalam hukum perjanjian dikenal beberapa asas diantaranya: asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak, asas itikad baik. Moch. Isnaeni berpendapat bahwa asas itikad baik, asas kebebasan berkontrak dan konsensualisme, saling berjalin satu dengan yang lain tanpa dapat dielakkan kalau menginginkan lahirnya suatu kontrak yang sehat (fair) demi terbingkainya aktifitas bisnis dalam hidup keseharian.[5]
II.        ASAS ITIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN/KONTRAK
Asas itikad baik (good faith) menurut Subekti merupakan salah satu sendi terpenting dalam hukum perjanjian.[6] Selanjutnya Subekti berpendapat bahwa perjanjian dengan itikad baik adalah melaksanakan perjajian dengan mengandalkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.[7] Kewajiban untuk melaksanakan kontrak berdasarkan itikad baik sudah diakui secara universal dalam prinsip hukum kontrak internasional. Pengakuan secara internasional tersebut terdapat konsideran Konvensi Wina 1969 dimana disebutkan: ”The principles of free consent and of good faith and the pacta sunt servanda rule are universally recognized”. Selain itu dalam  UNIDROIT (The International Institute for the Unification of Private Law) Pasal 1.7. dinyatakan “each party must act in accordance with good faith and fair dealing in international trade” and “the parties may not exclude or limit their duty”.[8] Berdasarkan hal tersebut maka asas itikad baik merupakan prinsip universal yang wajib diterapkan pada setiap perjanjian.
Dalam Black’s Law Dictionary dijelaskan bahwa itikad baik (good faith) adalah: “A state of mind consisting in (1) honesty in belief or purpose, (2) faithfulness to one’s duty or obligation, (3) observance of reasonable commercial standards of fair dealing in a given trade or business, or (4) absence of intent to defraud or to seek unconscionable advantage.[9]
Pengertian mengenai itikad baik/good faith dalam kontrak secara jelas dipaparkan dalam Simposium Hukum Perdata Nasional yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yang menentukan bahwa itikad baik hendaknya diartikan sebagai berikut:[10]
1.     Kejujuran dalam membuat kontrak;
2.     Pada tahap pembuatan ditekankan, apabila kontrak dibuat di hadapan pejabat, para pihak dianggap beritikad baik (meskipun ada juga pendapat yang menyatakan keberatannya);
3.     Sebagai kepatutan dalam tahap pelaksanaan, yaitu terkait suatu penilaian baik terhadap perilaku para pihak dalam melaksanakan apa yang telah disepakati dalam kontrak, semata-mata bertujuan untuk mencegah perilaku yang tidak patut dalam pelaksanaan kontrak tersebut.

Berdasarkan pengertian itikad baik dalam kontrak/perjanjian tersebut maka unsur yang utama adalah kejujuran. Kejujuran para pihak dalam perjanjian ini meliputi pada kejujuran atas identitas diri dan kejujuran atas kehendak dan tujuan para pihak. Kejujuran adalah unsur yang utama dalam pembuatan perjanjian/kontrak karena ketidakjujuran salah satu pihak dalam perjanjian/kontrak dapat mengakibatkan kerugian bagi pihak lainnya. Yang pertama, sebagai ilustrasi ada salah satu pihak yang tidak jujur dalam awal pembuatan perjanjian, mengenai identitasnya, tentunya kemungkinan besar tidak akan melaksanakan isi perjanjian karena tujuan awalnya semata-mata ingin mendapatkan prestasi dari pihak lain namun sebaliknya dirinya tindak melaksanakan prestasinya. Yang kedua, para pihak tidak jujur sejak awal akan tujuan perjanjian/kontrak dibuat. Sebagai ilustrasi si A berutang kepada si B, si A belum dapat melunasi utangnya sesuai dengan jadwal kepada si B maka si A beritikad menjaminkan asetnya kepada si B, namun bukannya para pihak membuat perjanjian hutang dengan perjanjian jaminan melalui fidusia ataupun hak tanggungan, melainkan para pihak membuat  perjanjian pengikatan jual beli dengan pilihan pembelian kembali (buyback). Ilustrasi tersebut menunjukkan bahwa para pihak tidak jujur dalam tujuan pembuatan kontrak/perjanjian karena perjanjian yang dibuat tidak sesuai dengan tujuan yang sebenarnya. Perjanjian tersebut secara hukum telah batal dan dengan batalnya perjanjian tersebut maka tentunya merugikan para pihak dalam perjanjian tersebut.     
Pengertian itikad baik dalam Simposium Hukum Perdata Nasional tersebut sejalan dengan pendapat J.M.Van Dunne dimana dalam 3 fase perjanjian yaitu: pre contractuale, contractuale fase, dan postcontractuale fase, asas itikad baik harus melekat pada setiap fase perjanjian tersebut.[11] Berkaitan dengan fase perjanjian tersebut, masing-masing terdapat akibat hokum yang berbeda apabila dalam ada itikad tidak baik. Adanya itikad tidak baik dalam fase sebelum pembuatan kontrak (pre contractuale) dapat berakibat dituntutnya pihak yang beritikat tidak baik tersebut tidak hanya secara perdata namun juga secara pidana.

I   HUBUNGAN ASAS ITIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN DENGAN TINDAK PIDANA PENIPUAN

Penipuan Bedrog (Oplichting), title XXV buku II KUHP berjudul “Bedrog” yang berarti penipuan dalam arti luas, sedangkan Pasal pertama dari titel itu, yaitu Pasal 378, mengenai tindak pidana “oplicthing” yang berati penipuuan tetapi dalam arti sempit, sedang pasal-pasal lain dari titel tersebut memuat tindak pidana lain yang bersifat penipuan dalam arti luas.[12]
Dalam Pasal 378 KUHP dinyatakan : “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya member hutang maupun menghapus piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun”.
Unsur – unsur penipuan itu adalah sebagai berikut:
a. Unsur-unsur Objektif, yaitu :
 1. Perbuatan : menggerakkan
 2. Yang digerakkan : orang
 3. Perbuatan itu ditunjukkan pada:
      a). Orang lain menyerahkan benda,
      b).Orang lain memberikan hutang, dan
      c). Orang lain menghapuskan piutang
  4. Cara melakukan perbuatan itu menggerakkan dengan:
      a). Nama Palsu
      b). Memakai tipu muslihat
      c). Memakai martabat palsu dan,
      d). Memakai rangkaian kebohongan.
b. Unsur-unsur subjektif
  1. Maksud dengan menguntungkan diri sendiri atau Maksud dengan menguntungkan
      orang lain
  2. Maksud dengan melawan hukum
Unsur “menggerakkan” adalah unsur yang terpenting dalam pembuktian tindak pidana penipuan. bewegen selain diterjemahkan dalam arti menggerakkan, ada juga sebagian ahli menggunakan istilah membujuk, atau menggerakkan hati. “Menggerakkan” dalam pasal 378 KUHP ini berbeda dengan pengertian dengan pengertian “menggerakkan” atau uitlokking dalam konteks pasal 55 ayat (1) KUHP “ menggerakkan dengan upaya – upaya memberi atau menjanjikan sesuatu atau, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, ancaman atau penyesatan atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan.[13] Unsur “bewegen” / menggerakkan tersebut diwujudkan melalui cara-cara yaitu dengan menggunakan nama palsu, tipu muslihat, martabat palsu dan rangkaian kebohongan. Menggunakan nama palsu adalah bukan menggunakan nama asli dirinya. Tipu muslihat adalah tindakan atau perbuatan sedemikian rupa yang menimbulkan kepercayaan seolah-olah keadaannya sesuai dengan kebenaran. Martabat palsu adalah jabatan atau kedudukan yang seolah—olah melekat pada diri pelaku untuk meyakinkan korban dirinya memiliki suatu kewenangan. Rangkaian kebohongan adalah kata-kata atau ucapan-ucapan yang menyesatkan atau berbeda dengan kenyataannya diucapkan secara meyakinkan agar dipercaya oleh korban atau orang yang digerakkan tersebut.
Unsur menggerakkan dan cara-caranya dalam tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam pasal 378 KUHP tersebut dapat dilakukan oleh pelaku dalam suatu perjanjian. Tindak pidana penipuan dalam perjanjian dapat terjadi apabila pelaku menggerakkan seseorang untuk membuat suatu perjanjian dengan korban menggunakan nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat maupun rangkaian kebohongan untuk menyerahkan benda, memberikan hutang atau menghapuskan piutang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri maupun orang lain secara melawan hukum. Apabila dihubungkan dengan Asas Itikat baik dalam perjanjian maka unsur dalam pasal 378 KUHP tersebut terdapat hubungan karena keduanya pada intinya berdasarkan pada ada atau tidaknya kejujuran dalam fase pembuatan perjanjian. Sebagai contoh, Si A mengaku sebagai pengusaha dibidang jual beli alat elektronik berniat ingin meminta modal usaha kepada si B dan pada akhirnya si B memberikan modal kepada si A dengan perjanjian kerjasama modal usaha, ternyata si A bukanlah pengusaha dibidang jual beli alat elektronik dan uang dari si B digunakan untuk kepentingan pribadi si A. Dari sudut pandang hukum perdata, dalam perjanjian tersebut si A tidak beritikat baik karena si A tidak jujur mengenai martabat dirinya kepada si B sehingga pada akhirnya si A tidak melaksanakan/memenuhi kewajibannya sebagaimana dalam perjanjian. Sedangkan dari sudut pandang hukum pidana, terdapat unsur menggerakkan dengan cara menggunakan martabat palsu yang dilakukan oleh si A dalam pre contractuale fase hingga contractuale fase pembuatan perjanjian dengan si B dengan tujuan agar si B menyerahkan uangnya kepada si A.
Berdasarkan hal tersebut diatas tindak pidana penipuan dalam suatu perjanjian dapat dilihat dalam fase pre contractuale hingga fase contractual, apakah dalam fase tersebut pihak dalam perjanjian menggunakan nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat atau rangkaian kebohongan. Dengan demikian tidak adanya itikat baik dalam fase pre contractuale hingga fase contractuale dalam perjanjian tidak hanya menimbulkan akibat hukum secara perdata dengan dibatalkannya perjanjian tersebut serta kewajiban untuk memberikan ganti rugi melainkan juga menimbulkan hukuman pidana bagi pihak yang tidak jujur dalam perjanjian tersebut.





[1] Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, 4th Edition, St. Paul, Minnesota, USA, West Publishing Co, 1984, hlm. 394
[2] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1985, hlm. 97-98
[3] Sri Sofwan Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan Kebendaan dan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1980, hlm. 1
[4] J.A. Sullivan dan Jonathan Hillard, The Law of Contract, 6th Edition, Oxford University Press, Oxford, 2014, halaman 2
[5] Moch. Isnaeni, Jalinan Prinsip-prinsip Hukum Kontrak Dalam Bisnis, Makalah Seminar Hukum Kontrak, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 13 Oktober 2004, hal. 7.
[6] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Cet.XXVIII, Jakarta, 1996., hlm.41
[7] Ibid.
[8] Cindawati, Prinsip Good Faith (Itikad Baik) dalam Kontrak Bisnis Internasional, Mimbar Hukum, Vol.26 No.2, Juni 2014, Universitas Gajah Mada,Yogjakarta,2014, hlm.191
[9] Henry Cambell Blacks, Black’s Law Dictionary, 4th Edition, St. Paul, Minnesota, USA, West Publishing Co, 1984, hlm.713
[10] Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Simposium Hukum Perdata Nasional, Kerjasama Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 21-23 Desember 1981. dalam Agus Yudha Hernoko, Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial,Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2008, hlm. 141.

[11] J.M. Van Dunne dalam Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian : Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2008, hlm.118
[12] Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Adityama, Bandung, 2003, hlm. 36
[13] Tongat, Hukum Pidana Materiil.,UMM Press, 2003. Hal. 72