Contoh Legal Opinion Kasus Wanprestasi
Posted by
Adrian K Adi
on
23.42
Surabaya,
10 Juli 2012
Perihal
: Legal Opinion
Kepada
Yang terhormat
PT.Xeon
Di- Jakarta Selatan
Dengan hormat,
Merujuk pada pertemuan kami tanggal
07 Juli 2012 dengan pihak manajemen CV.Zero, kami menyampaikan Legal Opinion
Sebagai berikut :
Kasus Posisi
Bahwa pihak CV.Zero masih memiliki kewajiban kepada PT.
Xeon sejumlah :
·
Hutang pokok sebesar Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta
rupiah)
·
Denda keterlambatan sebesar Rp. 100.000.000,- (Seratus juta rupiah)
Total hutang
pokok dan denda keterlambatan sebesar Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah)
Bahwa dalam pertemuan tanggal 07
Juli 2012 tersebut, manajemen CV.Zero menyatakan bahwa pihak CV.Zero beritikad untuk membayar kewajiban
kepada pihak PT Xeon,
dan menawarkan restrukturisasi utang sebagai pilihan penyelesaian pembayaran
kewajiban kepada pihak PT. Xeon karena pihak CV.Zero masih merasa kesulitan dalam melakukan pembayaran
dengan dalil masih belum bisa pulih dari dampak kerugian yang ditimbulkan oleh
kebakaran salah satu gudang CV.Zero.
Bentuk Restrukturisasi yang rencananya
akan ditawarkan oleh pihak CV.Zero adalah Reschedulling dan Hair Cut
Isu Hukum
- apakah restrukturisasi utang itu
- apakah dapat diselesaikan dengan gugatan
wanprestasi
- apakah dapat diselesaikan dengan mengajukan
permohonan pailit
- apakah CV dapat digugat wanprestasi
- apakah CV dapat dimohonkan pailit
Analisa
Dengan melihat fakta-fakta hukum
diatas maka bentuk penyelesaian permasalahan yang dapat diambil adalah :
- Penyelesaian secara non litigasi
- penyelesaian litigasi
Penyelesaian secara non litigasi
Penyelesaian
non litigasi adalah penyelesaian di luar persidangan. Dalam hal ini termasuk
upaya mediasi dan negosiasi. Penawaran tentang restrukturisasi utang merupakan salah satu pilihan penyelesaian
yang dapat dinegosisasikan oleh kedua belah pihak. Berdasarkan keterangan dari
pihak CV.Zero, opsi restrukturisasi utang yang
ditawarkan adalah Reschedulling dan Hair Cut ;
Reschedulling
Reschedulling adalah upaya untuk memperpanjang
jangka waktu dalam pengembalian hutang atau penjadwalan kembali terhadap hutang
debitur pada pihak kreditur. Dan ini biasanya dengan cara memberikan tambahan
waktu lagi kepada debitur di dalam melakukan pelunasan hutangnya.
HairCut
Hair Cut merupakan potongan atau pengurangan
atas pembayaran bunga dan hutang yang dilakukan oleh pihak debitur, Pihak
kreditur menyetujui restrukturisasi hutang debitur dengan metode hair cut
karena untuk mengantisipasi kerugian yang lebih besar jika pihak debitur tidak
dapat membayar hutangnya yang terlampau besar tersebut, misalnya hutang debitur
tersebut tidak dapat lagi terbayar semuanya, jika hal ini sampai terjadi maka
pihak kreditur akan mengalami kerugian yang cukup membawa pengaruh dalam dunia
usahanya. Sedangkan jika dilihat dari pihak debitur, debitur sangat senang
karena kewajibannya dapat berkurang sehingga beban yang harus dikeluarkan
perusahaan pun dapat ditekan.
Penyelesaian secara litigasi
Penyelesaian secara litigasi adalah penyelesaian sengketa
melalui lembaga peradilan. Dalam kasus ini ada 2 pilihan yang dapat diambil
yaitu : Gugatan Wanprestasi dan Permohonan Pailit.
Gugatan Wanprestasi
Wanprestasi secara umum adalah suatu keadaan dikarenakan
kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi (kewajiban) seperti
yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa (force majeur).
Untuk
lebih jelasnya dinyatakan dalam pasal 1239 KUHPerdata :
“Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu,
atau tidak berbuat sesuatu, apabila siberutang tidak memenuhi kewajibannya,
mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi
dan bunga”
Pelanggaran hak-hak kontraktual, berdasarkan pasal 1239
KUHPerdata menimbulkan kewajiban ganti rugi, selanjutnya terkait dengan hal
tersebut Pasal 1243 KUHPerdata menyatakan :
“Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak
dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang,
setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika
sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat
dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya.”
