Rabu, 14 September 2022

TINDAK PIDANA RINGAN (TIPIRING)

 

TINDAK PIDANA RINGAN

(TIPIRING)

A. Mengenai Tindak Pidana Ringan

        Di bawah berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana), dibedakan antara tiga macam acara pemeriksaan, yaitu :

1. Acara Pemeriksaan Biasa;

2. Acara Pemeriksaan Singkat; dan

3. Acara Pemeriksaan Cepat, yang terdiri dari :

a. Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan; dan

b. Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan

        Mengenai tindak pidana ringan, dalam Pasal 205 ayat (1) KUHAP, dikatakan “bahwa yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500,- dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2 bagian ini”. KUHAP hanya melanjutkan pembagian perkara/ pemeriksaan yang sudah dikenal sebelumnya dalam HIR. Ini tampak pula dari sudut penempatannya, yaitu Tindak Pidana Ringan dimasukkan ke dalam Acara Pemeriksaan Cepat, bersama-sama dengan perkara pelanggaran lalu lintas jalan.

Hal ini dapat dimengerti karena Tindak Pidana Ringan pada umumnya adalah tindak pidana (delik) pelanggaran yang dalam KUHPidana ditempatkan pada Buku III. Dengan kata lain, hakikat Tindak Pidana Ringan adalah tindak-tindak pidana yang bersifat ringan atau tidak berbahaya. Sedangkan hakikat pengaduan Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan agar perkara dapat diperiksa dengan prosedur yang lebih sederhana. Hal yang menarik dari Tindak Pidana Ringan adalah bahwa tercakup di dalamnya tindak pidana penghinaan ringan yang letaknya dalam Buku II KUHPidana tentang kejahatan. Penghinaan ringan ini dalam doktrin merupakan salah satu dari kelompok tindak pidana yang dinamakan kejahatan-kejahatan ringan (lichte misdrijven) terdapat dalam Buku II KUHPidana.

Dilihat dari sistematika KUHPidana tindak pidana hanya terdiri dari kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen) saja. Tetapi dengan mempelajari pasal-pasal dalam KUHPidana ternyata dalam Buku II tentang kejahatan itu terdapat juga sejumlah tindak pidana yang dapat dikelompokkan sebagai kejahatan-kejahatan ringan (lichte misdrijven). Kejahatan-kejahatan ringan ini tidak ditempatkan dalam satu bab tersendiri melainkan letaknya tersebar pada berbagai bab dalam Buku II KUHPidana. Pasal-pasal yang merupakan kejahatan ringan ini adalah sebagai berikut :

1.   1. Penganiayaan Hewan (pasal 302 ayat (1) KUHPidana)

Menurut pasal 302 KUHPidana ditentukan bahwa diancam dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4.500,- karena melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan: 1. Barangsiapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas, dengan sengaja menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya; 2. Barang siapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampuai batas yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak memberi makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan, yang seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada di bawah pengawasannya, atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya.

2.   2. Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHPidana)

Menurut Pasal 315 KUHPidana, tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

3.  3.  Penganiayaan ringan (Pasal 352 ayat (1) KUHPidana)

            Dalam Pasal 352 ayat (1) KUHPidana ditentukan bahwa kecuali tersebut dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Yang membedakan penganiayaan ringan dengan penganiayaan adalah bahwa dalam penganiayaan ringan terhadap korban tidak timbul penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian.

4.  4.  Pencurian ringan (Pasal 364 KUHPidana)

                Dalam pasal 364 KUHPidana ditentukan perbuatan yang diterapkan dalam pasal 362 dan pasal 363 butir 4, begitu pun perbuatan yang diterangkan dalam pasal 363 butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tetutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah, diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah.

5.   5. Penggelapan ringan (Pasal 373)

                Menurut pasal 373 KUHPidana, perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 372, apabila yang digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah, diancam sebagai penggelapan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah.

6.   6. Penipuan ringan (pasal 379 KUHPidana)

                Menurut pasal 379 KUHPidana, perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 378, jika barang yang diserahkan itu bukan ternak dan harga daripada barang, hutang atau piutang itu tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah diancam sebagai penipuan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah.

