PRAPERADILAN
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sistem peradilan pidana tidak lagi murni menganut sistem peradilan inquisitorial, melainkan memiliki dan mengadopsi beberapa konsep serta prinsip sistem adversarial, dimana salah satu konsep sistem adversarial yang digunakan dalam KUHAP adalah konsep praperadilan yang merupakan adopsi dari konsep Habeas Corpus Act yang lahir di Inggris. Merujuk pada sejarahnya, Habeas Corpus muncul dari prinsip dasar bahwa pemerintah harus selalu tunduk pada hukum, dan hukum itu ditafsirkan dan diterapkan oleh hakim. Konsep ini kemudian diformalkan oleh parlemen Inggris pada abad ke 17. Pasca-lahirnya Habeas Corpus, untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap seseorang, terlebih dahulu harus ada surat perintah dari pengadilan, yang dikeluarkan atas nama raja, dan ditujukan ke pejabat kerajaan tertentu. Dengan kata lain, Habeas Corpus adalah mekanisme prosedural untuk penegakan hukum atas hak dan kewajiban yang diberikan, dikenakan, atau diakui pada otoritas lainnya dalam suatu hukum—peradilan terhadap penyidikan. Habeas Corpus Act memberikan hak pada seseorang untuk menuntut pejabat (polisi atau jaksa) yang melakukan perampasan kebebasan sipil atas dirinya. Tuntutan itu untuk membuktikan apakah perampasan kebebasan sipil—upaya paksa yang dilakukan tidak melanggar hukum dan benar-benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku atau sebaliknya. Konsep ini berguna menjamin bahwa perampasan atau pembatasan kemerdekaan seorang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dan hak-hak asasi manusia.
Keberadaan lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam KUHAP secara filosofis
tidak lepas dari konsep Habeas Corpus yang
diterjemahkan menjadi Praperadilan, dimana secara tersirat dalam penjelasan Pasal 80 KUHAP memiliki maksud untuk menegakkan hukum,
keadilan, kebenaran
melalui sarana pengawasan horizontal, sehingga esensi dari dibentuknya
lembaga Praperadilan
adalah untuk mengawasi tindakan perampasan kebebasan sipil atau upaya paksa apabila
dilaksanakan secara sewenang-wenang
dengan maksud/tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam
KUHAP, serta guna
menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap orang.
Sebagaimana telah diketahui untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan suatu tindak pidana, undang-undang memberi kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan perampasan kebebasan sipil atau upaya paksa seperti halnya penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan dimana hal tersebut merupakan pengurangan dan pembatasan atas hak asasi tersangka, sehingga aparat penegak hukum dalam melakukan upaya paksa harus dilakukan secara bertanggungjawab menurut ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku karena upaya paksa yang dilakukan bertentangan dengan hukum dan undang-undang merupakan pelanggaran terhadap hak asasi tersangka. Oleh karena itu lembaga PraPeradilan dibentuk dan diatur dalam KUHAP untuk mengawasi apakah tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan hukum;
Definisi
Praperadilan termuat dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP dimana disebutkan Praperadilan
adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini, tentang:
- Sah atau
tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka
atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
- Sah atau
tidaknya penghentian penyelidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
- Permintaan
ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau
pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan;
Bahwa
apa yang dirumuskan dalam Pasal 1 butir 10 KUHAP dipertegas dalam Pasal 77
KUHAP yang menyebutkan Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
- Sah atau
tidaknya suatu penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan;
- Ganti rugi
dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan
pada tingkat penyidikan atau penuntutan;
Dalam
perkembangannya berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014
telah menambah objek praperadilan yang sebelumnya sudah diatur dalam KUHAP,
yaitu termasuk pula dalam objek praperadilan adalah penetapan tersangka,
penggeledahan dan penyitaan. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memberikan
beberapa hal baru diantaranya mengenai frasa “bukti permulaan”, “bukti
permulaan yang cukup”, “bukti yang cukup”
sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 angka 14, pasal 17, dan pasal 21 ayat (1)
KUHAP yang harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat
dalam pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya,
kecuali terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan
dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia).
Artinya, terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan
dilakukan tanpa kehadirannya tersebut, tidak diperlukan pemeriksaan calon
tersangka. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah untuk tujuan
transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang
ditetapkan sebagai tersangka sudah dapat memberikan keterangan yang seimbang
dengan minimum dua alat bukti yang telah ditemukan oleh penyidik. Definisi
mengenai “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, “bukti yang cukup” tersebut penting agar tidak
ada tindakan sewenang-wenang oleh penyidik dalam menetapkan seseorang menjadi
tersangka.
Selanjutnya
alasan Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan bahwa penetapan tersangka merupakan
obyek dari praperadilan adalah berpijak dari maksud dan tujuan yang hendak
ditegakkan dan dilindungi dalam proses praperadilan adalah tegaknya hukum dan
perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan dan
penuntutan, serta memperhatikan nilai-nilai hak asasi manusia yang terdapat
dalam UU Nomor 39 Tahun 199 tentang Hak Asasi Manusia dan perlindungan hak
asasi manusia yang termaktub dalam XA UUD 1945, maka setiap tindakan penyidik
yang tidak memegang teguh prinsip kehati-hatian dan diduga telah melanggar hak
asasi manusia dapat dimintakan perlindungan kepada pranata pengadilan. Penetapan
tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang didalamnya kemungkinan
terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang termasuk dalam perampasan
hak asasi seseorang. Begitupula penggeledahan dan penyitaan merupakan bagian
dari mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari
penyidik atau penuntut umum dan karenanya termasuk dalam ruang lingkup
praperadilan.
Setelah
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan
Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan Kembali
Putusan Praperadilan, dimana dalam pasal
2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA)
tersebut menegaskan mengenai obyek Praperadilan adalah:
a.
sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan;
b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang
perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Berpijak pada ketentuan tersebut, maka wewenang Hakim dalam
praperadilan dapat diperinci:
1.
Melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya suatu
penangkapan;
2.
Melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya suatu
penahanan;
3.
Melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya suatu
penghentian penyidikan;
4.
Melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya suatu
penghentian penuntutan;
5.
Melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya penetapan
tersangka;
6.
Melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya
penggeledahan;
7.
Melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya penyitaan;
8.
Menetapkan ganti rugi dan atau rehabilitasi terhadap
mereka yang perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan;
Dengan demikian secara filosofis keberadaan Praperadilan adalah sarana pengawasan horizontal untuk menguji tindakan upaya paksa seperti halnya penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dan dalam perkembangannya termasuk pula penetapan tersangka yang secara limitatif terbatas pada tingkat pemeriksaan penyidikan dan penuntutan agar upaya paksa atau tindakan yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap Tersangka, benar-benar dilaksanakan sesuai ketentuan undang-undang, dilakukan secara profesional dan bukan tindakan yang sewenang-wenang dan bertentangan dengan hukum.