Debitur dinyatakan lalai apabila : (i) tidak memenuhi
prestasi (kewajiban), (ii) terlambat berprestasi (melakukan kewajiban), (iii)
berprestasi tidak sebagaimana mestinya. Dalam hal ini wanprestasi baru ada
pernyataan lalai dari pihak kreditur kepada debitur, hal ini dibutuhkan untuk
menentukan tenggang waktu (yang wajar) kepada debitur untuk memenuhi
kewajibannya dengan sanksi tanggung gugat atas kerugian yang dialami kreditor.
Adakalanya dalam keadaan tertentu untuk membuktikan
adanya wanprestasi debitur tidak diperlukan lagi pernyataan lalai, ialah :
- untuk pemenuhan
prestasi berlaku tenggang waktu yang fatal (fatale termijn) ;
- debitur menolak
pemenuhan ;
- debitur mangakui
kelalainnya ;
- pemenuhan prestasi
tidak mungkin (di luar overmacht)
;
- pemenuhan tidak lagi
berarti (zinloos) ; dan
- debitur melakukan
prestasi tidak sebagaimana mestinya.
Dengan
adanya wanprestasi, pihak kreditur yang dirugikan sebagai akibat kegagalan
pelaksanaan kontrak oleh pihak debitur mempunyai hak gugat dalam upaya
menegakkan hak-hak kontraktualnya. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam
ketentuan pasal 1267 KUHPerdata yang menyatakan bahwa :
“Pihak yang terhadapnya perikatan tidak
dipenuhi, dapat memilih : memaksa pihak lain memenuhi kontrak, jika hal itu
masih dapat dialkukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian
biaya, kerugian dan bunga ;
Hak
kreditur tersebut dapat secara mandiri diajukan maupun dikombinasikan dengan
gugatan lain, meliputi :
- Pemenuhan (nakoming) ; atau
- Ganti Rugi (vervangende vergoeding;
schadeloosstelling) ; atau
- pembubaran, pemutusan
atau pembatalan (ontbinding),
atau
- pemenuhan ditambah
ganti rugi pelengkap (nakoming en anvullend vergoeding) ; atau
- Pembubaran ditambah ganti
rugi pelengkap (ontbinding en an vullend vergoeding)
Pemenuhan (nakoming)
merupakan prestasi (kewajiban) primer sebagaimana yang diharapkan dan
disepakati para pihak pada saat penutupan kontrak. Gugatan pemenuhan prestasi
dimaksud telah tiba waktunya untuk dilaksanakan ;
Ganti rugi merupakan upaya untuk memulihkan kerugian yang
prestasinya bersifat subsidair. Artinya, apabila pemenuhan prestasi tidak lagi
dimungkinkan atau sudah tidak diharapkan lagi maka ganti rugi merupakan
alternative yang dapat dipilih oleh kreditur. sesuai dengan ketentuan pasal
1243 KUHPerdata, ganti rugi meliputi :
Biaya
(kosten), rugi (scahden), dan bunga (interessen).
, maka unsure kerugian dalam hal ini terdiri dari dua unsur, yaitu (i) kerugian
nyata diderita (damnum emergens),
meliputi biaya dan rugi; dan (ii) keuntungan yang tidak diperoleh (lucrum cessans), berupa bunga
Ganti rugi di sini meliputi ganti rugi pengganti (vergande vergoeding) dang anti rugi
pelengkap (aanvullend vergoeding).
Ganti pengganti (vergande vergoeding),
merupakan gantirugi yang diakibatkan oleh tidak adanya prestasi yang seharusnya
menjadi hak kreditor, meliputi seluruh kerugian yang diderita sebagai akibat
wanprestasi debitur. Sedangkan ganti rugi sebagai akibat terlambat atau tidak
dipenuhinya prestasi debitur sebagaimana mestinya atau karena adanya pemutusan
kontrak.
Dalam hal ini pihak CV.Zero telah melakukan wanprestasi
dengan tidak melakukan kewajiban (prestasi) melampaui batas waktu yang telah
ditentukan, maka sesuai dengan ketentuan dalam KUHPerdata maka pihak PT.Xeon berhak
untuk dapat mengajukan upaya hukum Gugatan Wanprestasi ;
Gugatan Kepailitan
Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap
debitor dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang berbunyi
bahwa debitor yang mempunyai dua atau lebh kreditor dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan pengadilan baik atas permohonannya sendiri atau maupun
atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
Syarat-syarat permohonan pailit sebagaimana telah ditentukan Pasal 2 ayat
(1) dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Syarat adanya dua kreditor atau
lebih (concursus creditorium)
Adanya persyaratan concursus creditorium adalah
sebagai bentuk konsekuensi berlakunya ketentuan Pasal 1131 Burgerlijk
Wetboek dimana rasio kepailitan adalah jatuhnya sita umum atas semua harta
benda debitor untuk kemudian setelah dilakukan rapat verifikasi utang-piutang
tidak tercapai perdamaian atau accoord, dilakukan proses likuidasi atas
seluruh harta benda debitor untuk kemudian dibagi-bagikan hasil perolehannya
kepada semua kreditor sesuai urutan tingkat kreditor yang telah diatur oleh
undang-undang. Jika debitor hanya memiliki satu kreditor, maka eksistensi
Undang-Undang Kepailitan kehilangan raison d’etre-nya. Bila debitor
hanya memiliki satu kreditor, maka seluruh harta kekayaan debitor otomatis
menjadi jaminan atas pelunasan utang debitor tersebut dan tidak diperlukan
pembagian secara pari passu pro rata parte, dan terhadap debitor tidak
dapat dituntut pailit karena hanya mempunyai satu kreditor.
Undang-undang Kepailitan tidak mengatur secara
tegas mengenai pembuktian bahwa debitor mempunyai dua kreditor atau lebih,
namun oleh karena di dalam hukum kepailitan berlaku pula hukum acara perdata,
maka Pasal 116 HIR berlaku dalam hal ini. Pasal 116 HIR atau
Pasal 1865 Burgerlijk Wetboek menegaskan bahwa beban wajib bukti (burden
of proof) dipakai oleh pemohon atau penggugat untuk membuktikan diri (posita)
gugatannya, maka sesuai dengan prinsip pembebanan wajib bukti di atas, maka
pemohon pernyataan pailit harus dapat membuktikan bahwa debitor mempunyai dua
atau lebih kreditor sebagaimana telah dipersyaratkan oleh undang-undang
kepailitan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka telah didapat
pengertian “kreditor” sebagaimana terdapat di dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang. Berkaitan dengan ada tidaknya pelepasan hak agunan kreditor
separatis terhadap pengajuan permohonan pailit, terhadap kreditor telah diatur
secara jelas di dalam Pasal 138 undang-undang yang sama.
Berdasarkan
Undang-Undang Kepailitan yang baru ini, maka kreditor separatis dan kreditor
preferen dapat tampil sebagai kreditor konkuren tanpa harus melepaskan hak-hak
untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas piutangnya, tetapi dengan
catatan bahwa kreditor separatis dan kreditor
2. Syarat harus adanya utang
Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, terdapat perubahan
pengertian tentang utang. Utang diartikan sebagai kewajiban yang dinyatakan
atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang dalam mata uang Indonesia maupun mata
uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul karena perjanjian atau
undang-undang, dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi
hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor. Berdasarkan
pengertian utang di atas, permohonan pernyataan pailit dikabulkan apabila
“debitor mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya
satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan
putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan satu
atau lebih kreditornya”.
3. Syarat adanya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyebutkan syarat untuk
dinyatakan pailit melalui putusan pengadilan, yaitu :
1. terdapat minimal 2 (dua) orang kreditor
2. debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh
waktu dan dapat ditagih.
Syarat yang ada pada poin ketiga di atas,
menunjukkan bahwa adanya utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih
menunjukkan bahwa kreditor sudah mempunyai hak untuk menuntut debitor untuk
memenuhi prestasinya. Hak ini menunjukkan adanya utang yang harus lahir dari
perikatan sempurna yaitu adanya schuld dan haftung. Schuld yang
dimaksud disini adalah kewajiban setiap debitor untuk menyerahkan prestasi kepada
kreditor, dan karena itu debitor mempunyai kewajiban untuk membayar utang.
Sedangkan haftung adalah bentuk kewajiban debitor yang lain yaitu
debitor berkewajiban untuk membiarkan harta kekayaannya diambil oleh kreditor
sebanyak utang debitor guna pelunasan utang tadi, apabila debitor tidak
memenuhi kewajibannya membayar utang tersebut.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, menentukan pengertian
utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih adalah kewajiban untuk membayar
utang yang telah jatuh waktu baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan
waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau
denda oleh instansi yang berwenang maupun karena putusan pengadilan, arbiter,
atau majelis arbitrase. Implementasi Penjelasan Pasal 2 ayat (1)Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
lebih banyak terjadi ketika debitor tidak memenuhi kewajiban untuk membayar
utang yang telah jatuh waktu sebagaimana yang telah diperjanjikan.
4.Syarat pemohon pailit
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1), (2), (3), (4), (5)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban.
Pembayaran Utang menunjukkan bahwa pihak yang dapat mengajukan permohonan
pernyataan pailit bagi seorang debitor adalah :
a)
Debitor yang bersangkutan
b)
Kreditor atau para kreditor
c)
Kejaksaan untuk kepentingan umum
d)
Bank Indonesia apabila debitornya adalah bank
e)
Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) apabila debitornya adalah perusahaan
efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan
penyelesaian
f)
Menteri Keuangan apabila debitornya adalah perusahaan asuransi,
perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau badan
usaha milik negara yang
bergerak di bidang kepentingan publik.
Ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 ditambahkan Menteri Keuangan sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan
pailit berkaitan dengan kegiatan perasuransian dan kewenangan BAPEPAM di dalam
mengajukan permohonan pailit juga menjadi lebih luas karena tidak hanya
semata-mata perusahaan efek saja, melainkan jugalembaga-lembaga lain yang
terlibat di dalam kegiatan pasar modal. Beberapa pihak di atas yang dapat
mengajukan permohonan pailit, pihak yang paling umum mengajukan permohonan
pailit adalah pihak debitor dan kreditor.
Pengajuan permohonan pailit yang dilakukan oleh
debitor disebut dengan voluntary petition. Voluntary petition adalah
permohonanpernyataan pailit yang diajukan oleh debitor, yang tidak mensyaratkan
berapa besar jumlah utang yang dimilikinya. Sebaliknya pengajuan permohonan pailit
yang dilakukan oleh pihak kreditor disebut dengan involuntary petition. Involuntary
petition adalah pengajuan permohonan pernyataan pailit yang dilakukan
kreditor apabila debitor memiliki utang yang jumlah nilai utangnya dan bentuk
utangnya telah ditentukan di dalam perjanjian. Ketentuan bahwa debitor adalah
salah satu pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit terhadap dirinya
sendiri adalah ketentuan yang dianut di banyak negara. Namun ketentuan ini
memberi kesempatan bagi debitor nakal untuk melakukan rekayasa demi
kepentingannya. Oleh karenanya sekalipun mungkin saja permohonan pernyataan
pailit terhadap debitor dikabulkan oleh pengadilan, baik yang diajukan oleh
debitor sendiri atau oleh kreditor teman kolusi debitor atau sekongkolnya,
namun debitor tidak seharusnya lepas dari jerat pidana. Sedangkan ketentuan kreditor di dalam
mengajukan permohonan pernyataan pailit mengacu pada ketentuan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.
Undang-undang ini juga telah mengatur pula
kewenangan kreditor separatis dan kreditor preferen dapat mengajukan permohonan
pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang dimilikinya
terhadap harta debitor dan haknya untuk didahulukan. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah menentukan bahwa
permohonan pernyataan pailit dapat dilakukan atas permintaan debitor maupun
atas permintaan kreditornya. Namun ketiga undang-undang kepailitan ini tidak
membedakan permohonan pernyataan pailit terhadap debitor individu atau
perusahaan. Padahal tujuan dan manfaat hukum kepailitan perseorangan dan
perusahaan berbeda. Tujuan dan manfaat hukum kepailitan perseorangan adalah pembagian
yang adil harta pailit debitor di antara para kreditornya dan memberi
kesempatan bagi debitor insolven untuk memperoleh fresh start. Di sisi
lain, tujuan dan manfaat hukum kepailitan perusahaan adalah memperbaiki atau
memulihkan perusahaan guna memperoleh keuntungan dalam perdagangan, memaksimalkan
pengembalian tagihan para kreditor, menyusun tagihan kreditor, dan identifikasi
penyebab kegagalan perusahaan serta menerapkan sanksi terhadap manajemen yang
menyebabkan kepailitan.
PERTANGGUNG JAWABAN PENGURUS PERSEKUTUAN KOMANDITER ATAU COMMANDITAIRE VENNOOTSCHAP (CV) ATAU LIMITED PARTNERSHIP DALAM GUGATAN
PERDATA DAN KOMISARIS
CV
belum merupakan badan hukum, karena meskipun dalam CV sudah memenuhi
syarat-syarat materiil suatu badan hukum, tetapi pengesahan dari Pemerintah
belum dipenuhi sebagai syarat formilnya. CV merupakan salah satu bentuk perusahaan yang bukan badan hukum ang diatur
dalam buku pertama, titel ketiga, bagian kedua Pasal 16-35 KUHD. Pasal 19 KUHD
menegaskan:
”Persekutuan dengan
jalan meminjam uang atau disebut juga persekutuan komanditer, diadakan antara
seorang sekutu atau lebih yang bertanggung jawab secara pribadi dan untuk
seluruhnya dengan seorang atau lebih sebagai peminjam uang.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, tampak bahwa Persekutuan
Komanditer atau Commanditaire
Vennootschap (CV) atau limited
partnership, terdapat satu atau beberapa orang sekutu komanditer. Sekutu
komanditer hanya menyerahkan uang, barang atau tenaga sebagai pemasukan pada
CV. Sekutu komanditer yang hanya meminjamkan modal kepada perusahaan tidak
turut campur tangan dalam pengurusan dan penguasaan dalam persekutuan.
Status hukum seorang sekutu komanditer dapat disamakan
dengan seorang yang meminjamkan atau menanamkan modal pada suatu perusahaan dan
diharapkan dari penanaman modal itu adalah hasil keuntungan dari modal yang
dipinjamkan atau ditanamkan tersebut.
Sekutu komanditer sama
sekali tidak ikut terlibat mencampuri pengurusan dan pengelolaan CV.
Seolah-olah sekutu komanditer ini tidak berbeda dengan ”pelepas uang” (geldschieter, financial backer) yang diatur dalam UU Pelepas Uang (Geldschietersordonantie Staatsblad 1938-523).
Sekutu Komanditer hanya bertanggung jawab sebesar
kontribusi yang ia berikan, yaitu sebesar uang yang telah atau harus
dimasukkannya sebagai modal di CV tersebut. Ini sesuai dengan pasal 19 jo pasal 20 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (“KUHD”).
Dapat diliat bahwa pada Persekutuan Komanditer atau CV
ini terdiri dari dua macam sekutu:
1. Sekutu Pengurus atau Sekutu Komplementer (Complementaris) yang bertindak sebagai
pesero pengurus dalam CV. Selain Sekutu Komanditer yang juga ikut memberikan
pemasukan modal, Sekutu Komplementaris sekaligus menjadi pengurus dalam CV;
2. Sekutu Komanditer yang disebut juga dengan sekutu tidak
kerja dan statusnya hanya sebagai pemberi modal atau pemberi pinjaman. Oleh
karena Sekutu Komanditer tidak ikut mengurus CV, dia tidak ikut bertindak ke
luar.
Sekutu Kerja/Sekutu Aktif/Sekutu Komplementer adalah
sekutu yang memasukkan modal dalam persekutuan, menjadi pengurus Persekutuan,
mengelola usaha secara aktif yang melibatkan harta pribadi, termasuk membuat
perikatan atau hubungan hukum dengan pihak ketiga. Tanggung jawab sekutu ini
sampai pada harta pribadinya (Pasal 18 KUHD).
Sekutu Tidak Kerja/Sekutu Pasif/Sekutu Komanditer (Sleeping Partners/stille vennoot) adalah
sekutu yang wajib menyerahkan uang/benda/tenaga pada persekutuan sebagai
pemasukan dan berhak menerima keuntungan tapi tidak bertugas mengurus
Persekutuan. Sekutu ini hanya sebagai pelepas uang (geldschieter), pemberi uang atau orang
yang mempercayakan uangnya. Tanggung jawab sekutu ini terbatas pada jumlah
pemasukannya dalam persekutuan, sehingga tidak berwenang ikut campur dalam
pengurusan persekutuan. Bila dilanggar maka tanggung jawabnya diperluas yaitu
tanggung jawab pribadi untuk keseluruhan seperti pada sekutu kerja (Pasal 21
KUHD).
Berdasarkan penjelasan yang telah dijabarkan seperti di
atas maka pertanggungjawaban tidak hanya sebatas asset yang dimiliki oleh CV tersebut namun
juga termasuk asset dan seluruh harta kekayaan yang dimiliki oleh sekutu
aktif/sekutu komplementer, dalam hal ini adalah direktur dari CV.Zero tersebut.