7.   7. Perusakan ringan (Pasal 407 ayat 1 KUHPidana)

            Dalam pasal 407 ayat (1) KUHPidana ditentukan bahwa perbuatanperbuatan yang dirumuskan dalam pasal 406, jika harga kerugian tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah diancam dengan pidana penjarapaling lama tiga bulan atau denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah. Pasal ini menunjuk pada pasal 406 KUHPidana yang rumusannya mengancam pidana terhadap perbuatan merusakkan barang orang lain. Pasal 407 KUHPidana tidak menyebut nama dari tindak pidana, tetapi dengan melihat pada adanya rumusan ”harga kerugian tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah”, yang juga terdapat pada pasal 364, 373 dan 379, maka dapat dipahami bahwa pasal 407 ayat (1) KUHPidana dimaksudkan sebagai perusakan ringan.

8.   8. Penadahan ringan (pasal 482)

            Pada Pasal 482 KUHPidana ditentukan bahwa perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 480, diancam karena penadahan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak Sembilan ratus rupiah, jika kejahatan dari mana benda tersebut diperoleh adalah salah satu kejahatan yang dirumuskan dalam Pasal 364, 373 dan 379.

Kemudian dengan adanya penyesuaian denda dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP, diterbitkanlah Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, M.HH-07.HM.03.02, KEP-06/E/EJP/10/2012, B/39/X/2012 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, Serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) (“Nota Kesepakatan 2012”).

Nota Kesepakatan 2012 tersebut menyebutkan bahwa Tipiring adalah tindak pidana yang diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan Pasal 482 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau denda 10.000 (sepuluh ribu) kali lipat dari denda.

Selain diatur di KUHP, perbuatan yang termasuk tindak pidana ringan beserta sanksinya juga terdapat di Peraturan Daerah, biasanya yang menyangkut dengan ketertiban umum seperti Minuman Keras dan Membuang sampah sembarangan.

B. Prosedur Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan

Prosedur Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan dalam Bab XVI (Pemeriksaan di Sidang Pengadilan), Bagian Keenam (Acara Pemeriksaan Cepat), pada paragraf 1 yang berjudul Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan. Sebagaimana telah disebutkan di atas, menurut Pasal 205 ayat (1) KUHAP, yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp7.500,- dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2 bagian ini. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Paragraf 1 adalah sebagai berikut :

1.    Ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian Kedua dan Bagian Ketiga Bab ini tetap berlaku sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan paragraf ini (pasal 210). Pasal 210 sebenarnya merupakan pasal terakhir dalam paragraf 1, tetapi di sini dikemukakan terlebih dahulu sebagai dalam pasal ini diatur hubungan antara acara pemeriksaan tindak pidana ringan dengan ketentuan-ketentuan lainnya dalam KUHAP. Bagian-bagian dari Bab XVI yang ditunjuk oleh Pasal 210 KUHAP ini adalah :

Bagian kesatu: Panggilan dan Dakwaan

Bagian kedua: Memutus Sengketa mengenai wewenang mengadili.

Bagian ketiga: Acara Pemeriksaan Biasa.

Dengan demikian, untuk acara pemeriksaan tindak pidana ringan juga berlaku ketentuan-ketentuan lainnya dalam KUHAP, sepanjang tidak diatur secara khusus yang merupakan pengecualian dalam paragraf 1 yang memang dikhususkan untuk mengatur acara pemeriksaan tindak pidana ringan.

2.    Dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyidik atas kuasa penuntut umum, dalam waktu tiga hari sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat, menghadapkan terdakwa beserta bukti, saksi, ahli dan atau juru bahasa ke sidang pengadilan (Pasal 205 ayat 2 KUHAP).

Untuk pemeriksaan semua tindak pidana yang lain, yang bertindak sebagai penuntut di depan pengadilan adalah Jaksa Penuntut Umum. Jadi, Pasal 205 ayat (2) KUHAP menjadi ketentuan  khusus, penyidik atas kuasa penuntut umum berfungsi sebagai penuntut. Pengertian ”atas kuasa” ini, menurut penjelasan pasalnya, adalah ”demi hukum”. Dalam hal penuntut umum hadir, tidak mengurangi nilai ”atas kuasa” tersebut. Dalam acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengadilan mengadili dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir, kecuali dalam hal dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan terdakwa dapat minta banding (Pasal 205 ayat 3).

3.    Pengadilan menetapkan hari tertentu dalam tujuh hari untuk mengadili perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan (pasal 206).

4.    Pasal 207 ayat (1) KUHAP :

a.    Penyidik memberitahukan secara tertulis kepada terdakwa tentang hari, tanggal, jam dan tempat ia harus menghadap siding pengadilan dan hal tersebut dicatat dengan baik oleh penyidik, selanjutnya catatan bersama berkas dikirim ke pengadilan.

b.    Perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan yang diterima harus segera disidangkan pada hari sidang itu juga.

5.    Pasal 207 ayat (2) KUHAP :

a.    Hakim yang bersangkutan memerintahkan panitera mencatat dalam buku register semua perkara yang diterimanya.

b.    Dalam buku register dimuat nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa serta apa yang didakwakan kepadanya.

6.   Untuk pemeriksaan tindak pidana ringan, tidak digunakan surat dakwaan. Ini karena yang berfungsi sebagai penuntut adalah penyidik. Yang menjadi dasar pemeriksaan adalah catatan bersama berkas yang dikirimkan oleh Penyidik kepada pengadilan.

        Saksi dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan tidak mengucapkan sumpah atau janji kecuali hakim menganggap perlu (Pasal 208 KUHAP). Pada umumnya saksi harus mengucapkan sumpah atau janji, tetapi acara pemeriksaan tindak pidana ringan ini, saksi tidak  mengucapkan sumpah atau janji. Pengecualiannya apabila Hakim menganggap perlu, baru Hakim akan memerintahkan saksi mengangkat sumpah atau janji.

7.    Putusan dicatat oleh Hakim dalam daftar catatan perkara dan selanjutnya oleh panitera dicatat dalam buku register serta ditanda tangani oleh hakim yang bersangkutan dan panitera (Pasal 209 ayat 1KUHAP).

        Berita acara pemeriksaan sidang tidak dibuat kecuali jika dalam pemeriksaan tersebut ternyata ada hal yang tidak sesuai dengan berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik (Pasal 209 ayat 2 KUHAP).

Selasa, 17 Mei 2022

PERJANJIAN PENGIKATAN JUALBELI (PPJB)


    
    Perjanjian Pengikatan Jual Beli merupakan perjanjian yang bentuknya tidak diatur dalam KUHPerdata. Perjanjian Pengikatan Jual Beli merupakan wujud dari asas kebebasan berkontrak
  Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian meliputi ruang lingkup sebagai berikut:

1.   Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian,

2.   Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian,

3.   Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya,

4.   Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian,

5.   Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian,

6.   Kebebasan untuk menerima atau meyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend. optional).

 

Menurut Prof. Subekti dalam bukunya yang berjudul Hukum Perjanjian, pada halaman 75 disbutkan “Pengikatan jual beli adalah perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli sebelum dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk jual beli tersebut antara lain adalah sertifikat hak atas tanah belum ada karena masih dalam proses, atau belum terjadinya pelunasan harga atau pajak-pajak yang dikenakan terhadap jual beli hak atas tanah belum dapat dibayar baik oleh penjual atau pembeli.

Berdasarkan hal tersebut, pengikatan jual beli merupakan sebuah perjanjian pendahuluan atas perjanjian jual beli hak atas tanah dan atau bangunan yang nantinya aktanya akan dibuat dan ditandatangani di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Dan pada pengikatan jual beli tersebut para pihak yang akan melakukan jual beli sudah terikat serta sudah mempunyai hak dan kewajiban untuk memenuhi prestasi dan kontra prestasi sebagaimana yang disepakati dalam pengikatan jual beli. Isi dari perjanjian pengikatan jual beli yang merupakan perjanjian pendahuluan untuk lahirnya perjanjian pokok/utama biasanya adalah berupa janji-janji dari para pihak yang mengandung ketentuan tentang syarat-syarat yang disepakati untuk sahnya melakukan perjanjian utamanya. Misalnya dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah, dalam perjanjian pengikatan jual belinya biasanya berisi janji-janji baik dari pihak penjual hak atas tanah maupun pihak pembelinya tentang pemenuhan terhadap syarat-syarat dalam perjanjian jual beli agar perjanjian utamanya yaitu perjanjian jual beli dan akta jual beli dapat ditanda tangani di hadapan pejabat pembuat akta tanah (PPAT) seperti janji untuk melakukan pengurusan sertifikat tanah sebelum jual beli dilakukan sebagiman diminta pihak pembeli, atau janji untuk segera melakukan pembayaran oleh pembeli sebagai syarat dari penjual sehingga akta jual beli dapat di tandatangani di hadapan pejabat pembuat akta tanah (PPAT).

Dengan demikian oleh karena dalam perjanjian pengikatan jual beli memuat syarat-syarat maka perjanjian pengikatan jual beli merupakan suatu perikatan bersyarat. Pasal 1253 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa “suatu perikatan adalah bersyarat, apabila digantungkan padanya suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan perikatan sehingga terjadinya peristiwa tersebut maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadinya atau tidaknya peristiwa itu”. Adapun syarat tangguh ditentukan dalam Pasal 1263- 1264 dan 1463 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan syarat batal terdapat pada Pasal 1265-1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) timbul dan eksis dalam praktik transaksi tanah di masyarakat karena dalam proses jual beli atas obyek tanah dan atau bangunan, seringkali terkendala pada belum dilakukan pelunasan pajak yang dibebankan baik pada pihak penjual maupun pihak pembeli, sedangkan salah satu syarat untuk melaksanakan jual beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang nantinya akan dituangkan dalam Akta Jual Beli (AJB) adalah lunasnya pajak-pajak yang dibebankan pada penjual ataupun pembeli. Akta Jual Beli (AJB) merupakan salah satu dokumen yang disyaratkan oleh Kantor Pertanahan untuk proses balik nama suatu sertifikat hak atas tanah, yang mana diketahui balik nama sertipikat hak atas tanah tersebut merupakan bukti bahwa adanya peralihan hak atas tanah. 

Pajak yang dibebankan kepada pembeli dan penjual tersebut berkaitan dengan Akta Jual Beli (AJB) oleh sebagian besar masyarakat dirasa cukup besar dan merupakan kendala proses balik nama sertipikat tidak dapat segera dilaksanakan. Hal tersebut membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) eksis di masyarakat dimana Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) merupakan salah satu jalan keluar, agar pembeli yang belum dapat membayar pajak yang dibebankan kepadanya dapat membayar harga tanah saat itu juga, dan dapat membayar pajak dikemudian hari karena dalam praktiknya Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) seringkali diikuti dengan akta Kuasa Menjual, yang mana dalam akta Kuasa Menjual tersebut pihak pembeli dalam Pengikatan Jual Beli (PPJB) diberikan kuasa oleh si penjual dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) untuk dapat menjual kepada diri sendiri maupun orang lain sehingga dikemudian hari si pembeli pada akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dan akta Kuasa Menjual tersebut dapat menghadap ke PPAT untuk dibuatkan Akta Jual Beli (AJB) tanpa perlu si Penjual ikut hadir karena si pembeli dapat menjual kepada dirinya sendiri berdasarkan akta kuasa menjual tersebut.   

Terhadap kondisi yang demikian, Mahkamah Agung RI melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 memberikan pendapatnya mengenai status hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yaitu jika pembeli dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli telah membayar lunas harga, telah menguasai obyek jual beli dan dilakukan dengan itikad baik maka peralihan Hak Atas tanah secara hukum telah terjadi. 

Senin, 21 Desember 2020

PRAPERADILAN

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sistem peradilan pidana tidak lagi murni menganut sistem peradilan inquisitorial, melainkan memiliki dan mengadopsi beberapa konsep serta prinsip sistem adversarial, dimana salah satu konsep sistem adversarial yang digunakan dalam KUHAP adalah konsep praperadilan yang merupakan adopsi dari konsep Habeas Corpus Act yang lahir di Inggris. Merujuk pada sejarahnya, Habeas Corpus muncul dari prinsip dasar bahwa pemerintah harus selalu tunduk pada hukum, dan hukum itu ditafsirkan dan diterapkan oleh hakim. Konsep ini kemudian diformalkan oleh parlemen Inggris pada abad ke 17. Pasca-lahirnya Habeas Corpus, untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap seseorang, terlebih dahulu harus ada surat perintah dari pengadilan, yang dikeluarkan atas nama raja, dan ditujukan ke pejabat kerajaan tertentu. Dengan kata lain, Habeas Corpus adalah mekanisme prosedural untuk penegakan hukum atas hak dan kewajiban yang diberikan, dikenakan, atau diakui pada otoritas lainnya dalam suatu hukum—peradilan terhadap penyidikan. Habeas Corpus Act memberikan hak pada seseorang untuk menuntut pejabat (polisi atau jaksa) yang melakukan perampasan kebebasan sipil atas dirinya. Tuntutan itu untuk membuktikan apakah perampasan kebebasan sipil—upaya paksa yang dilakukan tidak melanggar hukum dan benar-benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku atau sebaliknya. Konsep ini berguna menjamin bahwa perampasan atau pembatasan kemerdekaan seorang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dan hak-hak asasi manusia.

