Mengenai Hukum dan Arti
Pembuktian
Hukum pembuktian adalah ketentuan-ketentuan mengenai
pembuktian yang meliputi alat bukti, barang bukti, cara mengumpulkan dan
memperoleh bukti sampai pada penyampaian bukti di pengadilan serta kekuatan
pembuktian dan pembuktian. Arti penting pembuktian adalah mencari kebenaran
atas suatu peristiwa. Empat hal terkait konsep pembuktian yaitu : pertama, suatu bukti haruslah relevan
dengan sengketa atau perkara yang sedang diproses., kedua, suatu bukti haruslah dapat diterima (admissible). Ketiga,
exclusionary rules yaitu tidak diakuinya bukti yang diperoleh secara
melawan hukum. Keempat, weight of the evidence yaitu setiap
bukti yang relevan dan dapat diterima harus dapat dievaluasi oleh hakim, hal
tersebut telah masuk dalam kekuatan pembuktian atau bewijskracht.
Seperti yang telah diketengahkan sebelumnya, maka yang
harus dibuktikan adalah peristiwa dan bukan hukumnya. Hukum tidak harus
diajukan atau dibuktikan oleh para pihak, tetapi secara ex officio dianggap
harus diketahui dan diterapkan oleh hakim (ius curia novit). Hakim karena
jabatannya harus melengkapi dasar-dasar hukum yang tidak dikemukakan oleh
pihak-pihak. Ketentuan ini dapat disimpulkan dari Pasal 178 ayat 1 HIR (Pasal
189 ayat 1 Rbg) dan Pasal 50 ayat 1 Rv. Hakim dalam proses perdata harus
menemukan dan menentukan peristiwanya (mengkonstatir), hubungan hukumnya
(mengkualifisir) dan kemudian menentukan hukumnya terhadap peristiwa yang telah
ditetapkan itu (mengkonstituir). Menurut M. Yahya Harahap pengertian hakim
bersifat pasif mengandung makna:
1.
Hakim
tidak dibenarkan mengambil prakarsa aktif meminta para pihak mengajukan atau
menambah pembuktian yang diperlukan;
2.
Hakim
menerima setiap pengakuan dan pengingkaran yang diajukan para pihak di
persidangan, untuk selanjutnya dinilai kebenarannya oleh hakim.
3.
Pemeriksaan
dan putusan hakim, terbatas pada tuntutan yang diajukan penggugat dalam
gugatan.
Adapun penilaian pembuktian berlaku ketentuan sebagai
berikut:
1.
Terhadap
alat bukti tertulis yang berupa akta otentik, hakim terikat dalam penilaiannya,
sepanjang tidak dapat dibuktikan sebaliknya oleh pihak lawan (Pasal 165 HIR/285
RBg, 1870 KUH Perdata).
2.
Hakim
tidak wajib mempercayai saksi, yang berarti hakim harus memperhatikan secara
khusus akan adanya hubungan timbal balik antara kesaksian-kesaksian itu (Pasal
172 HIR/309 RBg, 1908 KUH Perdata).
3.
Pihak
yang berwenang menilai pembuktian, yang tidak lain merupakan penilaian suatu
kenyataan, adalah hakim judex facti saja, sehingga Mahkamah Agung tidak boleh
menilai hasil pembuktian dalam pemeriksaan tingkat kasasi.
4.
Apabila
alat bukti oleh hakim dinilai cukup memberi kepastian tentang peristiwa yang
disengketakan untuk mengabulkan apa yang dituntut oleh penggugat, kecuali kalau
ada bukti lawan yang dinilai sebagai bukti lengkap atau sempurna.
5.
Setiap
alat bukti yang sempurna masih dapat dilumpuhkan oleh bukti lawan. Pembuktian
lawan adalah setiap pembuktian yang bertujuan untuk membuktikan
ketidakbenarannya peristiwa yang diajukan oleh pihak lawan.
6.
Pasal
177 HIR/Pasal 314 RBg dan 1936 KUH Perdata tentang sumpah pemutus tidak
diperbolehkan adanya jika ada bukti lawan.
Arti pembuktian bergandengan tangan dengan dasar hukum
pembagian beban pembuktian, sebagaimana telah diatur secara tegas dalam Pasal
1865 KUHPerdata dan Pasal 163 HIR (Pasal 283 RBg) yang secara telah meletakkan
beban pembuktian pertama di pihak penggugat yang mendalilkan suatu hak atau
peristiwa hukum wajib membuktikan dalilnya tentang adanya suatu hak atau
peristiwa yang diuraikannya dalam surat gugatannya. Tergugat atau pihak lawan
boleh-boleh saja membantah dalil-dalil penggugat, namun sesuai asas yang
dikandung oleh Pasal Pasal 1865 KUH Perdata dan Pasal 163 HIR/283 RBg, siapa
yang mendalilkan suatu hak atau peristiwa, wajib membuktikan. Beban pembuktian
berdasarkan ketentuan Pasal 1865 KUH Perdata dan Pasal 163 HIR/283 RBg tidak
mutlak hanya dibebankan kepada pihak penggugat. Bisa saja terjadi dalam suatu gugatan
pihak tergugat mengakui sebagian dari dalil penggugat, tapi disisi lain
mendalilkan suatu hak atau keadaan/peristiwa.
Prinsip Hukum Pembukian
Dalam Perdata
Prinsip-prinsip umum pembuktian dalam hukum perdata
adalah sebagai berikut:
1. Mewujudkan Kebenaran Formil (Formeel Waarheid)
Hukum pembuktian perdata tidak menganut sistim hukum
stelsel negatif seperti dalam perkara pidana. Hukum acara perdata pada pokoknya
mencari kebenaran formil, yaitu hakim bersifat pasif dalam mengadili perkara
gugatan yang diajukan padanya dan putusan hakim didasarkan pada pembuktian
fakta yang didalilkan oleh pihak penggugat.
2. Pengakuan Mengakhiri Pemeriksaan
Pada dasarnya suatu dalil yang dikemukakan oleh
penggugat yang tidak lagi dibantah oleh tergugat seluruhnya mengakibatkan
pemeriksaan perkara telah selesai, dalam artian tak ada lagi hal yang
disengketakan oleh kedua belah pihak. Misalnya, seperti kasus di atas, tergugat
mengakui benar telah menerima sejumlah uang untuk pembayaran mobil yang dijual
olehnya dan tidak membantah bahwa tergugat belum menyerahkan mobil tersebut
kepada pembeli. Dengan pengakuan tersebut, maka peristiwa penggugat telah
memenuhi prestasinya untuk membayar dalam perjanjian jual beli,dan terbukti
tergugat belum memenuhi kewajibannya untuk menyerahkan barang yang
diperjanjikan sebagai objek jual beli.
3. Fakta Tidak Perlu Dibuktikan
Ada hal-hal dalam hukum pembuktian yang tidak perlu
dibuktikan lebih lanjut seperti adanya undang-undang yang berlaku mengatur hal
yang sedang disengketakan, fakta umum yang telah diketahui umum (terminus
notoir feiten), misalnya bahwa hari minggu adalah hari libur, bulan Juni
terdiri dari 30 (tiga puluh) hari dan sebagainya.
4. Pembuktian Lawan (Tegenbeweijs)
Pasal 1918 KUH Perdata memberi kesempatan kepada pihak
lawan untuk mengajukan pembelaan atau sanggahannya atas dalil penggugat dan
membuktikan dalil sanggahannya tersebut. Ketentuan ini berkaitan dengan tingkat
nilai pembuktian. Misalnya, akte autentik adalah bukti yang sempurna (volledig), sepanjang tidak diajukan
bukti lawan yang melumpuhkan kesempurnaannya tersebut.
5. Asas Audi et Alteram Partem
Asas hakim mendengar kedua belah pihak diwujudkan
tidak hanya pemeriksaan perkara wajib dihadiri oleh kedua belah pihak, dengan
melakukan pemanggilan yang sah pada kedua belah pihak atau kuasanya. Namun
dalam asas ini juga terkandung asas keseimbangan pembebanan pembuktian, dimana
hakim harus memberi kesempatan yang sama dan cukup pada kedua belah pihak untuk
menghadirkan bukti-buktinya. Jika tergugat menyangkal telah menerima pembayaran
harga barang, maka penggugat yang mendalilkan telah melakukan pembayaran wajib
membuktikan bahwa penggugat telah melakukan pembayaran dan diterima oleh
tergugat. Jika penggugat mengakui telah menerima pembayaran, akan tetapi
pembayaran yang diterimanya tersebut bukan pembayaran penuh, maka penyangkalan
tergugat tersebut telah mendalilkan suatu keadaan yaitu “pembayaran tidak
penuh”. Di sini tergugat dibebani untuk membuktikan bahwa pembayaran yang telah
dilakukan oleh penggugat tersebut tidak mengakibatkan pembayaran lunas.
6. Asas Ius Curia Novit
Asas ini memfiksikan bahwa hakim dianggap wajib
mengetahui hukum yang berlaku terhadap gugatan yang diajukan kepadanya. Dengan
demikian, hakim dilarang memutus dengan alasan tidak mengetahui hukumnya atau
memutus perkara di luar dari ketentuan hukum yang berlaku terhadap sengketa
yang diajukan padanya.
7. Asas Nemo Testis Indoneus In Propia Causa
Asas ini bermakna bahwa tidak seorangpun boleh menjadi
saksi atas perkaranya sendiri. Asas ini berlaku dalam menentukan beberapa
golongan orang yang dianggap “tidak mampu” menjadi saksi dan karenanya hakim
dilarang mendengar golongan ini sebagai saksi. Misalnya orang yang tidak mampu
secara mutlak seperti keluarga sedarah dalam garis lurus secara vertikal maupun
horizontal. Misalnya, orang tua atau suami/istri dari salah satu pihak yang
berpekara. Golongan lainnya adalah mereka yang dianggap tidak mampu secara
nisbi, misalnya anak di bawah umur atau orang yang hilang ingatan secara
temporer.
8. Asas Ultra Ne Petita
Asas ini berkaitan dengan larangan bagi hakim untuk
memutuskan diluar dari apa yang dituntut oleh para pihak. Hakim tidak boleh
memutuskan lebih dari apa yang dituntut oleh penggugat atau tergugat (jika ada
gugatan rekonvensi). Asas ini berisi pesan agar hakim bersifat pasif dalam mengabulkan
hal-hal yang tidak dituntut tapi bersikap responsif dalam mengatur beban
pembuktian.
9. Asas De Gustibus Non Est Disputandum
Asas ini berkaitan dengan selera atau ‘suka dan tak
suka’ (like and dislike), di mana soal perasaan tidak dapat disengketakan.
Dengan demikian, yang disengketakan adalah hak atau suatu peristiwa hukum.
Dalam gugatan perbuatan melawan hukum, yang dibuktikan adalah perbuatan
tergugat yang telah melanggar hak subjektif penggugat dan perbuatan tergugat
bertentangan dengan kewajiban hukumnya. Bukan peraasaan suka dan tidak suka
dari penggugat atas perbuatan tersebut.
10. Asas Nemo Plus Juris Transfere Potest Quam Ipse
Habet
Asas ini berkaitan dengan ketentuan bahwa seseorang
tidak dapat mengalihkan suatu hak yang bukan miliknya. Asas ini sebenarnya
digunakan untuk melakukan penilaian mengenai sah atau tidaknya suatu perbuatan
hukum.
Alat Bukti Dalam Perkara
Perdata
Alat bukti adalah segala hal yang dapat digunakan
untuk membuktikan perihal kebenaran suatu peristiwa di pengadilan. Menurut
Pasal 1866 KUHPerdata atau Pasal 164 HIR/283 RBg alat-alat bukti dalam perkara
perdata terdiri atas:
1.
Tulisan,
2.
Saksi-saksi,
3.
Persangkaan,
4.
Pengakuan, dan
5.
Sumpah
Alat-alat Bukti Tulisan/Tertulis
Dari
urutan pengaturan dari alat bukti yang diakui secara hukum dapat dilihat bahwa
dalam suatu perkara perdata alat bukti (alat pembuktian) yang utama adalah
tulisan. Dalam praktik peradilan, alat bukti tertulis disebut juga dengan
istilah bukti surat. Menurut Sudikno Mertokusumo, alat bukti tertulis atau
surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksud untuk
mencurahkan isi hati, atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan
sebagai pembuktian. Dalam praktik peradilan, alat bukti surat dapat
diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) yaitu:
1) Surat Biasa
Surat
biasa tidak selamanya dibuat untuk tujuan pembuktian di pengadilan, sehingga
bersifat umum. Namun demikian, jika dibutuhkan surat biasa juga dapat diajukan
ke persidangan dalam perkara perdata. Sedangkan penilaiannya adalah dapat
diterima sepanjang tidak dibantah oleh pihak lawan atau tidak dibantah dengan
bukti surat dalam bentuk akta autentik. Secara juridis penilaian surat yang
bukan akta diserahkan kepada pertimbangan hakim (lihat Pasal 1881 ayat 2 KUH
Perdata, 294 ayat 2 RBG, Pasal 1883, 1887 dan 1891 KUH Perdata)
2) Akta
Akta
ada 2 macam yaitu autentik dan dibawah tangan. Akta autentik adalah akta yang
dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang undang atau di hadapan pejabat yang
berwenang untuk itu di tempat akta dibuat (Pasal 1868 KUH Perdata. Akta di
bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak
tanpa bantuan dari seorang pejabat dan hanya semata mata dibuat oleh para pihak
yang berkepentingan. Akta dibawah tangan tidak diatur dalam HIR tetapi dalam S
1867 no 29 untuk Jawa Madura, sedangkan untuk luar Jawa Madura diatur dalam
pasal 286 sampai dengan pasal 305 RBg, lihat juga pasal 1874-1880 BW. Fungsi
terpenting suatu akta adalah sebagai alat bukti (probationis causa).
Akta
autentik adalah akta yang dibuat sesuai undang-undang dan dibuat oleh pejabat
umum yang berwenang, seperti notaris, hakim, jurisita, panitera, pegawai
pencatat sipil. Berdasarkan Pasal 1868 KUH Perdata, dibedakan antara akte yang
dibuat oleh pejabat yang berwenang dengan yang dibuat oleh pegawai umum yang
berwenang. Dalam bentuk fisiknya, akta autentik dapat berupa putusan
pengadilan, penetapan hakim, berita acara persidangan, akta jual beli yang
dibuat di hadapan notaris, akta kelahiran, akta perkawinan, sertifikat
pendaftaran Merek dan sebagainya.
Kekuatan pembuktian
dari akta dapat dibedakan menjadi:
a) Kekuatan
Akta Autentik
a. Kekuatan
pembuktian lahir.
Didasarkan pada apa
yang tampak lahir, bila dari bentuknya seperti akta maka dianggap mempunyai
kekuatan seperti akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya.
b. Kekuatan
pembuktian formil.
Didasarkan atas benar
tidaknya ada pernyataan oleh orang yang bertandatangan dibawah akta itu, hal
ini memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan
dan melakukan apa yang dimuat dalam akta. Berlaku asas acta publica probant
sese ipsa, yang berarti bahwa suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta
autentik serta memenuhi syarat syarat yang telah ditentukan maka akta itu
dianggap sebagai akta otentik kecuali terbukti sebaliknya.
c. Kekuatan
pembuktian materiil.
Memberi kepastian
tentang materi suatu akta bahwa para pihak menyatakan dan melakukan apa yang
dimuat dalam akta. Dalam arti formil, akta otentik membuktikan kebenaran dari
apa yang dilihat, didengar dan dilakukan pejabat.
d. Kekuatan
Pebuktian Formil Akte.
Ini adalah pembuktian
tentang kebenaran dan keterangan pejabat sepanjang mengenai apa yang dilakukan
dan dilihatnya. Pada akta pejabat (acte ambtelijk) tidak terdapat pernyataan
atau keterangan dari para pihak, karena pihak pejabat yang menerangkan. Akta
pejabat hanya membuktikan kebenaran apa yang dilihat dan dilakukan pejabat,
pernyataan para pihak tidak ada sehingga umumnya akta pejabat tidak mempunyai
kekuatan pembuktian materiil kecuali yang dikeluarkan Kantor Catatan Sipil atau
pejabat pencatatan lainnya berdasarkan perintah undang-undang. Misalnya pihak
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang menyelenggarakan pencatatan
dan pendaftaran Merek, Paten, Hak Cipta dan Desain Industri.
b) Kekuatan
pembuktian akta di bawah tangan
a. Kekuatan
pembuktian lahir.
Kalau tandatangan dalam
akta tersebut diakui maka akt dibawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna.
b. Kekuatan
pembuktian formil akta dibawah tangan.
Kalau tandatangan akta
dibawah tangan diakui maka keterangan atau pernyataan diatas tanda tangan itu
benar keterangan atau pernyataan dari si penanda tangan.
c. Kekuatan
pembuktian materiil akta dibawah tangan.
Menurut pasal 1875 BW
(lihat juga pasal 288 RBG) akta dibawah tangan yang diakui oleh orang terhadap
siapa akta itu digunakan atau yang dapat dianggap diakui menurut undang undang,
bagi yang menandatangani, ahli warisnya serta orang orang yang mendapat hak
dari mereka, merupakan bukti yang sempurna seperti akta otentik.
Kekuatan
pembuktian dari surat atau alat bukti tertulis terletak pada aslinya (Pasal 301
RBG, 1888 BW). Apabila akta aslinya sudah tidak ada lagi maka kekuatan
pembuktiannya diserahkan kepada hakim (Pasal 302 RBG, 1889 BW). Demikian pula,
kekuatan pembuktian salinan surat surat lain diserahkan kepada pertimbangan
hakim. Dalam praktik peradilan, ada putusan Mahkamah Agung yang dapat dijadikan
sebagai referensi mengenai penilaian bukti akta autentik, yaitu putusan Nomor
3360 K/Sip/1983 yang pada pokoknya menyatakan bahwa nilai pembuktian akte
autentik adalah sempurna (volledig), akan tetapi hal itu melekat sepanjang
tidak diajukan bukti lawan oleh pihak tergugat yang melumpuhkannya. (Pasal 1870
KUH Perdata/Pasal 314 RBg).
2. Bukti Saksi
Apabila
tidak terdapat bukti-bukti yang berupa tulisan, maka pihak yang diwajibkan
membuktikan sesuatu berusaha mendapatkan orang-orang yang telah melihat atau
mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan. Orang atau orang-orang itu
di muka hakim diajukan sebagai saksi. Apabila tidak mungkin mengajukan
saksi-saksi yang telah melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus
dibuktikan, maka diusahakan untuk membuktikan peristiwa-peristiwa lain yang ada
hubungan erat dengan peristiwa yang harus dibuktikan tadi. Namun ada beberapa
orang, yang secara mutlak tidak dapat didengar sebagi saksi di bawah sumpah,
yaitu:
a.
Keluarga sedarah dan semenda dari salah
satu pihak dalam garis lurus;
b.
Suami atau istri salah satu pihak, juga
setelah mereka bercerai;
c.
Anak-anak yang umurnya tidak diketahui
dengan pasti apakah telah mencapai 15 tahun;
d.
Orang-orang gila, walaupun sekali-sekali
mereka dapat menggunakan pikirannya yang sehat.
Anggota
keluarga sedarah dan semenda boleh menjadi saksi dalam sengketa mengenai status
perdata dari pihak-pihak atau mengenai suatu perjanjian kerja, untuk mana
mereka dipandang cakap. (Pasal 145 ayat (1) dan (2) HIR/172 RBg, Pasal 1910,
1912 KUH Perdata). Saksi yang punya hak mengundurkan diri adalah:
a.
Saudara-saudara laki-laki dan perempuan,
ipar-ipar laki-laki dan perempuan dari salah satu pihak;
b.
Keluarga sedarah dalam garis lurus dan
saudara-saudara kandung dari suami atau istri salah satu pihak;
c.
Mereka yang karena kedudukan, pekerjaan
atau jabatan yang sah wajib menyimpan rahasia, akan tetapi hanya semata-mata
dan melulu menyangkut hal-hal yang oleh ilmu pengetahuan dipercayakan
kepadanya.
Dasar
dari kewajiban untuk menyimpan rahasia yang didalilkan itu terserah pada
penilaian pengadilan negeri (Pasal 146 HIR/174 Rbg, Pasal 1909 KUH Perdata).
Dalam putusan Mahkamah Agung no. 300 K/Sip/1973 tanggal 11 November 1975 bahwa
saksi bekas ipar tidak termasuk yang disebut dalam Pasal 146 ayat (1) HIR/174 RBg
sedangkan saksi keponakan ada hak untuk mengundurkan diri.
Penilaian
terhadap alat bukti saksi
Berdasarkan
Pasal 172 HIR/309 RBg jo Pasal 1908 KUH Perdata, hakim bebas atau tidak terikat
dengan keterangan saksi dalam memberikan penilaian. Hakim tidak wajib
mempercayai keterangan saksi, akan tetapi dalam penilaiannya hakim harus
menilai 2 (dua) hal, yaitu terpenuhinya persyaratan formal bagi saksi dapat
didengar sebagai saksi, dan syarat materil sebagaimana diatur oleh Pasal 172
HIR/ pasal 309 RBg dan pasal 1908 KUHPerdata.
a. Syarat Formil
1.
Saksi tidak dilarang sebagai saksi di
persidangan (Pasal 1910 KUH Perdata jo Pasal 172 HIR/145 RBg);
2.
Saksi memberi keterangan di persidangan
sesuai dengan ketentuan Pasal 144 HIR jo Pasal 1905 KUH Perdata;
3.
Saksi mengucapkan sumpah untuk kebenaran
keterangan/kesaksiannya (Pasal 171 HIR jo Pasal 1907 KUH Perdata);
4.
Saksi didengar keterangannya satu
persatu (Pasal 144 ayat (1) HIR/171 RBg);
b. Syarat Materil
1.
Kesesuaian atau kecocokan antara
keterangan para saksi atau dengan alat bukti lainnya tentang pokok perkara yang
disengketakan(Pasal 171 HIR jo Pasal 1907 KUH Perdata);
2.
Persitiwa yang diterangkan saksi
bersumber dari pengalaman, penglihatan, pendengaran dan yang dialami saksi
sendiri yang relevan dengan hal yang disengketakan (Pasal 171 HIR jo Pasal 1907
KUH Perdata);
3.
Kesesuaian kesaksian dengan apa yang
diketahui dari segi lain tentang perkara yang disengketakan;
4.
Cara hidup saksi, adat istiadat serta
martabat para saksi dan segala sesuatu yang sekiranya mempengaruhi tentang
dapat tidaknya dipercaya seorang saksi.
Dengan
demikian, meskipun undang-undang tidak mewajibkan hakim mempercayai keterangan
saksi, akan tetapi ada tolak ukur bagi hakim untuk menilai apakah keterangan
saksi memiliki nilai pembuktian atau tidak.
3. Penyangkaan
Apabila
saksi-saksi yang melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus
dibuktikan, sukar didapatkan atau tidak ada, maka dapat diusahakan pembuktian
dengan persangkaan-persangkaan. Misalnya, dalam suatu perkara gugatan
perceraian yang didasarkan kepada perzinahan, adalah sukar sekali
pembuktiannya. Berdasarkan yurisprudensi, ada persangkaan yang dapat dibangun
dalam suatu keadaan yaitu jika dapat dibuktikan seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang dituduh melakukan perzinahan itu telah bersama-sama menginap
dalam kamar di mana hanya ada satu tempat tidur, maka dipersangkakan bahwa
mereka itu benar melakukan perzinahan.
“Persangkaan”
ialah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah telah “terkenal”
atau dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang “tidak terkenal”, artinya
belum terbukti. Maka dari itu kalau persangkaan ini dinamakan alat bukti, itu
adalah kurang tepat. Adapun yang menarik kesimpulan yang tersebut tadi, adalah
hakim atau undang-undang. Bila yang menarik kesimpulan itu hakim, maka
persangkaan itu dinamakan “persangkaan Hakim sedangkan apabila yang menarik
kesimpulan itu undang-undang maka persangkaan itu dinamakan “persangkaan
undang-undang”.
Kalau
pembuktian dengan tulisan dan kesaksian itu merupakan pembuktian secara
langsung, maka pembuktian dengan persangkaan dinamakan pembuktian secara tidak
langsung. Kesimpulan tentang terbuktinya peristiwa yang dipersengketakan itu
apabila persangkaan itu berbobot, cermat dan tertentu serta bersesuaian satu
dengan lainnya (Pasal 1915 KUH Perdata, Pasal 173 HIR/310 RBg). Di samping itu
ada pula ketentuan undang-undang yang mengambil kesimpulan seperti yang
dilakukan oleh hakim tadi (Pasal 1916, 1921 KUH Perdata, Pasal 173 HIR/310
RBg). Apa yang dinamakan persangkaan-persangkaan hakim dalam perkara perdata
itu adalah sama dengan apa yang dinamakan pembuktian dengan petunjuk-petunjuk
dalam perkara pidana.
Ada
juga yang mempersoalkan tentang pemeriksaan setempat yang dilakukan oleh hakim.
Apakah pemeriksaan setempat itu merupakan alat bukti? Pemeriksaan setempat itu
tidaklah lain dari pada memindahkan tempat sidang hakim ke tempat yang dituju
itu, sehingga apa yang dilihat oleh hakim sendiri ditempat tersebut, dapat
dianggap sebagai dilihat oleh hakim dimuka sidang pengadilan. Jadi merupakan
penglihatan hakim yang tidak tunduk pada kasasi.
4. Pengakuan
Pengakuan
dalam perkara perdata, mempunyai kekuatan pembuktian mengikat dan menentukan.
Hakim harus menerima pengakuan yang dilakukan oleh para pihak yang berperkara,
meskipun mungkin pengakuan tersebut dibangu diatas suatu kebohongan. Dari sudut
teori Menurut R. Soebekti, pembuktian, pengakuan sebagai alat bukti mengikat
tidak tepat. Karena apabila dalil-dalil yang dikemukakan pihak lawan diakui,
maka pihak yang mengemukakan dalil-dalil itu tidak usah membuktikannya. Dengan
diakuinya dalil-dalil tadi, pihak yang mengajukan dalil-dalil itu dibebaskan
dari pembuktian. Pembuktian hanya perlu diadakan terhadap dalil-dalil yang
disangkal oleh pihak lawan. Dalam perkara perdata, apabila pihak lawan tidak
menyangkal dalil pihak lawannya, diartikan sebagai mengakui atau
membenarkannya.
Pengakuan
yang dilakukan dimuka hakim memberikan suatu bukti yang sempurna terhadap siapa
yang telah melakukannya, baik sendiri maupun dengan perantaraan seorang yang
khusus dikuasakan untuk itu (Pasal 1925 KUHPerdata, 176 HIR/311 RBg). Artinya
ialah, bahwa hakim harus menganggap dalil-dalil yang telah diakui itu sebagai
benar dan meluluskan (mengabulkan) segala tuntutan atau gugatan yang didasarkan
pada dalil-dalil tersebut. Pengakuan merupakan bukti yang sempurna dan mengikat
adalah pengakuan yang dilakukan di muka hakim. Pengakuan itu harus diucapkan di
muka hakim oleh tergugat sendiri atau oleh seorang yang khusus dikuasakan untuk
itu. Ada hal-hal yang harus diperhatikan oleh hakim berkaitan dengan pengakuan
sebagai berikut:
a.
Pengakuan yang dilakukan di muka hakim
itu tidak boleh ditarik kembali kecuali apabila dapat dibuktikan bahwa ia telah
dilakukan sebagai akibat dari suatu kekhilafan mengenai hal-hal yang terjadi.
b.
Suatu pengakuan tidak boleh ditarik
kembali dengan dalil bahwa orang yang melakukannya khilaf tentang suatu soal
hukum.
c.
Pengakuan tidak boleh dipecah-pecah,
artinya tidak boleh mengakui sebagian hal tetapi tidak mengakui sebagian hal
yang lain. Contoh: tergugat mengakui utang yang didalilkan penggugat, tetapi
utang tersebut sudah dibayar lunas. Jawaban seperti ini tidak termasuk
pengakuan.
d.
Pengakuan yang dikualifisir: contoh, tergugat
membenarkan sudah membeli barang dari penggugat, tetapi tidak dibayarnya karena
barangnya rusak. Dalam kedua hal tersebut, yang harus membuktikan adalah
penggugat.
5. Sumpah
Menurut
Sudikno Mertokusumo, sumpah adalah suatu penrnyataan khikmad yang diberikan
atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan
sifat Mahakuasa dari Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau
janji tidak benar akan dihukum oleh Nya. Alat bukti sumpah diatur dalam pasal
182 s/d pasal 185 RBg, Pasal 155 s/d pasal 158 HIR. Pasal 314 RBg / pasal 177
HIR, Pasal 1929 s/d pasal 1945 KUH Perdata. Dalam hukum acara perdata para
pihak yang bersengketa tidak boleh didengar sebagai saksi. Namun demikian
walaupun tidak dapat didengar sebagai saksi, dibuka kemungkinan untuk
memperoleh keterangan dari pihak yang diteguhkan dengan sumpah, yang dimaksud
sebagai alat bukti.
Dalam
perkara perdata sumpah yang diangkat oleh salah satu pihak dimuka hakim itu,
ada dua macam:
a.
Sumpah Pemutus
Sumpah
pemutus disebut juga sumpah decissoir, diatur dalam pasal 183 RBg/156 HIR dan
Pasal 1930 KUH Perdata. Sumpah Pemutus adalah sumpah yang diajukan oleh salah
satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan. Inisiatif untuk membebani sumpah
pemutus adalah dari salah satu pihak yang berperkara, dan dia pula yang
menyusun rumusan sumpahnya. Sumpah tersebut harus mengenai perbuatan yang
dilakukan sendiri oleh pihak yang diperintahkan untuk bersumpah. Apabila
perbuatan tersebut dilakukan oleh kedua belah pihak kemudian pihak yang diminta
mengangkat sumpah tidak bersedia, maka ia dapat mengembalikan sumpah kepada pihak
lawannya. Akan tetapi bila perbuatan yang dimintakan sumpah bukan merupakan
perbuatan yang dilakukan bersama (dilakukan sendiri) yang dilakukan pihak yang
dibebani sumpah, maka sumpah tersebut tidak dapat dikembalikan kepada pihak
lawan yang tidak ikut melakukan perbutan. Pasal 183 RBg/156 HIR dan pasal 1932
KUH Perdata, menyatakan:
“Barang siapa yang diperintahkan mengangkat
sumpah tidak bersedia dan menolak mengembalikannya ataupun barang siapa
memerintahkan mengangkat sumpah dan setelah kepadanya sumpah itu dikembalikan,
ia menolak maka ia harus dikalahkan.”
Sumpah
pemutus (decissoir) dapat diperintahkan tentang segala persengketaan yang
berupa apapun juga, selainnya tentang hal-hal yang para pihak tidak berkuasa
mengadakan suatu perdamaian atau hal-hal di mana pengakuan mereka tidak boleh
diperhatikan. Sumpah pemutus diminta oleh salah satu pihak kepada pihak
lawannya manakala kedua belah pihak tidak mempunyai alat bukti sama sekali.
Pihak yang diminta bersumpah dapat mengembalikan sumpah tersebut kepada pihak
yang meminta. Konsekuensinya, siapa yang bersumpah harus dimenangkan (Pasal
1930 KUH Perdata). Sumpah pemutus ini merupakan senjata pamungkas artinya senjata
terakhir bagi suatu pihak yang tidak mengajukan suatu pembuktian. Ia merupakan
suatu senjata yang mudah dipakai, tetapi juga berbahaya bagi yang
menggunakannya. Kalau pihak lawan berani sumpah, orang yang memerintahkan
sumpah itu akan kalah.
b.
Sumpah Tambahan
Sumpah
tambahan disebut juga sumpah supplatoir diatur dalam pasal 182 RBg/155/HIR dan
pasal 1940 KUH Perdata. Sumpah Tambahan adalah suatu sumpah yang diperintahkan
oleh hakim karena jabatannya pada salah satu pihak yang berperkara untuk menambah
atau melengkapi pembuktian yang belum lengkap. Jadi sumpah penambah hanya dapat
diperintahkan oleh hakim kepada salah satu pihak yang berperkara bila sudah ada
permulaan pembuktian tapi belum mencukupi dan tidak ada bukti lain. Jika tanpa
ada bukti sama sekali maka hakim tidak dapat memerintahkan salah satu pihak
mengangkat sumpah, demikian juga bilamana sudah ada alat bukti yang cukup.
Pihak
yang diminta sumpah dapat mengangkat atau menolak sumpah itu. Sumpah suppletoir
tidak bisa dikembalikan kepada pihak lawan dan tidak boleh diminta oleh suatu
pihak. Tidak ada keharusana bagi hakim untuk memerintahkan sumpah Suppletoir /
tambahan Apakah dalam suatu perkara sudah terdapat suatu permulaan pembuktian,
adalah terserah pada pertimbangan hakim sendiri. Hakim leluasa untuk
memerintahkan sumpah tambahan itu kepada pihak penggugat atau pihak tergugat.
Menurut
Yurisprudensi Mahkamah Agung, sumpah tambahan ini tidak terikat pada syarat
bahwa sumpah itu harus mengenai perbuatan pribadi dari si bersumpah. (Majalah Hukum
tahun 1957 No. 1-2). Contoh: saya bersumpah bahwa barang yang saya terima dari
penjual sudah dalam keadaan rusak. Tetapi meskipun demikian, sudah barang tentu
bahwa orang hanya dapat bersumpah tentang hal-hal yang diketahuinya, misalnya
saja tidak dapatlah seorang bersumpah bahwa sawah sengketa diperoleh nenek
moyang tergugat dengan membuka hutan seratus tahun yang lalu. Dengan demikian
dapat kita lihat, bahwa sumpah tambahan ini, mengenai syarat-syarat untuk
memerintahkannya adalah lebih sempit dari sumpah pemutus, karena harus ada
permulaan pembuktian, tetapi mengenai isinya sumpah itu lebih luas karena tidak
perlu mengenai perbuatan pribadi dari si yang bersumpah.
c.
Sumpah Penaksir
Sumpah
penaksir adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada
penggugat untuk menentukan jumlah uang pengganti kerugian. Sumpah penaksir ini
diperintahkan oleh hakim bila jumlah uang pengganti kerugian yang diderita
tidak dapat ditentukan dengan pasti.Bahkan dalam hal yang demikian itu hakim
harus menetapkan hingga jumlah mana si penggugat akan dipercaya akan sumpahnya.
Sumpah ini lazim dikenal dengan nama “sumpah penaksiran atau sumpah taxatoir”.
Jika
ada suatu halangan yang sah, yang menyebabkan penyumpahan itu tidak dapat
dilaksanakan dimuka sidang pengadilan, maka sumpah dapat dialaksanakan di luar
pengadilan, misalnya di rumah sakit, rumah yang bersangkutan, kelenteng dan
lain-lain, asal disaksikan oleh hakim yang mengadili perkaranya. Sumpah harus
diangkat sendiri pribadi. Karena alasan-alasan penting, hakim dapat mengizinkan
suatu pihak yang berperkara untuk mengangkat sumpahnya yang dilaksanakan oleh
orang lain yang untuk itu khusus dikuasakan dengan suatu akta otentik. Dalam
hal ini surat kuasa harus menyebutkan secara lengkap dan teliti sumpah yang
harus diucapkan itu. Dari apa yang telah diuraikan diatas, dapat diambil
beberapa perbedaan yang utama dari sumpah pemutus dengan sumpah tambahan yaitu:
a.
Sumpah pemutus dibebankan oleh hakim
atas inisiatif para pihak dalam perkara, sedangkan sumpah penambah atas
inisiatif hakim sendiri;
b.
Sumpah pemutus hanya diperbolehkan
apabila tidak ada suatu bukti apapun, sedangkan sumpah penambah harus ada
permulaan pembuktian;
c.
Sumpah pemutus dapat dikembalikan kepada
pihak lain, sedangkan sumpah penambah tidak dapat dikembalikan atau dialihkan
kepihak lain;
d.
Dalam sumpah pemutus yang menjadi objek
sumpah harus mengenai perbuatan pribadi, sedangkan dalam sumpah penambah yang
menjadi obyek sumpah adalah perbuatan orang lain;
e.
Sumpah pemutus memberikan bukti yang
menentukan, sedangkan sumpah Penambah memberikan bukti sementara yang dapat
dilawan dengan bukti lain.