Begitu pula dalam hal CV dihadapkan pada gugatan pidana/perdata, batasan
pertanggung jawaban pengurus juga berbeda antara sekutu kompelementer dengan
sekutu komanditer yaitu sekutu komanditer tersebut
tidak dapat melakukan apa-apa, karena ia tidak diperbolehkan untuk melakukan
pengurusan CV, walaupun ia telah dikuasakan untuk itu (lihat pasal 20 KUHD). Apabila ternyata
ia melakukan perbuatan pengurusan, maka statusnya akan beralih menjadi sekutu
komplementer, dan ia akan bertanggungjawab secara tanggung renteng atas semua
perikatan CV. Artinya, ia bertanggungjawab sampai harta pribadinya atas semua
perikatan CV (Pasal 21 KUHD).
REKOMENDASI HUKUM
Berdasarkan isu hukum di atas maka menurut kami telah terjadi wanpretasi
atas klien kami pihak PT.Xeon oleh CV.Zero dan diwajibkan untuk mengembalikan
hutang sebesar :
·
Hutang pokok sebesar Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah)
·
Denda keterlambatan sebesar Rp. 100.000.000,- (Seratus juta rupiah)
Total hutang
pokok dan denda keterlambatan sebesar Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah).
Hal ini berdasarkan pasal 1239 BW yang dinyatakan “Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak
berbuat sesuatau, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan
penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi, dan bunga”.
Berdasarkan penjabaran kami tersebut di atas maka kami dapat menyimpulkan
bahwa pihak PT. Xeon dapat mengajukan gugatan wanprestasi dengan sekutu
aktif/komplementer CV.Zero sebagai penggugat ke Pengadilan Negeri. Dalam
gugatan wanpresatasi dapat pula dilakukan upaya sita jaminan atas barang milik
CV.Zero (termasuk barang milik sekutu komplementer/aktif) yang dimohonkan kepada ketua Pengadilan
Negeri, fungsinya adalah untuk menjamin
dapat dilaksanakannya putusan perdata dengan menguangkan atau menjual barang
debitur yang disita guna memenuhi tuntutan penggugat. Dengan diletakkan
penyitaan pada suatu barang berarti bahwa barang itu dibekukan dan tidak dapat
dialihkan atau dijual oleh debitur.
Syarat-syarat
utama sita jaminan adalah :
·
Harus ada sangka yang
beralasan, bahwa tergugat sebelum putusan dijatuhkan atau dilaksanakan akan
menggelapkan atau menghilangkan barang-barangnya.
·
Barang yang disita itu
berupa kepunyaan yang terkena sita, artinya bukan milik penggugat.
·
Permohonan diajukan kepada
Ketua Pengadilan yang memeriksa perkara tersebut.
·
Dapat dilakukan atau
diletakkan baik tehadap barang bergerak atau yang tidak bergerak.
Dalam praktek permohonan akan sita jaminan
lazimnya dilakukan dalam surat gugat, dan dalam petitum dimohonkan pernyataan
sah dan berharga, atau dengan kata lain permohonan sita jaminan tersebut
diajukan sebelum dijatuhkan putusan. Sedangkan ciri-ciri sita jaminan adalah
sebagai berikut :
·
Sita jaminan diletakkan atas
harta yang disengketakan status kepemilikannya atau terhadap harta kekayaan
tergugat dalam sengketa utang piutang atau juga dalam sengekta dan tututan
ganti rugi.
·
Obyek sita bisa barang
bergerak atau tidak bergerak, bisa berwujud atau tidak berwujud.
·
Pembatasan sita jaminan bisa
hanya barang-barang tertentu atau seluruh harta kekayaan tergugat.
·
Tujuan penyitaan untuk
menjamin gugatan agar tidak hampa (illusoir)
Dengan diajukannya gugatan wanprestasi
setelah diputus dan mempunyai
kekuatan hukum tetap terhadap perkara wanprestasi tersebut maka dapat
dilaksanakan sita eksekusi.
Sita eksekusi adalah sita yang berhubungan
dengan masalah pelaksanaan suatu putusan karena pihak tergugat tidak mau
melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut secara
sukarela meskipun Pengadilan telah memperingatkan agar putusan tersebut
dilaksanakan secara sukarela sebagaimana mestinya. Sita eksekusi ini biasa
dilakukan terhadap putusan yang mengharuskan penggugat membayar sejumlah uang,
sedangkan tentang tata cara dan syarat-syarat sita eksekusi ini diatur dalam
pasal 197 HIR dan 208 RBG.
