APAKAH PENGADILAN NEGERI BERWENANG MEMBATALKAN SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH
Posted by
Adrian K Adi
on
04.16
Sering sekali
kita jumpai dalam perkara perdata yang berkaitan dengan sengketa tanah, pihak yang berperkara dalam petitumnya meminta agar Pengadilan Negeri untuk membatalkan
sertipikat hak atas tanah, ada hakim yang mengabulkan
permintaan pihak tersebut, namun ada juga yang menolak petitum tersebut.
Sekarang kita
mencoba cermati bersama apa yang dimakusd dengan sertipikat hak atas tanah.
Pengertian Sertipikat Hak atas Tanah dapat dijumpai dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP No. 24 Tahun
2007), dalam pasal 1 angka 20 disebutkan :
“Sertipikat adalah surat tanda bukti hak
sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah
milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah
dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.”
Adanya PP No. 24 Tahun 1997 adalah
untuk melaksanakan ketentuan pasal 19 UUPA mengenai Pendaftaran Tanah. Tujuan
diadakannya pendaftaran tanah tersebut adalah untuk memberikan kepastian hukum
dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah agar memudahkan
pembuktian dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan (vide : Pasal 3 PP
No. 24 Tahun 1997). Sertipikat hak atas tanah dibuat dengan tujuan untuk
memberikan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf a kepada Pemegang hak yang bersangkutan (vide : Pasal 4 PP No. 24 Tahun
1997). Sertipikat diterbitkan untuk kepentingan hak yang bersangkutan sesuai
dengan data fisik dan yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah (vide :
pasal 31 PP No. 24 tahun 1997). Berdasarkan
pasal 32 ayat (1) PP 24 No.Tahun 1997 disebutkan : “Sertipikat merupakan tanda
bukti hak yang berlaku sebagai pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan
data yuridis yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis
yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai
dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.”
Kewenangan
menerbitkan sertipikat diatur dalam Peraturan Kepala BPN RI No. 2 Tahun 2013
tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak atas tanah dan Kegiatan Pendaftaran
Tanah. Kewenangan penerbitan sertipikat diberikan dengan keputusan, hal
tersebut diatur dalam Bab III, mengenai kewenangan Kepala Kantor Pertanahan
diatur dalam pasal 3 dan pasal 4, mengenai kewenangan Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional diatur dalam pasal 7 sampai 10, dan kewenangan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia diatur dalam pasal 13 , dalam pasal 12
disebutkan bahwa Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia menetapkan
pemberian hak atas tanah yang diberikan secara umum. Dengan demikian telah
jelas siapa yang berwenang menerbitkan sertipikat dan pemberiannya menggunakan
produk hukum keputusan.
Pertanyaan yang
muncul adalah apakah sertipikat hak atas tanah merupakan Keputusan Tata Usaha
Negara?. Berdasarkan pasal 1 angka 3 Undang Undang No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara disebutkan “KTUN adalah suatu penetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan
hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang bersifat konkrit, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata. Pasal tersebut dapat diuraikan
unsur-unsurnya sebagai berikut :
1. Penetapan tertulis
Bahwa
telah jelas sebagaimana yang disebutkan dalam Peraturan Kepala BPN No. 2 Tahun
2013 penerbitan sertipikat diberikan dengan keputusan ;
2. Dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara
Bahwa
dalam pasal 1 angka 2 UU No. 5 Tahun 1986 disebutkan : “Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Bahwa Kepala BPN atau
yang mendapat pelimpahan kewenangan seperti Kepala kantor Pertanahan dan Kantor
Wilayah BPN adalah pejabat yang melaksanakan peraturan perundangan-undangan
yang berlaku, antara lain : UUPA, PP No. 24 Tahun 2007 dan Peraturan Kepala BPN
No. 2 Tahun 2013 ;
3. Tindakan hukum Tata Usaha Negara, yang dimaksud
tindakan hukum TUN adalah suatu keputusan yang menciptakan, atau menentukan
mengikatknya atau menghapuskan hubungan TUN yang telah ada. Dalam UU No. 5
Tahun 1986 tindakan hukum TUN adalah yang bersifat :
a.
Konkrit
Konkrit adalah Keputusan yang jelas
isinya, dalam hal ini penerbitan sertifikat adalah tindakan pemerintah yang
jelas untuk memberikan hak kepada si pemegang hak atas tanah.
b.