Keberadaan lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam KUHAP secara filosofis tidak lepas dari konsep Habeas Corpus yang diterjemahkan menjadi Praperadilan, dimana secara tersirat dalam penjelasan Pasal 80 KUHAP memiliki maksud untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal, sehingga esensi dari dibentuknya lembaga Praperadilan adalah untuk mengawasi tindakan perampasan kebebasan sipil atau upaya paksa apabila dilaksanakan secara sewenang-wenang dengan maksud/tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP, serta guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap orang.

 Sebagaimana telah diketahui untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan suatu tindak pidana, undang-undang memberi kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan perampasan kebebasan sipil atau upaya paksa seperti halnya penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan dimana hal tersebut merupakan pengurangan dan pembatasan atas hak asasi tersangka, sehingga aparat penegak hukum dalam melakukan upaya paksa harus dilakukan secara bertanggungjawab menurut ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku karena  upaya paksa yang dilakukan bertentangan dengan hukum dan undang-undang merupakan pelanggaran terhadap hak asasi tersangka. Oleh karena itu lembaga PraPeradilan dibentuk dan diatur dalam KUHAP untuk mengawasi apakah tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan hukum;

Definisi Praperadilan termuat dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP dimana disebutkan Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

  1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
  2. Sah atau tidaknya penghentian penyelidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan;

Bahwa apa yang dirumuskan dalam Pasal 1 butir 10 KUHAP dipertegas dalam Pasal 77 KUHAP yang menyebutkan Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

  1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
  2. Ganti rugi dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan;

Dalam perkembangannya berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 telah menambah objek praperadilan yang sebelumnya sudah diatur dalam KUHAP, yaitu termasuk pula dalam objek praperadilan adalah penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memberikan beberapa hal baru diantaranya mengenai frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”,  “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 angka 14, pasal 17, dan pasal 21 ayat (1) KUHAP yang harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia). Artinya, terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya tersebut, tidak diperlukan pemeriksaan calon tersangka. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah untuk tujuan transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka sudah dapat memberikan keterangan yang seimbang dengan minimum dua alat bukti yang telah ditemukan oleh penyidik. Definisi mengenai “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”,  “bukti yang cukup” tersebut penting agar tidak ada tindakan sewenang-wenang oleh penyidik dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.

Selanjutnya alasan Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan bahwa penetapan tersangka merupakan obyek dari praperadilan adalah berpijak dari maksud dan tujuan yang hendak ditegakkan dan dilindungi dalam proses praperadilan adalah tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan dan penuntutan, serta memperhatikan nilai-nilai hak asasi manusia yang terdapat dalam UU Nomor 39 Tahun 199 tentang Hak Asasi Manusia dan perlindungan hak asasi manusia yang termaktub dalam XA UUD 1945, maka setiap tindakan penyidik yang tidak memegang teguh prinsip kehati-hatian dan diduga telah melanggar hak asasi manusia dapat dimintakan perlindungan kepada pranata pengadilan. Penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang didalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang. Begitupula penggeledahan dan penyitaan merupakan bagian dari mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dan karenanya termasuk dalam ruang lingkup praperadilan.

Setelah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan, dimana dalam  pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA)  tersebut menegaskan mengenai obyek Praperadilan adalah:

a.  
sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan;

b.    ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Berpijak pada ketentuan tersebut, maka wewenang Hakim dalam praperadilan dapat diperinci:

1.    Melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya suatu penangkapan;

2.    Melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya suatu penahanan;

3.    Melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan;

4.    Melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya suatu penghentian penuntutan;

5.    Melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya penetapan tersangka;

6.    Melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya penggeledahan;

7.    Melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya penyitaan;

8.    Menetapkan ganti rugi dan atau rehabilitasi terhadap mereka yang perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan;

          Dengan demikian secara filosofis keberadaan Praperadilan adalah sarana pengawasan horizontal untuk menguji tindakan upaya paksa seperti halnya penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dan dalam perkembangannya termasuk pula penetapan tersangka yang secara limitatif terbatas pada tingkat pemeriksaan penyidikan dan penuntutan agar upaya paksa atau tindakan yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap Tersangka, benar-benar dilaksanakan sesuai ketentuan undang-undang, dilakukan secara profesional dan bukan tindakan yang sewenang-wenang dan bertentangan dengan hukum.


Rabu, 18 November 2020

Mengenal Prinsip Business Judgment Rule



Prinsip Bussines Judgement Rules adalah prinsip yang terdapat dalam hukum perseroan terbatas yang muncul berkaitan dengan kewenangan pengurusan perseroan terbatas yang melekat pada direksi, dimana tiada suatu perseroan terbatas tanpa adanya direksi atau sebaliknya tiada direksi tanpa adanya perseroan. Tugas dan wewenang yang diberikan oleh perseroan kepada direksi diberikan berdasarkan kepercayaan dengan penuh tanggungjawab (prinsip fiduciary duty) dan prinsip duty of skill and care yang mewajibkan direksi harus mempunyai kemampuan dan pengalaman yang baik dalam kapasitasnya mengelola perusahaan Bismar Nasution menyatakan bahwa hubungan fiduciary duty didasarkan atas kepercayaan dan kerahasiaan (trust and confidence) yang dalam peran ini meliputi ketelitian (scrupulous), itikad baik (good faith), dan keterusterangan (candor).[1]. Sedangkan pelaksanaan duty of care menurut Denny J Block: "The duty of care requires that the directors, in the performance of their corporate responsibilities, exercise the care that an ordinarily prudent person would exercise under similar circumstances. As summing no other breach of fiduciary duties or violation of applicable law, a director who performs his duties in compliance with the applicable standard of care will be absolved of liability.[2]. Dengan adanya duty of care, direksi diharuskan untuk bertindak dengan kehati-hatian dalam membuat segala keputusan dan kebijakan perseroan. Dalam membuat setiap kebijakan direksi harus tetap mempertimbangkan segala informasi-informasi yang ada secara patut dan wajar.[3]

Direksi sebagai organ perseroan terbatas yang menjalankan kegiatan usaha sebagaimana maksud dan tujuan perseroan terbatas dengan prinsip fiduciary duty dan duty of care, tentu dihadapkan kepada risiko bisnis. Risiko itu terkadang berada di luar kemampuan maksimal direksi sebagai manusia. Olehkarena itu, untuk melindungi ketidakmampuan yang disebabkan oleh adanya keterbatasan manusia, maka direksi dilindungi oleh doktrin business judgements rule. Direksi perseroan terbatas yang menjalankan fungsi dan tugasnya, dihadapkan kepada risiko operasional, yang terkadang berada di luar kemampuan maksimal diri yang bersangkutan, sehingga tidak dapat digeneralisir bahwa direksi diharuskan bertanggung jawab atas kesalahan dalam mengambil keputusan (mere errors of judgment), tanpa mempertimbangkan unsur manusiawinya. Pemikiran mengenai Businnes Judgments Rule timbul guna melindungi direksi dari ketidakmampuan yang disebabkan oleh adanya keterbatasan manusia. Dalam pelaksanaannya direksi perseroan memiliki aturan kekebalan atau perlindungan dari setiap tanggungjawab yang lahir akibat transaksi atau kegiatan yang dilakukan olehnya sesuai dengan batas-batas kewenangan dan kekuasaan yang diberikan kepadanya dengan memperhatikan bahwakegiatan tersebut telah dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan itikad baik, prinsip ini disebut Business Judgment Rule.[4] Business judgment rule timbul sebagai akibat telah dilaksanakannya kewajiban sebagai direksi dengan penuh tanggungjawab (fiduciary duty) oleh seorang direksi, yang didalamnya termasuk pelaksanaan atas duty of skill and care.[5] 

Awalnya business judgment rule merupakan doktrin yang berasal dari sistem common law dan merupakan derivatif dari Hukum Perusahaan di Amerika Serikat sebagai upaya untuk mencegah pengadilan-pengadilan di Amerika Serikat mempertanyakan pengambilan keputusan bisnis oleh direksi. Stephen M. Bainbridge menjelaskan fungsi business judgment rule adalah untuk mencapai jalan tengah dalam hal terjadinya pertentangan antara otoritas direksi dalam menjalankan perseroan dan tuntutan akuntabilitas direksi terhadap para pemegang saham.[6]

Menurut Dennis J. Block: “The business judgement rules both shields directors form liability when it’s five elements – a business decision, disinterestedness, due care, good faith and abuse of discretion – are present and creates a presumption in favor of the directors that each of these elements has been satisfied.”[7]

Black’s Law Dictionary mendefinisikan business judgment rule sebagai suatu tindakan dalam membuat suatu keputusan bisnis tidak melibatkan kepentingan diri sendiri, kejujuran dan mempertimbangkan yang terbaik bagi perusahaan (the presumption that in makin business decision not involving direct self interest or self dealing, corporate directors act in the honest belief that their actions are in the corporation best interest).[8]

Bagi negara-negara civil law system yang sumber hukum terletak pada peraturan perundang-undangan, maka pengadilan bertugas untuk melakukan interpretasi terhadap doktrin tersebut yang disebabkan oleh belum adanya pengaturan yang secara komprehensif, jelas dan spesifik mengenai business judgment ruleTry Widiono memberikan pendapat mengenai doktrin business judgement rule:[9] . Doktrin ini mendudukkan manusia pada proporsi yang sebenarnya dengan segala kekurangannya, yang sering mengalami pencapaian atau harapan dari prediksi yang dirancang. Seorang direksi, bagaimanapun tidak mungkin selalu benar dalam menjalankan usahanya, karena error (kekeliruan) adalah kelengkapan manusia. Sudah sepantasnya jika seorang direktur perseroan tidak digeneralisir untuk bertanggungjawab atas kesalahan dalam mengambil keputusan (mere errors of judgement) tanpa mempertimbangkan unsur manusiawinya. Doktrin business judgements rule memberikan perlindungan kepada direksi perseroan atas kemungkinan kesalahan yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang wajar dan manusiawi”

Business judgement rule dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia termuat  dalam Pasal 97 ayat 5 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang mengatur bahwa anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana termasuk dalam Pasal 97 (3) apabila dapat membuktikan:

  1. Kerugian timbul bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
  2. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan Terbatas;
  1. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
  1. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

 Secara filosofis doktrin “business judgment” menetapkan bahwa Direksi suatu perusahaan tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari suatu tindakan pengambilan keputusan, apabila tindakan tersebut didasarkan kepada itikad baik dan hati-hati. Direksi mendapatkan perlindungan tanpa perlu memperoleh pembenaran dari pemegang saham  atau pengadilan atas keputusan yang diambilnya dalam konteks pengelolaan perusahaan. “Business judgment rule” mendorong Direksi untuk lebih berani mengambil resiko daripada terlalu berhati-hati sehingga perusahaan tidak jalan karena apabila terdapat akibat yang timbul dari keputusan direksi dan direktusi dapat membuktikan bahwa hal tersebut bukan merupakan kesalahannya, maka ia bisa dibebaskan dari tanggung jawab pribadi. Hal ini dikarenakan seorang direktur dalam melaksanakan tugasnya tidak hanya terikat pada apa yang secara tegas dicantumkan dalam maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan, tetapi dia juga dapat mengambil prakarsa guna mewujudkan kepentingan perseroan dengan melakukan perbuatan (sekunder) yang menunjang dan mempelancar tugas-tugasnya, namun masih berada dalam batas-batas yang diperkenankan atau masih dalam ruang lingkup tugas dan kewajibannya (masih dalam kewenangan perseroan atau intravires) sehingga dia dapat bertindak asalkan sesuai dengan kebiasaan, kewajaran, dan kepatuhan (dan tidak bersifat ultravires). Secara sederhana, pengertian intravires adalah dalam kewenangan, sedangkan ultravires diartikan sebagai bertindak melebihi kewenangannya.[10] Fred B.G. Tumbuan berpendapat, yang menyatakan intravires adalah perbuatan yang secara eksplisit atau secara implisit tercakup dalam kecakapan bertindak (termasuk dalam maksud dan tujuan perseroan). Sedangkan ultravires adalah perbuatan yang berada di luar kecakapan bertindak (tidak termasuk dalam maksud dan tujuan perseroan). Ultravires mengandung arti bahwa perbuatan tertentu itu hakikatnya adalah sah (dalam hubungan dengan pihak lain), tetapi ternyata berada diluar kecakapan bertindak perseroan. Sebagaimana diatur dalam anggaran dasar dan atau berada di luar ruang lingkup maksud dan tujuannya.[11]

Sehubungan dengan kekuasaaan direksi dalam menjalankan perusahaan, Paul L. Daviesz menyatakan bahwa:[12]

“In applying the general equitable principle to company directors, four separate rules have emerged. These are:

1.      That directors must act in good fa ith in what they believe to be the best interest of the company;

2.    That they must not exercise the powers conferred upon them for purposes different from those for which they were conferred;

3.      That they must not fetter their disc retion as to how they shall act;  

4.      That, without the inform ed consent of the company, they must not  place themselves in a position in which their personal interests or duties to other persons are liable to conflict with their duties.  

Keempat prinsip menunjukkan bahwa direksi perseroan dalam menjalankan tugas kepengurusannya harus senantiasa: 

a.       Bertindak dengan itikad baik; 

b.      Senantiasa memperhatikan kepentingan perseroan dan bukan kepentingan dari pemegang saham semata-mata; 

c.   Kepengurusan perseroan harus dilakukan dengan baik sesuai dengan tugas dan kewenangan yang diberikan kepadanya dengan tingkat kecermatan yang wajar, dengan ketentuan bahwa direksi tidak diperkenankan untuk memperluas maupun mempersempit ruang lingkup geraknya sendiri;  

d.      Tidak diperkenankan melakukan tindakan yang dapat menyebabkan benturan kepentingan antara kepentingan perseroan dengan kepentingan direksi.[13]

Prinsip tersebut berkaitan dengan prisip fiduciary duty yang melekat pada direksi perseroan yaitu: Jika dalam menjalankan tugasnya untuk kepentingan perusahaan, di mana perusahaan tersebut mempunyai kepercayaan yang besar (great trust) kepadanya, sementara di lain pihak, dia wajib mempunyai itikad baik yang tinggi (high degree of good faith) , loyalitas yang tinggi ( high degree of loyalty) , kejujuran yang tinggi ( high degree of honesty) , serta kepedulian dan kemampuan yang tinggi ( high degree of care and skill) dalam menjalankan tugasnya kepada perusahaan tersebut.[14]

Business Judgment Rule tidak berlaku bagi direksi, jika telah dibuktikan bahwa direksi tidak memenuhi proses, tatacara prosedur yang diwajibkan dan tidak dilakukan semata-mata untuk kepentingan perseroan dan stake holders, yaitu bahwa keputusan diambil dengan kecurangan (fraud), mempunyai benturan kepentingan (conflict of interest) didalamnya, terdapat unsure perbuatan melanggar hukum (illegality), terjadinya kelalaian berat (gross negligence).[15]

Dengan demikian, direksi sebagai organ perseroan terbatas, dalam menjalankan tugas dan kewenangannya harus mengikuti prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance), yaitu harus sejalan dan berdasarkan pada undang-undang, anggaran dasar perseroan, dan mekanisme pengambilan keputusan. Dengan prinsip Business Judgment Rules, Direksi tidak dapat dibebankan pertanggungjawaban secara perdata maupun pidana, apabila keputusan bisnis yang diambil berdasarkan pertimbangan bahwa keputusan tersebut adalah sebaik-baiknya untuk kepentingan perseroan, telah sesuai dengan undang-undang, anggaran dasar perseroan, atau mekanisme pengambilan keputusan, serta berdasarkan itikad baik dan tanpa adanya pertentangan kepentingan (conflict of interest) dengan dirinya pribadi.