Sekiranya sudah diletakkan sita jaminan, tidak
diperlukan lagi Sita Eksekusi karena sita jaminan menurut asasnya otomatis
beralih menjadi sita eksekusi pada saat perkara yang bersangkutan mempunyai
putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Sita eksekusui terdapat 2 macam, yaitu :
1. Sita
Eksekusi Langsung; yakni sita eksekusi yang langsung diletakkan atas barang
bergerak dan barang tidak bergerak milik debitur atau pihak yang kalah.
2. Sita
Eksekusi yang Tidak Langsung; adalah sita eksekusi yang berasal dari sita
jaminan yang telah dinyatakan sah dan berharga dan dalam rangka eksekusi
otomatis berubah menjadi sita eksekusi.
Namun terdapat resiko
dari diajukannya gugatan Wanprestasi tersebut adalah jika ada kreditur lain
yang mengajukan permohonan pailit atas CV Zero. Pada dasarnya dengan diucapkannya putusan pailit
terhadap debitor, semua tuntutan hukum yang diajukan terhadapnya yang bertujuan
untuk memperoleh pemenuhan kewajiban dari harta pailit dan perkara yang sedang
berjalan menjadi gugur demi hukum. Hal ini di tegaskan dalam pasal 29
Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang. Jadi dalam hal ini jika mengajukan gugatan wanprestasi,
kemudian ada pihak kreditur lain yang mengajukan permohonan pailit atas CV Zero , maka gugatan wanprestasi tersebut gugur demi hukum.
Semua
perkara perdata dalam lapangan harta kekayaan diambil oleh kurator. Dalam hal
perkara tersebut dilanjutkan oleh kurator, maka kurator dapat mengajukan
pembatalan atas segala perbuatan yang dilakukan oleh debitor sebelum debitor
dinyatakan pailit. Begitu pula dalam masalah eksekusi
pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitor yang telah dimulai
sebelum kepailitan harus dihentikan, kecuali eksekusi itu sudah sedemikian jauh
hingga hari pelelangan sudah ditentukan, dengan izin hakim pengawas kurator
dapat meneruskan pelelangan tersebut.
Selain gugatan wanprestasi,
dapat pula pihak PT.X mengajukan permohonan pailit atas CV. Zero ke Pengadilan Niaga sebagai
kreditur karena telah memenuhi persyaratan dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu :
- terdapat minimal 2 (dua)
orang kreditor,
lebih diperjelas :
Bahwa terdapat putusan Pengadilan Mahkamah Agung
Nomor 000/K/Pdt.Sus/20XX yang diajukan oleh mendudukan pengurus CV. Zero, yaitu
Paijo dan Paimin sebagai Termohon Kasasi / Tergugat, Pemohon kasasi I dan
Termohon kasasi II dalam perkara perselisihan hubungan industrial yang diajukan
oleh Nawawi dan Jaini, sebagai Para Penggugat / Pemohon kasasi I dan Pemohon
kasasi II
- debitor tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang tersebut yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih
lebih diperjelas :
bahwa hutang pokok dan denda keterlambatan sebesar Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) CV. Zero kepada PT. Xeon telah lewat waktu.
.
Kelebihan dari diajukannya
permohonan pailit untuk kasus ini adalah jangka waktu prosedur perkara
kepailitan lebih cepat daripada prosedur perkara gugatan perdata di Pengadilan
Negeri, perkara kepailitan di tingkat pertama harus diputus oleh majelis hakim
Pengadilan Niaga maksimal 60 hari sejak diajukan permohonan.. jika ada upaya
hukum di tingkat kasasi harus diputus oleh hakim Mahkamah Agung maksimal 60
hari sejak diajukannya permohonan kasasi, jika ada upaya hukum di tingkat
peninjauan kembali maksimal harus diputus oleh hakim Mahkamah Agung maksimal 60 hari sejak diajukan permohonan
peninjauan kembali. Sehingga total jangka waktu prosedur perkara kepailitan
dapat selesai paling lama 180 hari.
Berbeda dengan prosedur penyelesaian perkara perdata di pengadilan Negeri yang
secara umum lebih lama.