Individual
KTUN tidak bersifat umum, dan berlaku
hanya pada pihak tertentu yang dituju dalam KTUN tersebut, dalam hal penerbitan
sertipikat, hanya berlaku untuk pihak yang namanya ada pada sertipikat tersebut
sebagai pemegang hak.
c.
Final
KTUN adalah Keputusan yang terakhir
dan tidak ada keputusan yang lahir lagi berdasarkan pada KTUN tersebut. Dalam
pasal 32 ayat (1) PP 24 No.Tahun 1997 disebutkan “Sertipikat merupakan tanda
bukti hak yang berlaku sebagai pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan
data yuridis yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis
yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai
dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.”
4.
Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata
KTUN
menimbulkan akibat hukum oleh karena tindakan hukum yang dilakukan oleh Badan
atau Pejabat Tun melalui penetapan tertulis, akibat hukum adalah menimbulkan
perubahan dalam situasi keadaan hukum yang ada bagi seseorang atau badan hukum.
antara lain seperti : melahirkan hubungan hukum baru, melahirkan peristiwa
hukum baru, menghapuskan hubungan hukum, menghapuskan peristiwa hukum,
menetapkan suatu status. Dalam hal ini Sertipikat melahirkan akibat hukum,
yaitu menimbulkan hak atas tanah bagi pemegang sertipikat 1 angka 20 disebutkan
“Sertipikat adalah surat tanda bukti hak
sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah
milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan
dalam buku tanah yang bersangkutan PP No.24 Tahun 1997” ;
Berdasarkan
hal-hal yang tersebut di atas, maka sertipikat Hak atas Tanah adalah Keputusan
Tata Usaha Negara (KTUN).
Dalam pasal 1
angka 4 Undang-undang No. 5 Tahun 1986 disebutkan “Sengketa Tata Usaha Negara
adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau
badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di Pusat
maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”
Dalam pasal 47
Undang –Undang No. 5 Tahun 1986 disebutkan “Pengadilan bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara”
Dalam pasal 53
Undang-undang No.5 Tahun 1986 disebutkan “Seseorang atau badan hukum perdata
yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara
dapat mengajukan gugatan tertulis pada pengadilan yang berwenang yang berisi
tuntutan agar Keputusan Tata Usaha
Negara yang disengketakan itu batal
atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau
direhabilitasi.
Dengan demikian,
berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan diatas, Sertipikat Hak atas Tanah
adalah KTUN, maka wewenang untuk mengadili adalah pada Pengadilan Tata Usaha
Negara dan yang berwenang memutuskan bahwa sertipikat tersebut batal atau tidak
sah adalah Pengadilan Tata Usaha Negara.
Tapi
memang sering terjadi sengketa tentang Sertifikat Hak atas tanah disidangkan di
Pengadilan Negeri. Ada Jurispudensi tetap HR sejak sebelum tahun-tahun Perang
Dunia II diikuti dan dianut oleh badan-badan peradilan di Indonesia. Sejak
jaman masih berlakunya pasal 2 RO Ind (bunyinya sama dengan Pasal 2 RO Ned)
sampai sekarang, walaupun setelah adanya Pasal 50 UU 2/86 dan sejak berlakunya
Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, Jurisprudensi tetap tersebutlah pada awalnya yang diikuti oleh hakim
Pengadilan Negeri untuk memeriksa perkara Tata Usaha Negara terutama
Keputusan-keputusan pemerintah atau penguasa yang sering merugikan hak-hak atau
kepentingan masyarakat atau sering juga disebut dengan Perbuatan Melawan Hukum
Penguasa (onrechtmatige overheidsdaadzaken/OOD). Tetapi lama kelamaan
Jurisprudensi tetap tersebut sudah menjadi pendapat umum sehingga sampai
sekarang sudah tidak asing lagi jika Pengadilan Negeri memeriksa dan memutus
perkara yang seharusnya menjadi kewenangan PTUN. Demikian juga sengketa tentang
Sertifikat hak atas tanah yang banyak disidangkan di Pengadilan Negeri, perlu
diketahui bahwa sebenarnya yang menjadi objek perkara (Objektum litis) dalam
sengketa tersebut adalah bukan Keputusan Usaha Negara atau bukan Sertifikat hak
atas tanah tersebut melainkan hak-hak atau kepentingan-kepentingan masyarakat
yang dilanggar sebagai akibat keluarnya Keputusan Tata Usaha Negara atau
keluarnya sertifikat tersebut. (sumber : hukum online, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1210/sengketa-kepemilikan-tanah)
Yurisprudensi mengenai pembatalan sertipikat hak
atas tanah yang diajukan di Pengadilan Negeri
antara lain :
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1198
K/Sip/1973, tanggal 6 Januari 1976 ;
“Karena
pengeluaran sertifikat itu semata-mata wewenang administrasi dan bukan wewenang
Pengadilan sehingga pembatalannya juga wewenang administrasi, bukan
Pengadilan”.
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 321
K/Sip/1978, tanggal 31 Januari 1981 ;
“Pengadilan
Negeri tidak berwenang untuk membatalkan surat hak milik yang dikeluarkan oleh
instansi lain”.
Putusan Mahkamah Agung No. 716 K/Sip/1973 tanggal. 05 September
1973 ;
Pengeluaran izin bangunan di
atas tanah perkara yang berada dalam lingkungan Kotamadya Jambi semata-mata
wewenang Wali Kota, bukan termasuk wewenang Pengadilan Negeri, maka gugatan
penggugat-penggugat mengenai pencabutan izin bangunan atas tanah sertifikat hak
guna bangunan No. 171 alas nama tergugat-tergugat dinyatakan tidak dapat
diterima.
Sumber: Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung
RI, Cetakan kedua, Mahkamah Agung RI, 1993, hlm. 268
Putusan Mahkamah Agung No. 1077 K/Sip/1973 tanggal. 01 Mei 1975 ;
Pertimbangan Pengadilan Tinggi
yang dibenarkan Mahkamah Agung: Pencabutan/pembatalan hak pakai yang telah
diberikan atas tanah sengketa kepada tergugat-tergugat, bukanlah an sich tindakan
administratif; hal ini sesuai dengan Penjelasan dari Departemen Agraria
tertanggal 2 November 1965 No. DHK/53/45mengenai
Pasal 29 ayat (I) P.P. No. 10/1961 tentang pejabat yang berwenang membatalkan
sesuatu hak; di mana pada alinea kedua dari surat tersebut dengan jelas
dinyatakan, bahwa yang dapat membatalkan suatu sertifikat hanyalah
"Keputusan Hakim atau Keputusan Menteri Agraria".
Oleh Pengadilan Tinggi
keputusan Pengadilan Negeri diperbaiki dengan menambahkan amar yang berbunyi
sebagai berikut:
"Memerintahkan kepada
'Kepala Kantor Pendaftaran dan Pengawasan Pendaftaran Tanah dari Departemen
Agraria dahulu (sekarang Departemen Dalam Negeri Direktorat Agraria) mencabut
kembali hak pakai yang telah diberikannya atas tanah sengketa kepada
"Langkat Hotel & Restauran", berkedudukan di Medan dengan surat
keterangan pendaftaran tanah sengketa kembali atas nama alm. Tengku Kamaliah
salah seorang ahli waris dari alm. Tengku Machmud Abdul Djalil Rachmadsjah,
semasa hidupnya Sultan Negeri Langkat, dengan catatan, bahwa tanah ini
berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri di Medan tgl. 7 Juni 1961 No. 60/1959
yang telah mempunyai kekuatan mutlak, adalah termasuk dalam harta peninggalan
dari alm. Tengku Machmud Abdul Djalil Rachmadsjah tersebut.";
Sumber: Rangkuman Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI, Cetakan kedua, Mahkamah Agung RI, 1993, hlm. 268.
Menarik jika melihat pada
Putusan Mahkamah Agung No. 1077 K/Sip/1973 tanggal.
01 Mei 1975, yang menyatakan bahwa Pencabutan/pembatalan hak pakai yang telah diberikan atas tanah
sengketa kepada tergugat-tergugat, bukanlah an sich tindakan administratif; hal ini
sesuai dengan Penjelasan dari Departemen Agraria tertanggal 2 November 1965 No. DHK/53/45mengenai Pasal 29 ayat (I) P.P. No. 10/1961 tentang
pejabat yang berwenang membatalkan sesuatu hak; di mana pada alinea kedua dari surat
tersebut dengan jelas dinyatakan, bahwa yang dapat membatalkan suatu sertifikat hanyalah
"Keputusan Hakim atau Keputusan Menteri Agraria". Putusan tersebut dibuat sebelum berlakunya
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang
menarik adalah dalam putusan Pengadilan Tinggi, Putusan Pengadilan Negeri diperbaiki dengan menambahkan amar yang berbunyi
sebagai berikut:
"Memerintahkan kepada
'Kepala Kantor Pendaftaran dan Pengawasan Pendaftaran Tanah dari Departemen
Agraria dahulu (sekarang Departemen Dalam Negeri Direktorat Agraria) mencabut
kembali hak pakai yang telah diberikannya atas tanah sengketa kepada
"Langkat Hotel & Restauran", berkedudukan di Medan dengan surat
keterangan pendaftaran tanah sengketa kembali atas nama alm. Tengku Kamaliah
salah seorang ahli waris dari alm. Tengku Machmud Abdul Djalil Rachmadsjah,
semasa hidupnya Sultan Negeri Langkat, dengan catatan, bahwa tanah ini
berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri di Medan tgl. 7 Juni 1961 No. 60/1959
yang telah mempunyai kekuatan mutlak, adalah termasuk dalam harta peninggalan
dari alm. Tengku Machmud Abdul Djalil Rachmadsjah tersebut." Pada dasarnya
memang Pengadilan Negeri tidak dapat membatalkan sertipikat hak atas tanah,
namun Pengadilan Negeri dapat memerintahkan Badan Pertanahan Nasional atau
Kepala Kantor Pertanahan untuk mencabut dan atau membatalkan sertipikat,
apabila menurut hakim telah terbukti bahwa terbitnya sertipikat hak atas tanah
tersebut didasarkan pada sebuah hal yang melanggar hukum, contohnya :
sertipikat didasarkan pada Akta Jual Beli yang cacat hukum. Berdasarkan hal
tersebut dapat kita ketahui perbedaan kewenangan mengadili Pengadilan Negeri
dengan Pengadilan Tata Usaha Negara apabila berkaitan dengan sertipikat hak
atas tanah.
Menurut pendapat saya perbedaannya
adalah pada obyek perkaranya, obyek perkara pada Pengadilan Tata Usaha Negara
telah jelas pada pasal 1 angka 3 jo. Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1985 adalah KTUN.
KTUN dapat dibatalkan apabila cacat dan atau bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik. Syarat sahnya KTUN adalah pada wewenang, subtansi, prosedur.
Apabila terdapat cacat dalam wewenang, subtansi dan prosedur penerbitan KTUN
maka KTUN tersebut tidak sah dan dapat dibatalkan. Sedangkan pada Pengadilan
Negeri seperti diketahui secara umum bahwa terdapat 2 jenis gugatan apabila
terdapat sengketa keperdataan yaitu Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum
(PMH). Dalam sengketa perdata di Pengadilan Negeri, obyeknya tidak langsung
pada Sertipikatnya, melainkan pada perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi
pihak lain dengan munculnya sertpikat tersebut, artinya yang menjadi fokus
adalah perbuatan pihak yang melawan hukum yang dijadikan dasar penerbitan
sertipikat, sebagai contoh : Sertipikat Hak Milik A terbit atas nama A
berdasarkan Akta Jual Beli yang dilakukan oleh A dengan B, namun suatu saat B merasa
dirugikan dan menggugat A dengan dasar perbuatan melawan hukum dan menuntut
Akta Jual Beli batal dibatalkan, dan menuntut pula sertipikat Hak Milik atas
nama A juga dibatalkan. Putusan mengabulkan sebagian petitum B yaitu menyatakan
A melakukan perbuatan melawan hukum dan membatalkan Akta Jual Beli antara A
dengan B. Pengadilan Negeri tidak dapat membatalkan Sertipikat Hak Milik atas
nama A karena bukan wewenangnya. Kewenangan Pengadilan Negeri terbatas pada menyatakan sertipikat
atas nama A tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, itupun terbatas apabila penggugat meminta hal tersebut dalam petitum gugatannya (asas non ultra petita). Berdasarkan contoh kasus di atas maka yang jadi obyek di
perkara perdata yang diadili di Pengadilan Negeri adalah Perbuatan Melawan
Hukumnya, bukan sertipikatnya, sedangkan dalam Pengadilan Tata Usaha Negara
yang menjadi obyek adalah KTUN yang merugikan pihak lain yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan dan atau asas-asas umum pemerintahan yang
baik dan atau terdapat cacat wewenang dan atau subtansi dan atau prosedur dalam
penerbitannya.
Dengan demikian maka Pengadilan Negeri tidak berwenang membatalkan sertipikat hak atas tanah, karena hal tersebut merupakan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara.