STATUS KEKAYAAN BUMN DALAM KEUANGAN NEGARA


STATUS KEKAYAAN BUMN DALAM KEUANGAN NEGARA

LATAR BELAKANG

Bahwa dalam menjalankan bisnisnya, BUMN (Badan Usaha Milik Negara) mengalami dilema, dimana berkaitan dengan asset BUMN terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan. Dalam Pasal 2 huruf g Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), yang selengkapnya sebagai berikut:
            Pasal 2 huruf g :
“Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi : Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.”

            Di sisi lain, ada pendapat bahwa walaupun modal BUMN seluruhnya atau sebagian dimiliki oleh negara, tetapi  berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan melalui penyertaan secara langsung sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, yang selengkapnya sebagai berikut :             
            Pasal 1 butir 1 :
Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.”
             
            Apabila merujuk pada pasal tersebut di atas maka ada pendapat bahwa pendiri BUMN adalah Negara sebagai pemodal atau pemegang saham dalam BUMN, sehingga Negara sudah tidak dapat mengutak atik modal yang sudah masuk dalam modal BUMN. Secara tegas disebutkan dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara  dan penjelasannya, pengelolaan kekayaan Negara yang dimasukan dalam modal BUMN tidak didasarkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
            Pasal 4 ayat (l) :
“BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”

Penjelasan Pasal 4 ayat (1) :
“Yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat”
Dampak dari pertentangan peraturan perundangan dalam pelaksanaan administrasi Negara tersebut, menyebabkan kebingungan dalam penerapannya, sebagai contoh apabila BUMN mengalami kerugian apakah merupakan kerugian negara yang dapat berujung pada penyidikan di perkara korupsi ataukah kerugian tersebut hanya berimplikasi dalam ruang lingkup hukum perdata / korporasi. Berdasarkan hal tersebut penting kiranya untuk menjelaskan mengenai status dari kekayaan BUMN dalam keuangan negara.

PEMBAHASAN
1.      Keuangan Negara
Pengertian keuangan negara tidak ditemukan satu pengertian yang dapat diterima bagi semua kalangan sehingga definisi tentang keuangan negara dapat ditemukan dalam beberapa pendapat ahli daiantaranya:[1]
  1. Menurut M. Ichwan, Keuangan negara adalah rencana kegiatan secara kualitatif (dengan angka-angka di antaranya diwujudkan dalam jumlah mata uang), yang akan dijalankan untuk masa mendatang, lazimnya satu tahun mendatang.
  2. Menurut Geodhart, Keuangan negara merupakan keseluruhan undang-undang yang ditetapkan secara periodik yang memberikan kekuasaaan pemerintah untuk melaksanakan pengeluaran mengenai periode tertentu dan menunjukkan alat pembiayaan yang diperlukan untuk menutup pengeluaran tersebut. Unsur-unsur keuangan negara menurut Geodhart meliputi: Periodik; Pemerintah sebagai pelaksana anggaran; Pelaksanaan anggaran mencakup dua wewenang, yaitu wewenang pengeluaran dan wewenang untuk menggali sumber-sumber pembiayaan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran yang bersangkutan; Dan bentuk anggaran negara adalah berupa suatu undang-undang.
  3. Menurut Van der Kemp, Keuangan negara adalah semua hak yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu (baik berupa uang maupun barang) yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan hak-hak tersebut.
  4. Seminar ICW tanggal 30 Agustus-September 1970 di Jakarta, antara lain, merekomendasikan pengertian keuangan negara adalah semua hak kewajiban yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu, baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Pengertian keuangan Negara sebagai salah satu rekomendasi seminar ICW tersebut dinilai mendekati pengertian keuangan negara menurut Van der Kemp.

Dalam pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dinyatakan: “kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah”. Dalam penjelasan Undang-Undang Keuangan Negara berkaitan dengan pengertian dan ruang lingkup keuangan negara dijelaskan sebagai berikut: “Pengertian yang digunakan dalam merumuskan keuangan negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek dimaksud dengan keuangan negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut diatas dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut diatas dalam rangka pemerintahan negara. Bidang pengelolaan keuangan negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan”
Pengertian keuangan negara dalam arti luas juga terdapat pada UU No 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 1 angka 1 menyatakan: Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan yang ditetapkan dalam APBN dan APBD.  Pengertian keuangan negara menurut UUD 1945 dengan melakukan penafsiran dogmatis dan penafsiran restriktif, dengan menghubungkan Pasal 23 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), yang dimaksudkan dengan keuangan negara tidak lain adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Untuk dapat memahami keuangan negara Arifin P. Soeria Atmadja memberikan tiga interpertasi terhadap Pasal 23 UUD 1945, yaitu:[2]
  1. “...pengertian keuangan negara diartikan secara sempit dan untuk itu dapat disebutkan sebagai keuangan negara yang bersumber pada APBN, sebagai suatu sub-sistem dari suatu sistem keuangan negara dalam arti sempit.” Jika didasarkan pada rumusan tersebut, keuangan negara adalah semua aspek yang tercakup dalam APBN yang diajukan oleh pemerinah kepada DPR setiap tahunnya. Dengan kata lain APBN merupakan deskripsi dari keuangan negara dalam arti sempit, sehingga pengawasan terhadap APBN juga merupakan pengawasan terhadap keuangan negara.
  2. Berkaitan dengan metode sistematikdan historis yang menyatakan,” ...keuangan negara dalam arti luas, yang meliputi keuangan negara yang berasal dari APBN, APBD, BUMN, BUMD, dan pada hakikatnya seluruh harta kekayaan negara, sebagai suatu sistem keuangan negara...”. Makna tersebut mengandung pemahaman keuangan negara dalam arti luas, adalah segala sesuatu kegiatan atau aktivitas yang berkaitan erat dengan uang yang diterima atau dibentuk berdasarkan hak istimewa negara untuk kepentingan publik. Pemahaman tersebut kemudian lebih diarahkan pada dua hal, yaitu hak dan kewajiban negara yang timbul dan makna Keuangan Negara. Adapun yang dimaksud dengan hak tersebut adalah hak menciptakan uang; hak mendatangkan hasil, hak melakukan pungutan, hak meminjam, dan hak memaksa. Adapun kewajiban adalah kewajiban menyelenggarakan tugas negara demi kepentingan masyarakat, dan kewajiban membayar hak-hak tagihan pihak ketiga berdasarkan hubungan hukum atau hubungan hukum khusus.
  3. Melalui “pendekatan sistematik dan teologis atau sosiologis terhadap keuangan negara yang dapat memberikan penafsiran yang relatif lebih akurat sesuai dengan tujuannya.” Maksudnya adalah, “Apabila tujuan menafsirkan keuangan negara tersebut dimaksudkanuntuk mengetahui sistem pengurusan dan pertanggungjawabannya, maka pengertian keuangan negara apabila pendekatannya dilakukan dengan menggunakan cara penafsiran sistematis dan teologis untuk mengetahui pengertian keuangan negara dalam arti luas, yakni termasuk didalamnya keuangan yang berada dalam APBN, APBD, BUMN/BUMD dan pada hakikatnya seluruh kekayaan negara merupakan objek pemeriksaan dan pengawasan”.
2.      Modal Negara Pada BUMN dan Statusnya Sebagai Perseoran Terbatas
Berkaitan dengan modal negara pada BUMN sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 4 ayat (1) UU BUMN. Menurut Pasal 1 angka 10 BUMN, kekayaan negara yang berasal dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya. Rudhy Prasetya, memaparkan secara universal berlaku ajaran tentang ‘separate legal entity’ (badan hukum/korporasi), bahwa suatu harta kekayaan yang telah dipisahkan dan dimasukkan sebagai modal ke dalam korporasi/badan hukum, harta kekayaan itu menjadi harta korporasi dan tidak dapat diperlakukan sebagai harta kekayaan pemilik awal.[3]

Ketidakjelasan status hukum BUMN yang selain tunduk pada UU BUMN, juga harus mengikuti UU Perseroan Terbatas, paket UU bidang Keuangan Negara, paket UU bidang Pemeriksaan dan Pengawasan, serta peraturan perundang-undangan sektoral yang dalam pelaksanaannya terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kegiatan operasional BUMN mengakibatkan pemerintah menganggap dapat campur tangan dalam pengelolaan dan manajemen BUMN. Pemerintah cenderung memperlakukan BUMN  sebagai organisasi birokrasi, padahal BUMN adalah organisasi bisnis. BUMN banyak dikendalikan oleh birokrasi pemerintah dan berlaku banyak peraturan yang tergolong hukum publik
Arifin P Soeria Atmadja mengkritik mengenai ketidak jelasan status UU BUMN terkait dengan pengertian keuangan Negara, karena dalam UU Keuangan Negara selain tidak memuat batasan yang jelas substansi keuangan negara, undang-undang ini pun secara akademik sama sekali tidak memenuhi syarat rumusan materi sebuah undang-undang. Lebih lanjut dikemukakan bahwa UU Keuangan Negara mengatur substansi yang berada di luar lingkungan kuasa keuangan negara karena mengatur pula keuangan daerah maupun keuangan BUMN dan BUMD yang bukan dalam ruang lingkup bidangnya.[5] Dikaitkan dengan prinsip kekayaan terpisah dalam perseroan, maka kekayaan negara yang telah dipisahkan pada BUMN bukan lagi merupakan milik negara dan tanggung jawab negara. Negara  pada saat yang bersamaan dengan pemisahan kekayaan tersebut tidak lagi memiliki imunitas publik sehingga kedudukannya sama halnya dengan pemegang saham lainnya. Hubungan antara pemegang saham sama dan sederajat secara hukum.[6] Pemisahan kekayaan negara  tersebut mengakibatkan transformasi hukum dari status hukum keuangan publik menjadi status hukum keuangan privat.[7] Persero harus memenuhi unsur-unsur badan hukum seperti yang ditentukan dalam Undang-undang Perseroan Terbatas. Unsur-unsur tersebut adalah organisasi yang teratur, harta kekayaan sendiri, melakukan hubungan hukum sendiri, dan mempunyai tujuan sendiri.[8]
Doktrin hokum yang digunakan dalam UU Keuangan Negara dimana menyatakan kekayaan BUMN persero juga merupakan kekayaan Negara adalah bersumber dari kewajiban Negara sebagai penyedia pelayanan dasar kepada masyrakat sebagaimana mandat konstitusi pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan : “Cabang-cabang produksi penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”. Dibentuknya BUMN yang bergerak pada sector-sektor produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak merupakan bagian dari peran Negara untuk menyediakan pelayanan dasar dan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang tujuannya sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Oleh karena BUMN bergerak dalam sector-sektor penting yang menguasai hajat hidup orang banyak maka pengelolaan keuangannya harus dapat efisien, ekonomis, transparan, dapat dipertanggungjawabkan dan diawasi penggunaannya.
Bagir Manan berpendapat walaupun kekayaan Negara yang dipisahkan pengelolaannya ditujukan untuk mendapatkan keuntungan atau profit motive, namun di samping itu dapat tujuan yang lebih strategis yaitu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat untuk mencapai tujuan bernegara.[9] BUMN bertugas menyediakan barang dan jasa yang termasuk antara sector public dan sector privat, diantaranya : 1) Barang yang merupakan kebutuhan dasar dan hajat hidup orang banyak, 2) Orang yang memanfaatkan harus membeli dengan harga yang terjangkau, 3) Disediakan terus menerus dalam kondisi apapun. BUMN didirikan tidak semata-mata untuk mencari untung melainkan untuk memenuhi dan menjamin kebutuhan public secara berkesinambungan dan wajar, sehingga misi utama BUMN adalah memenuhi kebutuhan public secara terus menerus dalam keadaan apapun, baru kemudian mencari untung[10].
Berdasarkan hal tersebut BUMN Persero seolah terhimpit ciri kemandiriannya karena UU Keuangan Negara kekayaan BUMN Persero mengesampingkan doktrin hokum corporate separate legal entity. Dalam UU Keuangan Negara, definisi keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dalam penjelasan UU Keuangan Negara dinyatakan bahwa pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi objek, subjek, proses, dan tujuan. Dari sisi objek, yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut[11]
Di Pasal 1 UU BUMN dinyatakan, ”bahwa penyertaan negara merupakan kekayaan negara  yang telah dipisahkan”, maknanya telah masuk di ranah hukum privat, sementara UU Keuangan Negara memposisikan BUMN pada tataran hukum publik. Pada sisi lain,  Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 dinyatakan bahwa pengelolaan BUMN Persero dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995 Jo. Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang  Perseroan terbatas berikutperaturan pelaksanaannya. Hal tersebut berarti undang-undang Perseroan Terbatas sesuai dengan asas  lex spesialis derogat lex generalis yang berlaku bagi BUMN Persero. Dengan demikian, jika terjadi kerugian di  suatu BUMN Persero maka kerugian tersebut bukan merupakan kerugian keuangan negara melainkan kerugian juga disebut sebagai risiko bisnis sebagai badan hukum privat. Merujuk Rudhi Prasetya penggunaan kata “dipisahkan” merangkum pengertian sebagai berikut:
1)      Kekayaan negara tersebut bukan lagi sebagai kekayaan negara, tetapi sebatas penyertaan modal dalam Persero, oleh karena telah berubah menjadi harta kekayaan Persero, maka
2)      Jika terjadi kerugian sebagai akibat risiko bisnis (business risk), harus dipahami dan diperlakukan dalam konteks “business judgement  berdasarkan “business judgement rules”.

Erman Rajagukguk berpendapat bahwa BUMN merupakan badan hukum yang memiliki kekayaan sendiri.[12] Dengan demikian, kekayaan BUMN Persero maupun kekayaan BUMN Perum sebagai badan hukum bukanlah kekayaan negara. Selanjutnya Erman Rajagukguk juga berpendapat bahwa “Kekayaan negara yang dipisahkan” dalam Badan Usaha Milik Negara secara fisik adalah berbentuk saham yang dipegang oleh negara, bukan harta kekayaan Badan Usaha Milik Negara itu.[13]
         Mahkamah Agung dengan Surat Mahkamah Agung Nomor : WKMA/Yud/20/VIII/2006 tanggal 16 Agustus 2006 yang kemudian dikenal dengan fatwa Mahkamah Agung berpendapat:
1.      Bahwa Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara berbunyi: “Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”
Pasat 4 ayat (l) undang-undang yang sama menyatakan bahwa “BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”
Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) tersebut dikatakan bahwa “Yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat”;
2.      Bahwa dalam pasal-pasal tersebut di atas, yang merupakan undang-undang khusus tentang BUMN, jelas dikatakan bahwa modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang telah dipisahkan dari APBN dan selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak didasarkan pada sistem APBN melainkan didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat;
3.      Bahwa Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyebutkan : “Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah”; Bahwa oleh karena itu piutang BUMN bukanlah piutang Negara;
4.      Bahwa meskipun Pasal 8 Undang-Undang No. 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara menyatakan bahwa “piutang Negara atau hutang kepada Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Negara atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh Negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun” dan dalam penjelasannya dikatakan bahwa piutang Negara meliputi pula piutang “badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian atau seluruhnya milik Negara, misalnya Bank-bank Negara, P.T-P.T Negara, Perusahan-Perusahaan Negara, Yayasan Perbekalan dan Persedian, Yayasan Urusan Bahan Makanan dan sebagainya”, serta Pasal 12 ayat (1) undang-undang yang sama mewajibkan Instansi-instansi Pemerintah dan badan-badan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 untuk menyerahkan piutang-piutang yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum akan tetapi penanggung hutangnya tidak mau melunasi sebagaimana mestinya kepada Panitia Urusan Piutang Negara, namun ketentuan tentang piutang BUMN dalam Undang-Undang No. 49 Prp. Tahun 1960 tersebut tidak lagi mengikat secara hukum dengan adanya Undang Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang merupakan undang-undang khusus (lex specialis) dan lebih baru dari Undang-Undang No. 49 Prp. Tahun 1960;
5.      Bahwa begitu pula halnya dengan Pasal 2 huruf g Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 yang berbunyi : Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 meliputi : “g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah” yang dengan adanya Undang Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN maka ketentuan dalam Pasal 2 huruf g khusus mengenai “kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah” juga tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum;
6.   Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, dapat dilakukan perubahan seperlunya atas Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.
              Menyusul Fatwa Mahkamah Agung tersebut Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006, tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.
            Terbitnya Fatwa Mahkamah Agung tersebut, ditanggapi oleh Kementerian Negara BUMN yang sebagaimana tertuang dalam suratnya No. S- 298/S.MBU/2007 25 Juni 2007 tertanggal 25 Juni 2007 yang ditujukan kepada Direksi, Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN  tentang hubungan UU Keuangan Negara dengan UU BUMN yang isinya dapat disimpulkan sebagai berikut[15] : 
Sesuai dengan UU Keuangan Negara dan UU BUMN, maka kekayaan Negara yang ada pada BUMN hanya sebatas modal/saham, untuk selanjutnya dikelola secara korporasi sesuai dengan kaidah-kaidah hukum korporasi, tidak lagi dikelola berdasarkan kaidahkaidah hukum kekayaan Negara. Berdasarkan kedua undang-undang tersebut, mengingat ruang lingkup Keuangan Negara terdiri dari kekayaan Negara yang tidak dipisahkan dan kekayaan Negara yang dipisahkan, maka dalam pengelolaan keuangan Negara berlaku dua kaidah atau rezim hukum, yaitu kaidah hukum Keuangan Negara yang mengatur pengelolaan kekayaan Negara yang tidak dipisahkan (APBN/APBD), dan kaidah hukum Korporasi yang mengatur pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan (BUMN/BUMD). Bagi BUMN memang berlaku kedua rezim hukum tersebut, namun rezim hukum Keuangan Negara hanya berlaku bagi BUMN sebatas yang terkait dengan permodalan dan eksistensi BUMN. Misalnya, di dalam UU BUMN diatur bahwa pendirian, penggabungan, peleburan, pengambilalihan, perubahan modal, privatisasi, dan pembubaran BUMN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, dan bahkan dalam prosesnya melibatkan Menteri Teknis, Menteri Keuangan, Presiden, dan DPR. Sedangkan tindakan-tindakan operasional (di luar permodalan dan eksistensi BUMN), tunduk sepenuhnya kepada rezim hukum Korporasi. Hal tersebut jelas dinyatakan dalam Pasal 11 UU BUMN yang menyatakan bahwa terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1995 (sekarang UU No. 40 Tahun2007 tentang Perseroan Terbatas)

Pendapat mengenai keuangan BUMN bukan merupakan keuangan negara juga sangat beralasan apabila merujuk pada pasal 23 Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan : “Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat”. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat ditafsirkan keuangan negara adalah yang dikelola berdasarkan APBN, sedangkan yang dikelola diluar APBN bukan termasuk keuangan negara.
Sebelum pemerintah melakukan pemisahan kekayaan negara dalam rangka penyertaan BUMN, uang tersebut masih berstatus uang publik, karena sebelum penyertaan modal terjadi, negara masih berstatus sebagai badan hukum publik yang tunduk dengan hukum publik. Namun setelah BUMN berdiri, kedudukan negara sebagai badan hukum publik seketika bertransformasi menjadi badan hukum privat, yaitu melakukan pendirian badan hukum BUMN, sehingga terjadilah transformasi dari uang publik menjadi uang privat.[16] Erman Rajagukguk menambahkan bahwa dalam kenyataannya sekarang ini tuduhan korupsi juga dikenakan terhadap tindakan direksi BUMN dalam transaksi-transaksi yang didalilkan dapat merugikan negara. Dapat dikatakan telah terjadi salah pengertian dan penerapan apa yang dimaksud dengan keuangan negara.[17]
Penyertaan atas modal saham itu sendiri menurut Pasal 34 ayat (1) UUPT dapat dilakukan dalam bentuk uang dan/atau dalam bentuk lainnya. Secara yuridis, modal yang disertakan ke dalam perseroan bukan lagi menjadi kekayaan orang menyertakan modal, tetapi menjadi kekayaan perseroan itu sendiri. Di sini terjadi pemisahan kekayaan antara kekayaan pemegang saham dan perseroan. Dengan karakteristik yang demikian, tanggung jawab pemegang saham atas kerugian atau utang perseroan juga terbatas. Utang atau kerugian tersebut semata-mata dibayar secukupnya dari harta kekayaan yang tesedia dalam perseroan.[18]
Fatwa hukum MA tersebut sebenarnya menjadi penegasan bahwa semua undang-undang yang menentukan kekayaan negara atau kekayaan daerah yang telah dipisahkan menjadi modal BUMN, persero dan perusahaan daerah yang berbentuk perseroan terbatas, bukan lagi merupakan kekayaan negara atau kekayaan daerah yang berbentuk perseroan terbatas. Fatwa ini juga menegaskan bahwa unsur merugikan keuangan negara sebagai salah satuunsur pidana korupsi, tidak lagi dapat dikenakan pada BUMN serta perusahaan daerah, Implikasi lain dari fatwa ini adalah: pertama, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak lagi mempunyai kekuasaan atau kewenangan untuk memeriksa atau mengaudit keuangan badan-badan hukum tersebut. Sebab, kekuasaan BPK dan BPKP untuk mengaudit badan hukum itu tidak lagi mempunyai kekuatan hukum sejak adanya fatwa MA; kedua, aturan yang memberi kekuasaan kepada lembaga pemerintah, Presiden dan DPR untuk ikut campur atau membatasi kewenangan BUMN atau persero untuk mengurangi jumlah tagihan kepada debitur (haircut),tidak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Perseroan Terbatas (Persero) dapat menentukan peraturan internal sepenuhnya merupakan hak perser
oan terbatas, baik yang persero maupun yang bukan.
Dengan adanya UU BUMN, maka ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 Tentang Panitia Urusan Piutang Negara, Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, khusus mengenai kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah menjadi tidak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

KESIMPULAN
BUMN merupakan badan hukum privat dan memperhatikan prinisp separate legal entity’ (badan hukum/korporasi), dimana suatu harta kekayaan yang telah dipisahkan dan dimasukkan sebagai modal ke dalam korporasi/badan hukum, harta kekayaan itu menjadi harta korporasi dan tidak dapat diperlakukan sebagai harta kekayaan pemilik awal, sehingga keuangan negara yang ditempatkan pada BUMN tersebut bukanlah aset negara melainkan aset BUMN sebagai badan hukum privat.




[1]  W. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara, Grasindo, Jakarta, 2006 hlm. 1

[2] Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum Praktik dan Kritik, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 95

[3]  Rudhi Prasetya, Badan Hukum Korporasi, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2008, hal. 10
[4] Tan Kamello, Loc.Cit.
[5] Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum,Teori, Kritik, dan Praktik, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 74.
[6] Hans Kelsen,  Introduction to The Problems of Legal Theory (Pengantar Teori Hukum), Alihbahasa: Siwi Purwandari dan Nurainun Mangunsong, Nusa Media, Bandung, 2009, hlm.141
[7]   Ibid. hlm.77
[8] Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas,  PT RadjaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 8-9
[9] Pendapat Prof. Bagir Manan dalam keterangannya di sidang Mahkamah Konstitusi perkara No. 62/PUU-XI/201/2013
[10]  Nurcholis, Hanif, Teori dan Praktik Pemeritahan dan Otonomi Daerah, Jakarta, PT. Grasindo, halaman 287
[11] Arifin P.Soria Atmadja,“Sumber-sumber Keuangan Negara”, Laporan Akhir Kompendium Bidang Hukum Keuagan Negara, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2012, hal. 9-10
[12] Erman Rajagukguk, Tetes Pemikiran 1971-2006, Depok, Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi Universitas Indonesia, 2006, hlm 384
[13]   Ibid.
                [14] Surat Mahkamah Agung Nomor : WKMA/Yud/20/VIII/2006tertanggal 16 Agustus 2006 (yang kemudian terkenal dengan fatwa Mahkamah Agung) yang isinya sebagai berikut :

[15] Gatot Supramono, “Kedudukan BUMN Dalam Hubungannya Dengan Keuangan Negara dan Pengaruhnya Terhadap Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan”, Paper Diskusi Pengadilan Tinggi Banjarmasin.

[16]  Ibid
[17]  Erman Rajagukguk, Nyanyi Sunyi Kemerdekaan Menuju Indonesia Negara Hukum Demokratis, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi, Depok, 2006, hlm. 9.
[18]  Ridwan Khairandy, Konsepsi Kekayaan Negara Yang Dipisahkan Dalam Perusahaan Perseroan, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 26-No.1/2007, hlm. 35