Resiko jika mengajukan
permohonan pailit maka PT.Xeon harus berbagi harta kekayaan CV.Zero dengan
kreditur lain. Apabila hasil lelang dari kekayaan CV.Zero tidak dapat
melunasi hutang-hutangnya pada para
kreditur maka cara pelunasan hutang
dilakukan berdasarkan pencocokan utang. Dalam pencocokan utang pelunasan dibagi
berdasarkan secara proporsional dan menyediakan hak – hak istimewa bagi
kreditor yang haknya dijamin oleh Hak Tanggungan, fidusia, hipotik, atau hak
kebendaan lainnya yang disebut sebagai kreditor Separatis, hal ini diatur dalam
pasal 55 dan 138 Undang-Undang No.37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan juga bagi kreditor yang
berdasarkan undang-undang lain diberikan prioritas khusus, seperti para pekerja
yang gajinya belum dibayar dan juga pemerintah untuk tagihan pajak. Sedangkan
kreditor yang tidak mempunyai hak khusus, atau disebut kreditor konkuren tidak
diprioritaskan, hal ini berdasarkan pada pasal 1131 KUHPerdata. Dalam kasus ini
PT.Xeon termasuk dalam klasifikasi sebagai Kreditur Konkuren, sehingga tidak
mendapat prioritas dalam pelunasan hutang.
Selain dengan upaya
litigasi, gugatan wanprestasi atau kepailitan, PT. Xeon dapat mempertimbangkan penawaran tentang restrukturisasi
utang oleh CV. Zero. Opsi restrukturisasi yang ditawarkan adalah Reschedulling dan Hair Cut.
Opsi restrukturisasi tersebut adalah bentuk itikad pihak CV Zero untuk melunasi hutangnya, sehingga
jika memang dapat dipenuhi oleh pihak CV Zero maka penyelesaian tidak perlu melalui proses
litigasi.
Kesimpulan yang dapat
diambil dalam kasus ini adalah PT.Xeon berhak mengajukan upaya hukum baik
secara litigasi maupun non litigasi.
Demikian legal opinion
ini dibuat, untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih
Hormat kami,
Mr.X, S.H
Reschedulling adalah upaya untuk memperpanjang jangka waktu dalam pengembalian hutang atau penjadwalan kembali terhadap hutang debitur pada pihak kreditur. Dan ini biasanya dengan cara memberikan tambahan waktu lagi kepada debitur di dalam melakukan pelunasan hutangnya.
Hair Cut merupakan potongan atau pengurangan atas pembayaran bunga dan hutang yang dilakukan oleh pihak debitur, Pihak kreditur menyetujui restrukturisasi hutang debitur dengan metode hair cut karena untuk mengantisipasi kerugian yang lebih besar jika pihak debitur tidak dapat membayar hutangnya yang terlampau besar tersebut, misalnya hutang debitur tersebut tidak dapat lagi terbayar semuanya, jika hal ini sampai terjadi maka pihak kreditur akan mengalami kerugian yang cukup membawa pengaruh dalam dunia usahanya. Sedangkan jika dilihat dari pihak debitur, debitur sangat senang karena kewajibannya dapat berkurang sehingga beban yang harus dikeluarkan perusahaan pun dapat ditekan.
Dalam praktek permohonan akan sita jaminan lazimnya dilakukan dalam surat gugat, dan dalam petitum dimohonkan pernyataan sah dan berharga, atau dengan kata lain permohonan sita jaminan tersebut diajukan sebelum dijatuhkan putusan. Sedangkan ciri-ciri sita jaminan adalah sebagai berikut :
Sita eksekusi adalah sita yang berhubungan dengan masalah pelaksanaan suatu putusan karena pihak tergugat tidak mau melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut secara sukarela meskipun Pengadilan telah memperingatkan agar putusan tersebut dilaksanakan secara sukarela sebagaimana mestinya. Sita eksekusi ini biasa dilakukan terhadap putusan yang mengharuskan penggugat membayar sejumlah uang, sedangkan tentang tata cara dan syarat-syarat sita eksekusi ini diatur dalam pasal 197 HIR dan 208 RBG.
Sekiranya sudah diletakkan sita jaminan, tidak diperlukan lagi Sita Eksekusi karena sita jaminan menurut asasnya otomatis beralih menjadi sita eksekusi pada saat perkara yang bersangkutan mempunyai putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Selain gugatan wanprestasi, dapat pula pihak PT.X mengajukan permohonan pailit atas CV. Zero ke Pengadilan Niaga sebagai kreditur karena telah memenuhi persyaratan dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu :