Senin, 21 Desember 2020

PRAPERADILAN

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sistem peradilan pidana tidak lagi murni menganut sistem peradilan inquisitorial, melainkan memiliki dan mengadopsi beberapa konsep serta prinsip sistem adversarial, dimana salah satu konsep sistem adversarial yang digunakan dalam KUHAP adalah konsep praperadilan yang merupakan adopsi dari konsep Habeas Corpus Act yang lahir di Inggris. Merujuk pada sejarahnya, Habeas Corpus muncul dari prinsip dasar bahwa pemerintah harus selalu tunduk pada hukum, dan hukum itu ditafsirkan dan diterapkan oleh hakim. Konsep ini kemudian diformalkan oleh parlemen Inggris pada abad ke 17. Pasca-lahirnya Habeas Corpus, untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap seseorang, terlebih dahulu harus ada surat perintah dari pengadilan, yang dikeluarkan atas nama raja, dan ditujukan ke pejabat kerajaan tertentu. Dengan kata lain, Habeas Corpus adalah mekanisme prosedural untuk penegakan hukum atas hak dan kewajiban yang diberikan, dikenakan, atau diakui pada otoritas lainnya dalam suatu hukum—peradilan terhadap penyidikan. Habeas Corpus Act memberikan hak pada seseorang untuk menuntut pejabat (polisi atau jaksa) yang melakukan perampasan kebebasan sipil atas dirinya. Tuntutan itu untuk membuktikan apakah perampasan kebebasan sipil—upaya paksa yang dilakukan tidak melanggar hukum dan benar-benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku atau sebaliknya. Konsep ini berguna menjamin bahwa perampasan atau pembatasan kemerdekaan seorang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dan hak-hak asasi manusia.

Keberadaan lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam KUHAP secara filosofis tidak lepas dari konsep Habeas Corpus yang diterjemahkan menjadi Praperadilan, dimana secara tersirat dalam penjelasan Pasal 80 KUHAP memiliki maksud untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal, sehingga esensi dari dibentuknya lembaga Praperadilan adalah untuk mengawasi tindakan perampasan kebebasan sipil atau upaya paksa apabila dilaksanakan secara sewenang-wenang dengan maksud/tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP, serta guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap orang.

 Sebagaimana telah diketahui untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan suatu tindak pidana, undang-undang memberi kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan perampasan kebebasan sipil atau upaya paksa seperti halnya penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan dimana hal tersebut merupakan pengurangan dan pembatasan atas hak asasi tersangka, sehingga aparat penegak hukum dalam melakukan upaya paksa harus dilakukan secara bertanggungjawab menurut ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku karena  upaya paksa yang dilakukan bertentangan dengan hukum dan undang-undang merupakan pelanggaran terhadap hak asasi tersangka. Oleh karena itu lembaga PraPeradilan dibentuk dan diatur dalam KUHAP untuk mengawasi apakah tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan hukum;

Definisi Praperadilan termuat dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP dimana disebutkan Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

  1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
  2. Sah atau tidaknya penghentian penyelidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan;

Bahwa apa yang dirumuskan dalam Pasal 1 butir 10 KUHAP dipertegas dalam Pasal 77 KUHAP yang menyebutkan Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

  1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
  2. Ganti rugi dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan;

Dalam perkembangannya berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 telah menambah objek praperadilan yang sebelumnya sudah diatur dalam KUHAP, yaitu termasuk pula dalam objek praperadilan adalah penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memberikan beberapa hal baru diantaranya mengenai frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”,  “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 angka 14, pasal 17, dan pasal 21 ayat (1) KUHAP yang harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia). Artinya, terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya tersebut, tidak diperlukan pemeriksaan calon tersangka. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah untuk tujuan transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka sudah dapat memberikan keterangan yang seimbang dengan minimum dua alat bukti yang telah ditemukan oleh penyidik. Definisi mengenai “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”,  “bukti yang cukup” tersebut penting agar tidak ada tindakan sewenang-wenang oleh penyidik dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.

Selanjutnya alasan Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan bahwa penetapan tersangka merupakan obyek dari praperadilan adalah berpijak dari maksud dan tujuan yang hendak ditegakkan dan dilindungi dalam proses praperadilan adalah tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan dan penuntutan, serta memperhatikan nilai-nilai hak asasi manusia yang terdapat dalam UU Nomor 39 Tahun 199 tentang Hak Asasi Manusia dan perlindungan hak asasi manusia yang termaktub dalam XA UUD 1945, maka setiap tindakan penyidik yang tidak memegang teguh prinsip kehati-hatian dan diduga telah melanggar hak asasi manusia dapat dimintakan perlindungan kepada pranata pengadilan. Penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang didalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang. Begitupula penggeledahan dan penyitaan merupakan bagian dari mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dan karenanya termasuk dalam ruang lingkup praperadilan.

Setelah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan, dimana dalam  pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA)  tersebut menegaskan mengenai obyek Praperadilan adalah:

a.  
sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan;

b.    ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Berpijak pada ketentuan tersebut, maka wewenang Hakim dalam praperadilan dapat diperinci:

1.    Melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya suatu penangkapan;

2.    Melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya suatu penahanan;

3.    Melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan;

4.    Melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya suatu penghentian penuntutan;

5.    Melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya penetapan tersangka;

6.    Melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya penggeledahan;

7.    Melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya penyitaan;

8.    Menetapkan ganti rugi dan atau rehabilitasi terhadap mereka yang perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan;

          Dengan demikian secara filosofis keberadaan Praperadilan adalah sarana pengawasan horizontal untuk menguji tindakan upaya paksa seperti halnya penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dan dalam perkembangannya termasuk pula penetapan tersangka yang secara limitatif terbatas pada tingkat pemeriksaan penyidikan dan penuntutan agar upaya paksa atau tindakan yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap Tersangka, benar-benar dilaksanakan sesuai ketentuan undang-undang, dilakukan secara profesional dan bukan tindakan yang sewenang-wenang dan bertentangan dengan hukum.


Rabu, 18 November 2020

Mengenal Prinsip Business Judgment Rule



Prinsip Bussines Judgement Rules adalah prinsip yang terdapat dalam hukum perseroan terbatas yang muncul berkaitan dengan kewenangan pengurusan perseroan terbatas yang melekat pada direksi, dimana tiada suatu perseroan terbatas tanpa adanya direksi atau sebaliknya tiada direksi tanpa adanya perseroan. Tugas dan wewenang yang diberikan oleh perseroan kepada direksi diberikan berdasarkan kepercayaan dengan penuh tanggungjawab (prinsip fiduciary duty) dan prinsip duty of skill and care yang mewajibkan direksi harus mempunyai kemampuan dan pengalaman yang baik dalam kapasitasnya mengelola perusahaan Bismar Nasution menyatakan bahwa hubungan fiduciary duty didasarkan atas kepercayaan dan kerahasiaan (trust and confidence) yang dalam peran ini meliputi ketelitian (scrupulous), itikad baik (good faith), dan keterusterangan (candor).[1]. Sedangkan pelaksanaan duty of care menurut Denny J Block: "The duty of care requires that the directors, in the performance of their corporate responsibilities, exercise the care that an ordinarily prudent person would exercise under similar circumstances. As summing no other breach of fiduciary duties or violation of applicable law, a director who performs his duties in compliance with the applicable standard of care will be absolved of liability.[2]. Dengan adanya duty of care, direksi diharuskan untuk bertindak dengan kehati-hatian dalam membuat segala keputusan dan kebijakan perseroan. Dalam membuat setiap kebijakan direksi harus tetap mempertimbangkan segala informasi-informasi yang ada secara patut dan wajar.[3]

Direksi sebagai organ perseroan terbatas yang menjalankan kegiatan usaha sebagaimana maksud dan tujuan perseroan terbatas dengan prinsip fiduciary duty dan duty of care, tentu dihadapkan kepada risiko bisnis. Risiko itu terkadang berada di luar kemampuan maksimal direksi sebagai manusia. Olehkarena itu, untuk melindungi ketidakmampuan yang disebabkan oleh adanya keterbatasan manusia, maka direksi dilindungi oleh doktrin business judgements rule. Direksi perseroan terbatas yang menjalankan fungsi dan tugasnya, dihadapkan kepada risiko operasional, yang terkadang berada di luar kemampuan maksimal diri yang bersangkutan, sehingga tidak dapat digeneralisir bahwa direksi diharuskan bertanggung jawab atas kesalahan dalam mengambil keputusan (mere errors of judgment), tanpa mempertimbangkan unsur manusiawinya. Pemikiran mengenai Businnes Judgments Rule timbul guna melindungi direksi dari ketidakmampuan yang disebabkan oleh adanya keterbatasan manusia. Dalam pelaksanaannya direksi perseroan memiliki aturan kekebalan atau perlindungan dari setiap tanggungjawab yang lahir akibat transaksi atau kegiatan yang dilakukan olehnya sesuai dengan batas-batas kewenangan dan kekuasaan yang diberikan kepadanya dengan memperhatikan bahwakegiatan tersebut telah dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan itikad baik, prinsip ini disebut Business Judgment Rule.[4] Business judgment rule timbul sebagai akibat telah dilaksanakannya kewajiban sebagai direksi dengan penuh tanggungjawab (fiduciary duty) oleh seorang direksi, yang didalamnya termasuk pelaksanaan atas duty of skill and care.[5] 

Awalnya business judgment rule merupakan doktrin yang berasal dari sistem common law dan merupakan derivatif dari Hukum Perusahaan di Amerika Serikat sebagai upaya untuk mencegah pengadilan-pengadilan di Amerika Serikat mempertanyakan pengambilan keputusan bisnis oleh direksi. Stephen M. Bainbridge menjelaskan fungsi business judgment rule adalah untuk mencapai jalan tengah dalam hal terjadinya pertentangan antara otoritas direksi dalam menjalankan perseroan dan tuntutan akuntabilitas direksi terhadap para pemegang saham.[6]

Menurut Dennis J. Block: “The business judgement rules both shields directors form liability when it’s five elements – a business decision, disinterestedness, due care, good faith and abuse of discretion – are present and creates a presumption in favor of the directors that each of these elements has been satisfied.”[7]

Black’s Law Dictionary mendefinisikan business judgment rule sebagai suatu tindakan dalam membuat suatu keputusan bisnis tidak melibatkan kepentingan diri sendiri, kejujuran dan mempertimbangkan yang terbaik bagi perusahaan (the presumption that in makin business decision not involving direct self interest or self dealing, corporate directors act in the honest belief that their actions are in the corporation best interest).[8]

Bagi negara-negara civil law system yang sumber hukum terletak pada peraturan perundang-undangan, maka pengadilan bertugas untuk melakukan interpretasi terhadap doktrin tersebut yang disebabkan oleh belum adanya pengaturan yang secara komprehensif, jelas dan spesifik mengenai business judgment ruleTry Widiono memberikan pendapat mengenai doktrin business judgement rule:[9] . Doktrin ini mendudukkan manusia pada proporsi yang sebenarnya dengan segala kekurangannya, yang sering mengalami pencapaian atau harapan dari prediksi yang dirancang. Seorang direksi, bagaimanapun tidak mungkin selalu benar dalam menjalankan usahanya, karena error (kekeliruan) adalah kelengkapan manusia. Sudah sepantasnya jika seorang direktur perseroan tidak digeneralisir untuk bertanggungjawab atas kesalahan dalam mengambil keputusan (mere errors of judgement) tanpa mempertimbangkan unsur manusiawinya. Doktrin business judgements rule memberikan perlindungan kepada direksi perseroan atas kemungkinan kesalahan yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang wajar dan manusiawi”

Business judgement rule dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia termuat  dalam Pasal 97 ayat 5 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang mengatur bahwa anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana termasuk dalam Pasal 97 (3) apabila dapat membuktikan:

  1. Kerugian timbul bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
  2. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan Terbatas;
  1. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
  1. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

 Secara filosofis doktrin “business judgment” menetapkan bahwa Direksi suatu perusahaan tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari suatu tindakan pengambilan keputusan, apabila tindakan tersebut didasarkan kepada itikad baik dan hati-hati. Direksi mendapatkan perlindungan tanpa perlu memperoleh pembenaran dari pemegang saham  atau pengadilan atas keputusan yang diambilnya dalam konteks pengelolaan perusahaan. “Business judgment rule” mendorong Direksi untuk lebih berani mengambil resiko daripada terlalu berhati-hati sehingga perusahaan tidak jalan karena apabila terdapat akibat yang timbul dari keputusan direksi dan direktusi dapat membuktikan bahwa hal tersebut bukan merupakan kesalahannya, maka ia bisa dibebaskan dari tanggung jawab pribadi. Hal ini dikarenakan seorang direktur dalam melaksanakan tugasnya tidak hanya terikat pada apa yang secara tegas dicantumkan dalam maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan, tetapi dia juga dapat mengambil prakarsa guna mewujudkan kepentingan perseroan dengan melakukan perbuatan (sekunder) yang menunjang dan mempelancar tugas-tugasnya, namun masih berada dalam batas-batas yang diperkenankan atau masih dalam ruang lingkup tugas dan kewajibannya (masih dalam kewenangan perseroan atau intravires) sehingga dia dapat bertindak asalkan sesuai dengan kebiasaan, kewajaran, dan kepatuhan (dan tidak bersifat ultravires). Secara sederhana, pengertian intravires adalah dalam kewenangan, sedangkan ultravires diartikan sebagai bertindak melebihi kewenangannya.[10] Fred B.G. Tumbuan berpendapat, yang menyatakan intravires adalah perbuatan yang secara eksplisit atau secara implisit tercakup dalam kecakapan bertindak (termasuk dalam maksud dan tujuan perseroan). Sedangkan ultravires adalah perbuatan yang berada di luar kecakapan bertindak (tidak termasuk dalam maksud dan tujuan perseroan). Ultravires mengandung arti bahwa perbuatan tertentu itu hakikatnya adalah sah (dalam hubungan dengan pihak lain), tetapi ternyata berada diluar kecakapan bertindak perseroan. Sebagaimana diatur dalam anggaran dasar dan atau berada di luar ruang lingkup maksud dan tujuannya.[11]

Sehubungan dengan kekuasaaan direksi dalam menjalankan perusahaan, Paul L. Daviesz menyatakan bahwa:[12]

“In applying the general equitable principle to company directors, four separate rules have emerged. These are:

1.      That directors must act in good fa ith in what they believe to be the best interest of the company;

2.    That they must not exercise the powers conferred upon them for purposes different from those for which they were conferred;

3.      That they must not fetter their disc retion as to how they shall act;  

4.      That, without the inform ed consent of the company, they must not  place themselves in a position in which their personal interests or duties to other persons are liable to conflict with their duties.  

Keempat prinsip menunjukkan bahwa direksi perseroan dalam menjalankan tugas kepengurusannya harus senantiasa: 

a.       Bertindak dengan itikad baik; 

b.      Senantiasa memperhatikan kepentingan perseroan dan bukan kepentingan dari pemegang saham semata-mata; 

c.   Kepengurusan perseroan harus dilakukan dengan baik sesuai dengan tugas dan kewenangan yang diberikan kepadanya dengan tingkat kecermatan yang wajar, dengan ketentuan bahwa direksi tidak diperkenankan untuk memperluas maupun mempersempit ruang lingkup geraknya sendiri;  

d.      Tidak diperkenankan melakukan tindakan yang dapat menyebabkan benturan kepentingan antara kepentingan perseroan dengan kepentingan direksi.[13]

Prinsip tersebut berkaitan dengan prisip fiduciary duty yang melekat pada direksi perseroan yaitu: Jika dalam menjalankan tugasnya untuk kepentingan perusahaan, di mana perusahaan tersebut mempunyai kepercayaan yang besar (great trust) kepadanya, sementara di lain pihak, dia wajib mempunyai itikad baik yang tinggi (high degree of good faith) , loyalitas yang tinggi ( high degree of loyalty) , kejujuran yang tinggi ( high degree of honesty) , serta kepedulian dan kemampuan yang tinggi ( high degree of care and skill) dalam menjalankan tugasnya kepada perusahaan tersebut.[14]

Business Judgment Rule tidak berlaku bagi direksi, jika telah dibuktikan bahwa direksi tidak memenuhi proses, tatacara prosedur yang diwajibkan dan tidak dilakukan semata-mata untuk kepentingan perseroan dan stake holders, yaitu bahwa keputusan diambil dengan kecurangan (fraud), mempunyai benturan kepentingan (conflict of interest) didalamnya, terdapat unsure perbuatan melanggar hukum (illegality), terjadinya kelalaian berat (gross negligence).[15]

Dengan demikian, direksi sebagai organ perseroan terbatas, dalam menjalankan tugas dan kewenangannya harus mengikuti prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance), yaitu harus sejalan dan berdasarkan pada undang-undang, anggaran dasar perseroan, dan mekanisme pengambilan keputusan. Dengan prinsip Business Judgment Rules, Direksi tidak dapat dibebankan pertanggungjawaban secara perdata maupun pidana, apabila keputusan bisnis yang diambil berdasarkan pertimbangan bahwa keputusan tersebut adalah sebaik-baiknya untuk kepentingan perseroan, telah sesuai dengan undang-undang, anggaran dasar perseroan, atau mekanisme pengambilan keputusan, serta berdasarkan itikad baik dan tanpa adanya pertentangan kepentingan (conflict of interest) dengan dirinya pribadi.

Rabu, 11 November 2020

PERUBAHAN TATA CARA PENYELESAIAN GUGATAN SEDERHANA TERBARU (PERMA No. 4 Tahun 2019)


Upaya Mahkamah Agung RI pada tanggal 7 Agustus 2015 untuk  mewujudkan asas peradilan sederhana, cepat dan berbiaya ringan  terobosan dengan menetapkan Peraturan Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana (Perma 2/2015) telah mendapatkan respon positif dari masyarakat pencari keadilan sehingga Mahkamah Agung pada bulan Agustus 2019 menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana (Perma No.4 Tahun 2019) guna mengoptimalkan penyelesaian gugatan sederhana.

Dalam Perma No.4 Tahun 2019, terdapat beberapa perubahan diantaranya mengenai kriteria, tahapan dan mekanisme tata cara penyelesaian gugatan sederhana. Adapun beberapa perubahan tersebut diantaranya:

  1. Ruang lingkupnya meliputi gugatan sederhana terhadap perkara cidera janji(wanprestasi) dan/atau perbuatan melawan hukum dengani nilai gugatan materiil paling banyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). (vide pasal 1 angka 1 dan pasal 3 ayat (1).
  2. Gugatan sederhana tidak termasuk :
    • Perkara yang penyelesaian sengketanya dilakukan melalui pengadila n khusus sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan;atau
    • Sengketa tanah.

Pihak yang dapat mengajukan gugatan sederhana diatur dalam pasal 4 Perma 4/2019 sebagai berikut :

  • Para pihak dalam gugatan sederhana terdiri dari penggugat dan tergugat yang masing-masing tidak boleh lebih dari satu, kecuali memiliki kepentingan hukum yang sama.
  • Terhadap tergugat yang tidak diketahui tempat tinggalnya, tidak dapat diajukan gugatan sederhana.
  • Penggugat dan tergugat dalam gugatan sederhana berdomisili di daerah hukum Pengadilan yang sama.
  • Dalam hal penggugat berada di luar wilayah hukum tempat tinggal atau domisili tergugat, penggugat dalam mengajukan gugatan menunjuk kuasa, kuasa insidentil, atau wakil yang beralamat di wilayah hukum atau domisili tergugat dengan surat tugas dari institusi penggugat.
  • Penggugat dan tergugat wajib menghadiri secara langsung setiap persidangan dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum, kuasa insidentil atau wakil dengan surat tugas dari institusi penggugat

Mengenai tata cara pendaftaran perkaranya, dalam Perma 4 Tahun 2019 ini memberikan kesempatan kepada Penggugat dan Tergugat untuk mengoptimalisasi administrasi perkara di pengadilan melalui aplikasi e-court . Selanjutnya dalam Perma 4 Tahun 2019 menambahkan adanya upaya perlawanan (verzet) terhadap putusan verstek. serta alasan upaya keberatan atas putusan gugatan sederhana yaitu terhadap putusan verzet dan putusan contradictoir dalam hal tergugat yang hanya hadir pada sidang pertama.

Dalam Perma No.4 Tahun 2019 juga memberikan kewenangan kepada Hakim untuk dapat memerintahkan peletakan sita jaminan terhadap benda milik tergugat dan/atau milik penggugat yang ada dalam penguasaan tergugat. Hal mengenai sita jaminan sebelumnya tidak diatur dalam Perma Nomor 2 Tahun 2015 (vide: pasal 17A). Kemudian yang menarik dalam pasal 18 ayat (1) disebutkan gugatan yang diakui secara bulat oleh pihak Tergugat tidak perlu pembuktian tambahan. Hal tersebut diharapkan dapat mengefisiensikan proses penyelesaian perkara guna mewujudkan peradilan sederhana, cepat dan berbiaya ringan. Hal baru lainnya yaitu Perma No.4 Tahun 2019 juga menambahkan ketentuan mengenai proses aanmaning berkaitan dengan adanya permohonan pelaksanaan putusan (eksekusi).

Mengenai waktu penyelesaian gugatan sederhana dalam Perma No. 4 Tahun 2019 tidak terdapat perubahan, yaitu tetap dibatasi maksimal 25 hari kerja yang dihitung sejak hari sidang pertama. Mengenai acara dalam gugatan sederhana tetap, tidak mengenal eksepsi, rekonvensi, permohonan provisi, replik, duplik dan atau kesimpulan. Hakim dapat mengupayakan para pihak untuk melakukan perdamaian termasuk menyarankan para pihak untuk damai diluar pengadilan.

Perma No. 4 Tahun 2019 adalah terobosan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung RI ini untuk mengoptimalisasi serta mengefisienkan penyelesaian permasalahan keperdataan yang seringkali timbul di masyarakat.


Rabu, 22 April 2020

Pembuktian Dalam Acara Perdata



 Mengenai Hukum dan Arti Pembuktian
Hukum pembuktian adalah ketentuan-ketentuan mengenai pembuktian yang meliputi alat bukti, barang bukti, cara mengumpulkan dan memperoleh bukti sampai pada penyampaian bukti di pengadilan serta kekuatan pembuktian dan pembuktian. Arti penting pembuktian adalah mencari kebenaran atas suatu peristiwa. Empat hal terkait konsep pembuktian yaitu : pertama, suatu bukti haruslah relevan dengan sengketa atau perkara yang sedang diproses., kedua, suatu bukti haruslah dapat diterima (admissible). Ketiga, exclusionary rules yaitu tidak diakuinya bukti yang diperoleh secara melawan hukum. Keempat, weight of the evidence yaitu setiap bukti yang relevan dan dapat diterima harus dapat dievaluasi oleh hakim, hal tersebut telah masuk dalam kekuatan pembuktian atau bewijskracht.
Seperti yang telah diketengahkan sebelumnya, maka yang harus dibuktikan adalah peristiwa dan bukan hukumnya. Hukum tidak harus diajukan atau dibuktikan oleh para pihak, tetapi secara ex officio dianggap harus diketahui dan diterapkan oleh hakim (ius curia novit). Hakim karena jabatannya harus melengkapi dasar-dasar hukum yang tidak dikemukakan oleh pihak-pihak. Ketentuan ini dapat disimpulkan dari Pasal 178 ayat 1 HIR (Pasal 189 ayat 1 Rbg) dan Pasal 50 ayat 1 Rv. Hakim dalam proses perdata harus menemukan dan menentukan peristiwanya (mengkonstatir), hubungan hukumnya (mengkualifisir) dan kemudian menentukan hukumnya terhadap peristiwa yang telah ditetapkan itu (mengkonstituir). Menurut M. Yahya Harahap pengertian hakim bersifat pasif mengandung makna:
1.      Hakim tidak dibenarkan mengambil prakarsa aktif meminta para pihak mengajukan atau menambah pembuktian yang diperlukan;
2.      Hakim menerima setiap pengakuan dan pengingkaran yang diajukan para pihak di persidangan, untuk selanjutnya dinilai kebenarannya oleh hakim.
3.      Pemeriksaan dan putusan hakim, terbatas pada tuntutan yang diajukan penggugat dalam gugatan.
Adapun penilaian pembuktian berlaku ketentuan sebagai berikut:
1.      Terhadap alat bukti tertulis yang berupa akta otentik, hakim terikat dalam penilaiannya, sepanjang tidak dapat dibuktikan sebaliknya oleh pihak lawan (Pasal 165 HIR/285 RBg, 1870 KUH Perdata).
2.      Hakim tidak wajib mempercayai saksi, yang berarti hakim harus memperhatikan secara khusus akan adanya hubungan timbal balik antara kesaksian-kesaksian itu (Pasal 172 HIR/309 RBg, 1908 KUH Perdata).
3.      Pihak yang berwenang menilai pembuktian, yang tidak lain merupakan penilaian suatu kenyataan, adalah hakim judex facti saja, sehingga Mahkamah Agung tidak boleh menilai hasil pembuktian dalam pemeriksaan tingkat kasasi.
4.      Apabila alat bukti oleh hakim dinilai cukup memberi kepastian tentang peristiwa yang disengketakan untuk mengabulkan apa yang dituntut oleh penggugat, kecuali kalau ada bukti lawan yang dinilai sebagai bukti lengkap atau sempurna.
5.      Setiap alat bukti yang sempurna masih dapat dilumpuhkan oleh bukti lawan. Pembuktian lawan adalah setiap pembuktian yang bertujuan untuk membuktikan ketidakbenarannya peristiwa yang diajukan oleh pihak lawan.
6.      Pasal 177 HIR/Pasal 314 RBg dan 1936 KUH Perdata tentang sumpah pemutus tidak diperbolehkan adanya jika ada bukti lawan.
Arti pembuktian bergandengan tangan dengan dasar hukum pembagian beban pembuktian, sebagaimana telah diatur secara tegas dalam Pasal 1865 KUHPerdata dan Pasal 163 HIR (Pasal 283 RBg) yang secara telah meletakkan beban pembuktian pertama di pihak penggugat yang mendalilkan suatu hak atau peristiwa hukum wajib membuktikan dalilnya tentang adanya suatu hak atau peristiwa yang diuraikannya dalam surat gugatannya. Tergugat atau pihak lawan boleh-boleh saja membantah dalil-dalil penggugat, namun sesuai asas yang dikandung oleh Pasal Pasal 1865 KUH Perdata dan Pasal 163 HIR/283 RBg, siapa yang mendalilkan suatu hak atau peristiwa, wajib membuktikan. Beban pembuktian berdasarkan ketentuan Pasal 1865 KUH Perdata dan Pasal 163 HIR/283 RBg tidak mutlak hanya dibebankan kepada pihak penggugat. Bisa saja terjadi dalam suatu gugatan pihak tergugat mengakui sebagian dari dalil penggugat, tapi disisi lain mendalilkan suatu hak atau keadaan/peristiwa.
Prinsip Hukum Pembukian Dalam Perdata
Prinsip-prinsip umum pembuktian dalam hukum perdata adalah sebagai berikut:
1. Mewujudkan Kebenaran Formil (Formeel Waarheid)
Hukum pembuktian perdata tidak menganut sistim hukum stelsel negatif seperti dalam perkara pidana. Hukum acara perdata pada pokoknya mencari kebenaran formil, yaitu hakim bersifat pasif dalam mengadili perkara gugatan yang diajukan padanya dan putusan hakim didasarkan pada pembuktian fakta yang didalilkan oleh pihak penggugat.
2. Pengakuan Mengakhiri Pemeriksaan
Pada dasarnya suatu dalil yang dikemukakan oleh penggugat yang tidak lagi dibantah oleh tergugat seluruhnya mengakibatkan pemeriksaan perkara telah selesai, dalam artian tak ada lagi hal yang disengketakan oleh kedua belah pihak. Misalnya, seperti kasus di atas, tergugat mengakui benar telah menerima sejumlah uang untuk pembayaran mobil yang dijual olehnya dan tidak membantah bahwa tergugat belum menyerahkan mobil tersebut kepada pembeli. Dengan pengakuan tersebut, maka peristiwa penggugat telah memenuhi prestasinya untuk membayar dalam perjanjian jual beli,dan terbukti tergugat belum memenuhi kewajibannya untuk menyerahkan barang yang diperjanjikan sebagai objek jual beli.
3. Fakta Tidak Perlu Dibuktikan
Ada hal-hal dalam hukum pembuktian yang tidak perlu dibuktikan lebih lanjut seperti adanya undang-undang yang berlaku mengatur hal yang sedang disengketakan, fakta umum yang telah diketahui umum (terminus notoir feiten), misalnya bahwa hari minggu adalah hari libur, bulan Juni terdiri dari 30 (tiga puluh) hari dan sebagainya.
4. Pembuktian Lawan (Tegenbeweijs)
Pasal 1918 KUH Perdata memberi kesempatan kepada pihak lawan untuk mengajukan pembelaan atau sanggahannya atas dalil penggugat dan membuktikan dalil sanggahannya tersebut. Ketentuan ini berkaitan dengan tingkat nilai pembuktian. Misalnya, akte autentik adalah bukti yang sempurna (volledig), sepanjang tidak diajukan bukti lawan yang melumpuhkan kesempurnaannya tersebut.
5. Asas Audi et Alteram Partem
Asas hakim mendengar kedua belah pihak diwujudkan tidak hanya pemeriksaan perkara wajib dihadiri oleh kedua belah pihak, dengan melakukan pemanggilan yang sah pada kedua belah pihak atau kuasanya. Namun dalam asas ini juga terkandung asas keseimbangan pembebanan pembuktian, dimana hakim harus memberi kesempatan yang sama dan cukup pada kedua belah pihak untuk menghadirkan bukti-buktinya. Jika tergugat menyangkal telah menerima pembayaran harga barang, maka penggugat yang mendalilkan telah melakukan pembayaran wajib membuktikan bahwa penggugat telah melakukan pembayaran dan diterima oleh tergugat. Jika penggugat mengakui telah menerima pembayaran, akan tetapi pembayaran yang diterimanya tersebut bukan pembayaran penuh, maka penyangkalan tergugat tersebut telah mendalilkan suatu keadaan yaitu “pembayaran tidak penuh”. Di sini tergugat dibebani untuk membuktikan bahwa pembayaran yang telah dilakukan oleh penggugat tersebut tidak mengakibatkan pembayaran lunas.
6. Asas Ius Curia Novit
Asas ini memfiksikan bahwa hakim dianggap wajib mengetahui hukum yang berlaku terhadap gugatan yang diajukan kepadanya. Dengan demikian, hakim dilarang memutus dengan alasan tidak mengetahui hukumnya atau memutus perkara di luar dari ketentuan hukum yang berlaku terhadap sengketa yang diajukan padanya.
7. Asas Nemo Testis Indoneus In Propia Causa
Asas ini bermakna bahwa tidak seorangpun boleh menjadi saksi atas perkaranya sendiri. Asas ini berlaku dalam menentukan beberapa golongan orang yang dianggap “tidak mampu” menjadi saksi dan karenanya hakim dilarang mendengar golongan ini sebagai saksi. Misalnya orang yang tidak mampu secara mutlak seperti keluarga sedarah dalam garis lurus secara vertikal maupun horizontal. Misalnya, orang tua atau suami/istri dari salah satu pihak yang berpekara. Golongan lainnya adalah mereka yang dianggap tidak mampu secara nisbi, misalnya anak di bawah umur atau orang yang hilang ingatan secara temporer.
8. Asas Ultra Ne Petita
Asas ini berkaitan dengan larangan bagi hakim untuk memutuskan diluar dari apa yang dituntut oleh para pihak. Hakim tidak boleh memutuskan lebih dari apa yang dituntut oleh penggugat atau tergugat (jika ada gugatan rekonvensi). Asas ini berisi pesan agar hakim bersifat pasif dalam mengabulkan hal-hal yang tidak dituntut tapi bersikap responsif dalam mengatur beban pembuktian.
9. Asas De Gustibus Non Est Disputandum
Asas ini berkaitan dengan selera atau ‘suka dan tak suka’ (like and dislike), di mana soal perasaan tidak dapat disengketakan. Dengan demikian, yang disengketakan adalah hak atau suatu peristiwa hukum. Dalam gugatan perbuatan melawan hukum, yang dibuktikan adalah perbuatan tergugat yang telah melanggar hak subjektif penggugat dan perbuatan tergugat bertentangan dengan kewajiban hukumnya. Bukan peraasaan suka dan tidak suka dari penggugat atas perbuatan tersebut.
10. Asas Nemo Plus Juris Transfere Potest Quam Ipse Habet
Asas ini berkaitan dengan ketentuan bahwa seseorang tidak dapat mengalihkan suatu hak yang bukan miliknya. Asas ini sebenarnya digunakan untuk melakukan penilaian mengenai sah atau tidaknya suatu perbuatan hukum.

Alat Bukti Dalam Perkara Perdata
Alat bukti adalah segala hal yang dapat digunakan untuk membuktikan perihal kebenaran suatu peristiwa di pengadilan. Menurut Pasal 1866 KUHPerdata atau Pasal 164 HIR/283 RBg alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri atas:
1.      Tulisan,
2.      Saksi-saksi,
3.      Persangkaan,
4.      Pengakuan, dan
5.      Sumpah
Alat-alat Bukti Tulisan/Tertulis
Dari urutan pengaturan dari alat bukti yang diakui secara hukum dapat dilihat bahwa dalam suatu perkara perdata alat bukti (alat pembuktian) yang utama adalah tulisan. Dalam praktik peradilan, alat bukti tertulis disebut juga dengan istilah bukti surat. Menurut Sudikno Mertokusumo, alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksud untuk mencurahkan isi hati, atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dalam praktik peradilan, alat bukti surat dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) yaitu:
1) Surat Biasa
Surat biasa tidak selamanya dibuat untuk tujuan pembuktian di pengadilan, sehingga bersifat umum. Namun demikian, jika dibutuhkan surat biasa juga dapat diajukan ke persidangan dalam perkara perdata. Sedangkan penilaiannya adalah dapat diterima sepanjang tidak dibantah oleh pihak lawan atau tidak dibantah dengan bukti surat dalam bentuk akta autentik. Secara juridis penilaian surat yang bukan akta diserahkan kepada pertimbangan hakim (lihat Pasal 1881 ayat 2 KUH Perdata, 294 ayat 2 RBG, Pasal 1883, 1887 dan 1891 KUH Perdata)
2) Akta
Akta ada 2 macam yaitu autentik dan dibawah tangan. Akta autentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang undang atau di hadapan pejabat yang berwenang untuk itu di tempat akta dibuat (Pasal 1868 KUH Perdata. Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat dan hanya semata mata dibuat oleh para pihak yang berkepentingan. Akta dibawah tangan tidak diatur dalam HIR tetapi dalam S 1867 no 29 untuk Jawa Madura, sedangkan untuk luar Jawa Madura diatur dalam pasal 286 sampai dengan pasal 305 RBg, lihat juga pasal 1874-1880 BW. Fungsi terpenting suatu akta adalah sebagai alat bukti (probationis causa).
Akta autentik adalah akta yang dibuat sesuai undang-undang dan dibuat oleh pejabat umum yang berwenang, seperti notaris, hakim, jurisita, panitera, pegawai pencatat sipil. Berdasarkan Pasal 1868 KUH Perdata, dibedakan antara akte yang dibuat oleh pejabat yang berwenang dengan yang dibuat oleh pegawai umum yang berwenang. Dalam bentuk fisiknya, akta autentik dapat berupa putusan pengadilan, penetapan hakim, berita acara persidangan, akta jual beli yang dibuat di hadapan notaris, akta kelahiran, akta perkawinan, sertifikat pendaftaran Merek dan sebagainya.
Kekuatan pembuktian dari akta dapat dibedakan menjadi:
a)      Kekuatan Akta Autentik
a.       Kekuatan pembuktian lahir.
Didasarkan pada apa yang tampak lahir, bila dari bentuknya seperti akta maka dianggap mempunyai kekuatan seperti akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya.
b.      Kekuatan pembuktian formil.
Didasarkan atas benar tidaknya ada pernyataan oleh orang yang bertandatangan dibawah akta itu, hal ini memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam akta. Berlaku asas acta publica probant sese ipsa, yang berarti bahwa suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta autentik serta memenuhi syarat syarat yang telah ditentukan maka akta itu dianggap sebagai akta otentik kecuali terbukti sebaliknya.
c.       Kekuatan pembuktian materiil.
Memberi kepastian tentang materi suatu akta bahwa para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam akta. Dalam arti formil, akta otentik membuktikan kebenaran dari apa yang dilihat, didengar dan dilakukan pejabat.
d.      Kekuatan Pebuktian Formil Akte.
Ini adalah pembuktian tentang kebenaran dan keterangan pejabat sepanjang mengenai apa yang dilakukan dan dilihatnya. Pada akta pejabat (acte ambtelijk) tidak terdapat pernyataan atau keterangan dari para pihak, karena pihak pejabat yang menerangkan. Akta pejabat hanya membuktikan kebenaran apa yang dilihat dan dilakukan pejabat, pernyataan para pihak tidak ada sehingga umumnya akta pejabat tidak mempunyai kekuatan pembuktian materiil kecuali yang dikeluarkan Kantor Catatan Sipil atau pejabat pencatatan lainnya berdasarkan perintah undang-undang. Misalnya pihak Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang menyelenggarakan pencatatan dan pendaftaran Merek, Paten, Hak Cipta dan Desain Industri.
b)      Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan
a.       Kekuatan pembuktian lahir.
Kalau tandatangan dalam akta tersebut diakui maka akt dibawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
b.      Kekuatan pembuktian formil akta dibawah tangan.
Kalau tandatangan akta dibawah tangan diakui maka keterangan atau pernyataan diatas tanda tangan itu benar keterangan atau pernyataan dari si penanda tangan.
c.       Kekuatan pembuktian materiil akta dibawah tangan.
Menurut pasal 1875 BW (lihat juga pasal 288 RBG) akta dibawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa akta itu digunakan atau yang dapat dianggap diakui menurut undang undang, bagi yang menandatangani, ahli warisnya serta orang orang yang mendapat hak dari mereka, merupakan bukti yang sempurna seperti akta otentik.
Kekuatan pembuktian dari surat atau alat bukti tertulis terletak pada aslinya (Pasal 301 RBG, 1888 BW). Apabila akta aslinya sudah tidak ada lagi maka kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada hakim (Pasal 302 RBG, 1889 BW). Demikian pula, kekuatan pembuktian salinan surat surat lain diserahkan kepada pertimbangan hakim. Dalam praktik peradilan, ada putusan Mahkamah Agung yang dapat dijadikan sebagai referensi mengenai penilaian bukti akta autentik, yaitu putusan Nomor 3360 K/Sip/1983 yang pada pokoknya menyatakan bahwa nilai pembuktian akte autentik adalah sempurna (volledig), akan tetapi hal itu melekat sepanjang tidak diajukan bukti lawan oleh pihak tergugat yang melumpuhkannya. (Pasal 1870 KUH Perdata/Pasal 314 RBg).
2. Bukti Saksi
Apabila tidak terdapat bukti-bukti yang berupa tulisan, maka pihak yang diwajibkan membuktikan sesuatu berusaha mendapatkan orang-orang yang telah melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan. Orang atau orang-orang itu di muka hakim diajukan sebagai saksi. Apabila tidak mungkin mengajukan saksi-saksi yang telah melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan, maka diusahakan untuk membuktikan peristiwa-peristiwa lain yang ada hubungan erat dengan peristiwa yang harus dibuktikan tadi. Namun ada beberapa orang, yang secara mutlak tidak dapat didengar sebagi saksi di bawah sumpah, yaitu:
a.       Keluarga sedarah dan semenda dari salah satu pihak dalam garis lurus;
b.      Suami atau istri salah satu pihak, juga setelah mereka bercerai;
c.       Anak-anak yang umurnya tidak diketahui dengan pasti apakah telah mencapai 15 tahun;
d.      Orang-orang gila, walaupun sekali-sekali mereka dapat menggunakan pikirannya yang sehat.
Anggota keluarga sedarah dan semenda boleh menjadi saksi dalam sengketa mengenai status perdata dari pihak-pihak atau mengenai suatu perjanjian kerja, untuk mana mereka dipandang cakap. (Pasal 145 ayat (1) dan (2) HIR/172 RBg, Pasal 1910, 1912 KUH Perdata). Saksi yang punya hak mengundurkan diri adalah:
a.       Saudara-saudara laki-laki dan perempuan, ipar-ipar laki-laki dan perempuan dari salah satu pihak;
b.      Keluarga sedarah dalam garis lurus dan saudara-saudara kandung dari suami atau istri salah satu pihak;
c.       Mereka yang karena kedudukan, pekerjaan atau jabatan yang sah wajib menyimpan rahasia, akan tetapi hanya semata-mata dan melulu menyangkut hal-hal yang oleh ilmu pengetahuan dipercayakan kepadanya.
Dasar dari kewajiban untuk menyimpan rahasia yang didalilkan itu terserah pada penilaian pengadilan negeri (Pasal 146 HIR/174 Rbg, Pasal 1909 KUH Perdata). Dalam putusan Mahkamah Agung no. 300 K/Sip/1973 tanggal 11 November 1975 bahwa saksi bekas ipar tidak termasuk yang disebut dalam Pasal 146 ayat (1) HIR/174 RBg sedangkan saksi keponakan ada hak untuk mengundurkan diri.
Penilaian terhadap alat bukti saksi
Berdasarkan Pasal 172 HIR/309 RBg jo Pasal 1908 KUH Perdata, hakim bebas atau tidak terikat dengan keterangan saksi dalam memberikan penilaian. Hakim tidak wajib mempercayai keterangan saksi, akan tetapi dalam penilaiannya hakim harus menilai 2 (dua) hal, yaitu terpenuhinya persyaratan formal bagi saksi dapat didengar sebagai saksi, dan syarat materil sebagaimana diatur oleh Pasal 172 HIR/ pasal 309 RBg dan pasal 1908 KUHPerdata.
a. Syarat Formil
1.      Saksi tidak dilarang sebagai saksi di persidangan (Pasal 1910 KUH Perdata jo Pasal 172 HIR/145 RBg);
2.      Saksi memberi keterangan di persidangan sesuai dengan ketentuan Pasal 144 HIR jo Pasal 1905 KUH Perdata;
3.      Saksi mengucapkan sumpah untuk kebenaran keterangan/kesaksiannya (Pasal 171 HIR jo Pasal 1907 KUH Perdata);
4.      Saksi didengar keterangannya satu persatu (Pasal 144 ayat (1) HIR/171 RBg);
b. Syarat Materil
1.      Kesesuaian atau kecocokan antara keterangan para saksi atau dengan alat bukti lainnya tentang pokok perkara yang disengketakan(Pasal 171 HIR jo Pasal 1907 KUH Perdata);
2.      Persitiwa yang diterangkan saksi bersumber dari pengalaman, penglihatan, pendengaran dan yang dialami saksi sendiri yang relevan dengan hal yang disengketakan (Pasal 171 HIR jo Pasal 1907 KUH Perdata);
3.      Kesesuaian kesaksian dengan apa yang diketahui dari segi lain tentang perkara yang disengketakan;
4.      Cara hidup saksi, adat istiadat serta martabat para saksi dan segala sesuatu yang sekiranya mempengaruhi tentang dapat tidaknya dipercaya seorang saksi.
Dengan demikian, meskipun undang-undang tidak mewajibkan hakim mempercayai keterangan saksi, akan tetapi ada tolak ukur bagi hakim untuk menilai apakah keterangan saksi memiliki nilai pembuktian atau tidak.

3. Penyangkaan
Apabila saksi-saksi yang melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan, sukar didapatkan atau tidak ada, maka dapat diusahakan pembuktian dengan persangkaan-persangkaan. Misalnya, dalam suatu perkara gugatan perceraian yang didasarkan kepada perzinahan, adalah sukar sekali pembuktiannya. Berdasarkan yurisprudensi, ada persangkaan yang dapat dibangun dalam suatu keadaan yaitu jika dapat dibuktikan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang dituduh melakukan perzinahan itu telah bersama-sama menginap dalam kamar di mana hanya ada satu tempat tidur, maka dipersangkakan bahwa mereka itu benar melakukan perzinahan.
“Persangkaan” ialah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah telah “terkenal” atau dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang “tidak terkenal”, artinya belum terbukti. Maka dari itu kalau persangkaan ini dinamakan alat bukti, itu adalah kurang tepat. Adapun yang menarik kesimpulan yang tersebut tadi, adalah hakim atau undang-undang. Bila yang menarik kesimpulan itu hakim, maka persangkaan itu dinamakan “persangkaan Hakim sedangkan apabila yang menarik kesimpulan itu undang-undang maka persangkaan itu dinamakan “persangkaan undang-undang”.
Kalau pembuktian dengan tulisan dan kesaksian itu merupakan pembuktian secara langsung, maka pembuktian dengan persangkaan dinamakan pembuktian secara tidak langsung. Kesimpulan tentang terbuktinya peristiwa yang dipersengketakan itu apabila persangkaan itu berbobot, cermat dan tertentu serta bersesuaian satu dengan lainnya (Pasal 1915 KUH Perdata, Pasal 173 HIR/310 RBg). Di samping itu ada pula ketentuan undang-undang yang mengambil kesimpulan seperti yang dilakukan oleh hakim tadi (Pasal 1916, 1921 KUH Perdata, Pasal 173 HIR/310 RBg). Apa yang dinamakan persangkaan-persangkaan hakim dalam perkara perdata itu adalah sama dengan apa yang dinamakan pembuktian dengan petunjuk-petunjuk dalam perkara pidana.
Ada juga yang mempersoalkan tentang pemeriksaan setempat yang dilakukan oleh hakim. Apakah pemeriksaan setempat itu merupakan alat bukti? Pemeriksaan setempat itu tidaklah lain dari pada memindahkan tempat sidang hakim ke tempat yang dituju itu, sehingga apa yang dilihat oleh hakim sendiri ditempat tersebut, dapat dianggap sebagai dilihat oleh hakim dimuka sidang pengadilan. Jadi merupakan penglihatan hakim yang tidak tunduk pada kasasi.
4. Pengakuan
Pengakuan dalam perkara perdata, mempunyai kekuatan pembuktian mengikat dan menentukan. Hakim harus menerima pengakuan yang dilakukan oleh para pihak yang berperkara, meskipun mungkin pengakuan tersebut dibangu diatas suatu kebohongan. Dari sudut teori Menurut R. Soebekti, pembuktian, pengakuan sebagai alat bukti mengikat tidak tepat. Karena apabila dalil-dalil yang dikemukakan pihak lawan diakui, maka pihak yang mengemukakan dalil-dalil itu tidak usah membuktikannya. Dengan diakuinya dalil-dalil tadi, pihak yang mengajukan dalil-dalil itu dibebaskan dari pembuktian. Pembuktian hanya perlu diadakan terhadap dalil-dalil yang disangkal oleh pihak lawan. Dalam perkara perdata, apabila pihak lawan tidak menyangkal dalil pihak lawannya, diartikan sebagai mengakui atau membenarkannya.
Pengakuan yang dilakukan dimuka hakim memberikan suatu bukti yang sempurna terhadap siapa yang telah melakukannya, baik sendiri maupun dengan perantaraan seorang yang khusus dikuasakan untuk itu (Pasal 1925 KUHPerdata, 176 HIR/311 RBg). Artinya ialah, bahwa hakim harus menganggap dalil-dalil yang telah diakui itu sebagai benar dan meluluskan (mengabulkan) segala tuntutan atau gugatan yang didasarkan pada dalil-dalil tersebut. Pengakuan merupakan bukti yang sempurna dan mengikat adalah pengakuan yang dilakukan di muka hakim. Pengakuan itu harus diucapkan di muka hakim oleh tergugat sendiri atau oleh seorang yang khusus dikuasakan untuk itu. Ada hal-hal yang harus diperhatikan oleh hakim berkaitan dengan pengakuan sebagai berikut:
a.       Pengakuan yang dilakukan di muka hakim itu tidak boleh ditarik kembali kecuali apabila dapat dibuktikan bahwa ia telah dilakukan sebagai akibat dari suatu kekhilafan mengenai hal-hal yang terjadi.
b.      Suatu pengakuan tidak boleh ditarik kembali dengan dalil bahwa orang yang melakukannya khilaf tentang suatu soal hukum.
c.       Pengakuan tidak boleh dipecah-pecah, artinya tidak boleh mengakui sebagian hal tetapi tidak mengakui sebagian hal yang lain. Contoh: tergugat mengakui utang yang didalilkan penggugat, tetapi utang tersebut sudah dibayar lunas. Jawaban seperti ini tidak termasuk pengakuan.
d.      Pengakuan yang dikualifisir: contoh, tergugat membenarkan sudah membeli barang dari penggugat, tetapi tidak dibayarnya karena barangnya rusak. Dalam kedua hal tersebut, yang harus membuktikan adalah penggugat.
5. Sumpah
Menurut Sudikno Mertokusumo, sumpah adalah suatu penrnyataan khikmad yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat Mahakuasa dari Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji tidak benar akan dihukum oleh Nya. Alat bukti sumpah diatur dalam pasal 182 s/d pasal 185 RBg, Pasal 155 s/d pasal 158 HIR. Pasal 314 RBg / pasal 177 HIR, Pasal 1929 s/d pasal 1945 KUH Perdata. Dalam hukum acara perdata para pihak yang bersengketa tidak boleh didengar sebagai saksi. Namun demikian walaupun tidak dapat didengar sebagai saksi, dibuka kemungkinan untuk memperoleh keterangan dari pihak yang diteguhkan dengan sumpah, yang dimaksud sebagai alat bukti.
Dalam perkara perdata sumpah yang diangkat oleh salah satu pihak dimuka hakim itu, ada dua macam:
a. Sumpah Pemutus
Sumpah pemutus disebut juga sumpah decissoir, diatur dalam pasal 183 RBg/156 HIR dan Pasal 1930 KUH Perdata. Sumpah Pemutus adalah sumpah yang diajukan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan. Inisiatif untuk membebani sumpah pemutus adalah dari salah satu pihak yang berperkara, dan dia pula yang menyusun rumusan sumpahnya. Sumpah tersebut harus mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri oleh pihak yang diperintahkan untuk bersumpah. Apabila perbuatan tersebut dilakukan oleh kedua belah pihak kemudian pihak yang diminta mengangkat sumpah tidak bersedia, maka ia dapat mengembalikan sumpah kepada pihak lawannya. Akan tetapi bila perbuatan yang dimintakan sumpah bukan merupakan perbuatan yang dilakukan bersama (dilakukan sendiri) yang dilakukan pihak yang dibebani sumpah, maka sumpah tersebut tidak dapat dikembalikan kepada pihak lawan yang tidak ikut melakukan perbutan. Pasal 183 RBg/156 HIR dan pasal 1932 KUH Perdata, menyatakan:
Barang siapa yang diperintahkan mengangkat sumpah tidak bersedia dan menolak mengembalikannya ataupun barang siapa memerintahkan mengangkat sumpah dan setelah kepadanya sumpah itu dikembalikan, ia menolak maka ia harus dikalahkan.
Sumpah pemutus (decissoir) dapat diperintahkan tentang segala persengketaan yang berupa apapun juga, selainnya tentang hal-hal yang para pihak tidak berkuasa mengadakan suatu perdamaian atau hal-hal di mana pengakuan mereka tidak boleh diperhatikan. Sumpah pemutus diminta oleh salah satu pihak kepada pihak lawannya manakala kedua belah pihak tidak mempunyai alat bukti sama sekali. Pihak yang diminta bersumpah dapat mengembalikan sumpah tersebut kepada pihak yang meminta. Konsekuensinya, siapa yang bersumpah harus dimenangkan (Pasal 1930 KUH Perdata). Sumpah pemutus ini merupakan senjata pamungkas artinya senjata terakhir bagi suatu pihak yang tidak mengajukan suatu pembuktian. Ia merupakan suatu senjata yang mudah dipakai, tetapi juga berbahaya bagi yang menggunakannya. Kalau pihak lawan berani sumpah, orang yang memerintahkan sumpah itu akan kalah.
b. Sumpah Tambahan
Sumpah tambahan disebut juga sumpah supplatoir diatur dalam pasal 182 RBg/155/HIR dan pasal 1940 KUH Perdata. Sumpah Tambahan adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya pada salah satu pihak yang berperkara untuk menambah atau melengkapi pembuktian yang belum lengkap. Jadi sumpah penambah hanya dapat diperintahkan oleh hakim kepada salah satu pihak yang berperkara bila sudah ada permulaan pembuktian tapi belum mencukupi dan tidak ada bukti lain. Jika tanpa ada bukti sama sekali maka hakim tidak dapat memerintahkan salah satu pihak mengangkat sumpah, demikian juga bilamana sudah ada alat bukti yang cukup.
Pihak yang diminta sumpah dapat mengangkat atau menolak sumpah itu. Sumpah suppletoir tidak bisa dikembalikan kepada pihak lawan dan tidak boleh diminta oleh suatu pihak. Tidak ada keharusana bagi hakim untuk memerintahkan sumpah Suppletoir / tambahan Apakah dalam suatu perkara sudah terdapat suatu permulaan pembuktian, adalah terserah pada pertimbangan hakim sendiri. Hakim leluasa untuk memerintahkan sumpah tambahan itu kepada pihak penggugat atau pihak tergugat.
Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung, sumpah tambahan ini tidak terikat pada syarat bahwa sumpah itu harus mengenai perbuatan pribadi dari si bersumpah. (Majalah Hukum tahun 1957 No. 1-2). Contoh: saya bersumpah bahwa barang yang saya terima dari penjual sudah dalam keadaan rusak. Tetapi meskipun demikian, sudah barang tentu bahwa orang hanya dapat bersumpah tentang hal-hal yang diketahuinya, misalnya saja tidak dapatlah seorang bersumpah bahwa sawah sengketa diperoleh nenek moyang tergugat dengan membuka hutan seratus tahun yang lalu. Dengan demikian dapat kita lihat, bahwa sumpah tambahan ini, mengenai syarat-syarat untuk memerintahkannya adalah lebih sempit dari sumpah pemutus, karena harus ada permulaan pembuktian, tetapi mengenai isinya sumpah itu lebih luas karena tidak perlu mengenai perbuatan pribadi dari si yang bersumpah.
c. Sumpah Penaksir
Sumpah penaksir adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang pengganti kerugian. Sumpah penaksir ini diperintahkan oleh hakim bila jumlah uang pengganti kerugian yang diderita tidak dapat ditentukan dengan pasti.Bahkan dalam hal yang demikian itu hakim harus menetapkan hingga jumlah mana si penggugat akan dipercaya akan sumpahnya. Sumpah ini lazim dikenal dengan nama “sumpah penaksiran atau sumpah taxatoir”.
Jika ada suatu halangan yang sah, yang menyebabkan penyumpahan itu tidak dapat dilaksanakan dimuka sidang pengadilan, maka sumpah dapat dialaksanakan di luar pengadilan, misalnya di rumah sakit, rumah yang bersangkutan, kelenteng dan lain-lain, asal disaksikan oleh hakim yang mengadili perkaranya. Sumpah harus diangkat sendiri pribadi. Karena alasan-alasan penting, hakim dapat mengizinkan suatu pihak yang berperkara untuk mengangkat sumpahnya yang dilaksanakan oleh orang lain yang untuk itu khusus dikuasakan dengan suatu akta otentik. Dalam hal ini surat kuasa harus menyebutkan secara lengkap dan teliti sumpah yang harus diucapkan itu. Dari apa yang telah diuraikan diatas, dapat diambil beberapa perbedaan yang utama dari sumpah pemutus dengan sumpah tambahan yaitu:
a.       Sumpah pemutus dibebankan oleh hakim atas inisiatif para pihak dalam perkara, sedangkan sumpah penambah atas inisiatif hakim sendiri;
b.      Sumpah pemutus hanya diperbolehkan apabila tidak ada suatu bukti apapun, sedangkan sumpah penambah harus ada permulaan pembuktian;
c.       Sumpah pemutus dapat dikembalikan kepada pihak lain, sedangkan sumpah penambah tidak dapat dikembalikan atau dialihkan kepihak lain;
d.      Dalam sumpah pemutus yang menjadi objek sumpah harus mengenai perbuatan pribadi, sedangkan dalam sumpah penambah yang menjadi obyek sumpah adalah perbuatan orang lain;
e.       Sumpah pemutus memberikan bukti yang menentukan, sedangkan sumpah Penambah memberikan bukti sementara yang dapat dilawan dengan bukti lain.