STATUS KEKAYAAN BUMN DALAM KEUANGAN NEGARA
STATUS KEKAYAAN BUMN DALAM KEUANGAN
NEGARA
LATAR BELAKANG
Bahwa
dalam menjalankan bisnisnya, BUMN (Badan Usaha Milik Negara) mengalami dilema,
dimana berkaitan dengan asset BUMN terdapat beberapa peraturan
perundang-undangan yang saling bertentangan. Dalam Pasal 2 huruf g Undang
Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), yang
selengkapnya sebagai berikut:
Pasal
2 huruf g :
“Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 1, meliputi : Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau
oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang barang, serta hak-hak lain
yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada
perusahaan negara/perusahaan daerah.”
Di sisi lain, ada pendapat bahwa walaupun
modal BUMN seluruhnya atau sebagian dimiliki oleh
negara, tetapi berasal dari kekayaan
negara yang dipisahkan melalui penyertaan secara langsung sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang
Badan Usaha Milik Negara, yang selengkapnya sebagai berikut :
Pasal 1 butir 1 :
“Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN,
adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh
negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara
yang dipisahkan.”
Apabila
merujuk pada pasal tersebut di atas maka ada pendapat bahwa pendiri BUMN adalah
Negara sebagai pemodal atau pemegang saham dalam BUMN, sehingga Negara sudah
tidak dapat mengutak atik modal yang sudah masuk dalam modal BUMN. Secara tegas
disebutkan dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang
Badan Usaha Milik Negara dan penjelasannya, pengelolaan kekayaan
Negara yang dimasukan dalam modal BUMN tidak didasarkan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pasal 4 ayat (l) :
“BUMN merupakan dan berasal
dari kekayaan negara yang dipisahkan”
Penjelasan
Pasal 4 ayat (1) :
“Yang dimaksud dengan dipisahkan
adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan
dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip
perusahaan yang sehat”
Dampak dari pertentangan peraturan perundangan dalam
pelaksanaan administrasi Negara tersebut, menyebabkan kebingungan dalam
penerapannya, sebagai contoh apabila BUMN mengalami kerugian apakah merupakan
kerugian negara yang dapat berujung pada penyidikan di perkara korupsi ataukah
kerugian tersebut hanya berimplikasi dalam ruang lingkup hukum perdata /
korporasi. Berdasarkan hal tersebut penting kiranya untuk menjelaskan mengenai
status dari kekayaan BUMN dalam keuangan negara.
PEMBAHASAN
1.
Keuangan
Negara
Pengertian keuangan negara tidak ditemukan satu pengertian
yang dapat diterima bagi semua kalangan sehingga definisi tentang keuangan
negara dapat ditemukan dalam beberapa pendapat ahli daiantaranya:[1]
- Menurut
M. Ichwan, Keuangan negara
adalah rencana kegiatan secara kualitatif (dengan angka-angka di antaranya
diwujudkan dalam jumlah mata uang), yang akan dijalankan untuk masa
mendatang, lazimnya satu tahun mendatang.
- Menurut Geodhart,
Keuangan negara merupakan keseluruhan undang-undang yang ditetapkan secara
periodik yang memberikan kekuasaaan pemerintah untuk melaksanakan
pengeluaran mengenai periode tertentu dan menunjukkan alat pembiayaan yang
diperlukan untuk menutup pengeluaran tersebut. Unsur-unsur keuangan negara
menurut Geodhart meliputi: Periodik; Pemerintah sebagai pelaksana
anggaran; Pelaksanaan anggaran mencakup dua wewenang, yaitu wewenang
pengeluaran dan wewenang untuk menggali sumber-sumber pembiayaan untuk
menutup pengeluaran-pengeluaran yang bersangkutan; Dan bentuk anggaran
negara adalah berupa suatu undang-undang.
- Menurut Van der
Kemp, Keuangan negara adalah semua hak yang dapat dinilai dengan uang,
demikian pula segala sesuatu (baik berupa uang maupun barang) yang dapat
dijadikan milik negara berhubungan dengan hak-hak tersebut.
- Seminar ICW tanggal 30 Agustus-September 1970 di Jakarta, antara
lain, merekomendasikan pengertian keuangan negara adalah semua hak
kewajiban yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu, baik berupa
uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Pengertian keuangan Negara
sebagai salah satu rekomendasi seminar ICW tersebut dinilai mendekati
pengertian keuangan negara menurut Van der Kemp.
Dalam pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang
Keuangan Negara dinyatakan: “kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola
sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang,
serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang
dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah”. Dalam penjelasan
Undang-Undang Keuangan Negara berkaitan dengan pengertian dan ruang lingkup
keuangan negara dijelaskan sebagai berikut: “Pengertian yang digunakan dalam
merumuskan keuangan negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses dan tujuan.
Dari sisi obyek yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan
kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang
dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang
dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut. Dari sisi subyek dimaksud dengan keuangan negara meliputi seluruh
obyek sebagaimana tersebut diatas dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh
pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain
yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, keuangan negara
mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan pengelolaan obyek
sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan
keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan keuangan negara
meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum atau penguasaan obyek
sebagaimana tersebut diatas dalam rangka pemerintahan negara. Bidang
pengelolaan keuangan negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub
bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang
pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan”
Pengertian keuangan negara dalam arti luas juga terdapat
pada UU No 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 1 angka 1
menyatakan: Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban
keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan yang
ditetapkan dalam APBN dan APBD. Pengertian
keuangan negara menurut UUD 1945 dengan melakukan penafsiran dogmatis dan
penafsiran restriktif, dengan menghubungkan Pasal 23 ayat (1), ayat (2) dan
ayat (3), yang dimaksudkan dengan keuangan negara tidak lain adalah Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Untuk dapat memahami keuangan negara Arifin P. Soeria Atmadja memberikan
tiga interpertasi terhadap Pasal 23 UUD 1945, yaitu:[2]
- “...pengertian keuangan negara diartikan secara sempit
dan untuk itu dapat disebutkan sebagai keuangan negara yang bersumber pada
APBN, sebagai suatu sub-sistem dari suatu sistem keuangan negara dalam
arti sempit.” Jika didasarkan pada rumusan tersebut, keuangan negara
adalah semua aspek yang tercakup dalam APBN yang diajukan oleh pemerinah
kepada DPR setiap tahunnya. Dengan kata lain APBN merupakan deskripsi dari
keuangan negara dalam arti sempit, sehingga pengawasan terhadap APBN juga
merupakan pengawasan terhadap keuangan negara.
- Berkaitan dengan metode sistematikdan historis yang
menyatakan,” ...keuangan negara dalam arti luas, yang meliputi keuangan
negara yang berasal dari APBN, APBD, BUMN, BUMD, dan pada hakikatnya
seluruh harta kekayaan negara, sebagai suatu sistem keuangan negara...”.
Makna tersebut mengandung pemahaman keuangan negara dalam arti luas,
adalah segala sesuatu kegiatan atau aktivitas yang berkaitan erat dengan
uang yang diterima atau dibentuk berdasarkan hak istimewa negara untuk
kepentingan publik. Pemahaman tersebut kemudian lebih diarahkan pada dua
hal, yaitu hak dan kewajiban negara yang timbul dan makna Keuangan Negara.
Adapun yang dimaksud dengan hak tersebut adalah hak menciptakan uang; hak
mendatangkan hasil, hak melakukan pungutan, hak meminjam, dan hak memaksa.
Adapun kewajiban adalah kewajiban menyelenggarakan tugas negara demi
kepentingan masyarakat, dan kewajiban membayar hak-hak tagihan pihak
ketiga berdasarkan hubungan hukum atau hubungan hukum khusus.
- Melalui “pendekatan sistematik dan teologis atau sosiologis terhadap keuangan negara yang dapat memberikan penafsiran yang relatif lebih akurat sesuai dengan tujuannya.” Maksudnya adalah, “Apabila tujuan menafsirkan keuangan negara tersebut dimaksudkanuntuk mengetahui sistem pengurusan dan pertanggungjawabannya, maka pengertian keuangan negara apabila pendekatannya dilakukan dengan menggunakan cara penafsiran sistematis dan teologis untuk mengetahui pengertian keuangan negara dalam arti luas, yakni termasuk didalamnya keuangan yang berada dalam APBN, APBD, BUMN/BUMD dan pada hakikatnya seluruh kekayaan negara merupakan objek pemeriksaan dan pengawasan”.
2. Modal Negara Pada BUMN dan Statusnya Sebagai Perseoran Terbatas
Berkaitan dengan modal negara pada BUMN sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 4 ayat (1) UU BUMN. Menurut Pasal 1 angka 10 BUMN, kekayaan negara yang berasal dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya. Rudhy Prasetya, memaparkan secara universal berlaku ajaran tentang ‘separate legal entity’ (badan hukum/korporasi), bahwa suatu harta kekayaan yang telah dipisahkan dan dimasukkan sebagai modal ke dalam korporasi/badan hukum, harta kekayaan itu menjadi harta korporasi dan tidak dapat diperlakukan sebagai harta kekayaan pemilik awal.[3]
Ketidakjelasan status hukum BUMN yang selain tunduk pada UU BUMN, juga harus mengikuti UU Perseroan Terbatas, paket UU bidang Keuangan Negara, paket UU bidang Pemeriksaan dan Pengawasan, serta peraturan perundang-undangan sektoral yang dalam pelaksanaannya terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kegiatan operasional BUMN mengakibatkan pemerintah menganggap dapat campur tangan dalam pengelolaan dan manajemen BUMN. Pemerintah cenderung memperlakukan BUMN sebagai organisasi birokrasi, padahal BUMN adalah organisasi bisnis. BUMN banyak dikendalikan oleh birokrasi pemerintah dan berlaku banyak peraturan yang tergolong hukum publik
Ketidakjelasan status hukum BUMN yang selain tunduk pada UU BUMN, juga harus mengikuti UU Perseroan Terbatas, paket UU bidang Keuangan Negara, paket UU bidang Pemeriksaan dan Pengawasan, serta peraturan perundang-undangan sektoral yang dalam pelaksanaannya terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kegiatan operasional BUMN mengakibatkan pemerintah menganggap dapat campur tangan dalam pengelolaan dan manajemen BUMN. Pemerintah cenderung memperlakukan BUMN sebagai organisasi birokrasi, padahal BUMN adalah organisasi bisnis. BUMN banyak dikendalikan oleh birokrasi pemerintah dan berlaku banyak peraturan yang tergolong hukum publik
Arifin P Soeria Atmadja mengkritik
mengenai ketidak jelasan status UU BUMN terkait dengan pengertian keuangan
Negara, karena dalam UU Keuangan Negara selain tidak memuat batasan yang jelas
substansi keuangan negara, undang-undang ini pun secara akademik sama sekali
tidak memenuhi syarat rumusan materi sebuah undang-undang. Lebih lanjut
dikemukakan bahwa UU Keuangan Negara mengatur substansi yang berada di luar
lingkungan kuasa keuangan negara karena mengatur pula keuangan daerah maupun
keuangan BUMN dan BUMD yang bukan dalam ruang lingkup bidangnya.[5] Dikaitkan dengan prinsip kekayaan
terpisah dalam perseroan, maka kekayaan negara yang telah dipisahkan pada BUMN
bukan lagi merupakan milik negara dan tanggung jawab negara. Negara pada saat yang bersamaan dengan pemisahan
kekayaan tersebut tidak lagi memiliki imunitas publik sehingga kedudukannya
sama halnya dengan pemegang saham lainnya. Hubungan antara pemegang saham sama
dan sederajat secara hukum.[6]
Pemisahan kekayaan negara tersebut
mengakibatkan transformasi hukum dari status hukum keuangan publik menjadi
status hukum keuangan privat.[7]
Persero harus memenuhi unsur-unsur badan hukum seperti yang ditentukan dalam
Undang-undang Perseroan Terbatas. Unsur-unsur tersebut adalah organisasi yang
teratur, harta kekayaan sendiri, melakukan hubungan hukum sendiri, dan
mempunyai tujuan sendiri.[8]
Doktrin
hokum yang digunakan dalam UU Keuangan Negara dimana menyatakan kekayaan BUMN
persero juga merupakan kekayaan Negara adalah bersumber dari kewajiban Negara
sebagai penyedia pelayanan dasar kepada masyrakat sebagaimana mandat konstitusi
pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan : “Cabang-cabang
produksi penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh Negara”. Dibentuknya BUMN yang bergerak pada sector-sektor
produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak merupakan bagian
dari peran Negara untuk menyediakan pelayanan dasar dan pemenuhan kebutuhan
masyarakat yang tujuannya sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Oleh karena
BUMN bergerak dalam sector-sektor penting yang menguasai hajat hidup orang
banyak maka pengelolaan keuangannya harus dapat efisien, ekonomis, transparan,
dapat dipertanggungjawabkan dan diawasi penggunaannya.
Bagir Manan
berpendapat walaupun kekayaan Negara yang dipisahkan pengelolaannya ditujukan
untuk mendapatkan keuntungan atau profit
motive, namun di samping itu dapat tujuan yang lebih strategis yaitu untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat untuk mencapai tujuan bernegara.[9]
BUMN bertugas menyediakan barang dan jasa yang termasuk antara sector public
dan sector privat, diantaranya : 1) Barang yang merupakan kebutuhan dasar dan
hajat hidup orang banyak, 2) Orang yang memanfaatkan harus membeli dengan harga
yang terjangkau, 3) Disediakan terus menerus dalam kondisi apapun. BUMN
didirikan tidak semata-mata untuk mencari untung melainkan untuk memenuhi dan
menjamin kebutuhan public secara berkesinambungan dan wajar, sehingga misi
utama BUMN adalah memenuhi kebutuhan public secara terus menerus dalam keadaan
apapun, baru kemudian mencari untung[10].
Berdasarkan
hal tersebut BUMN Persero seolah terhimpit ciri kemandiriannya karena UU
Keuangan Negara kekayaan BUMN Persero mengesampingkan doktrin hokum corporate separate legal entity. Dalam
UU Keuangan Negara, definisi keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban
negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang
maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dalam penjelasan UU Keuangan Negara
dinyatakan bahwa pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara
adalah dari sisi objek, subjek, proses, dan tujuan. Dari sisi objek, yang
dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang
dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal,
moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu
baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut[11]
Di Pasal 1 UU BUMN dinyatakan,
”bahwa penyertaan negara merupakan kekayaan negara yang telah dipisahkan”, maknanya telah masuk
di ranah hukum privat, sementara UU Keuangan Negara memposisikan BUMN pada
tataran hukum publik. Pada sisi lain, Dalam
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 dinyatakan bahwa pengelolaan BUMN
Persero dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995 Jo.
Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang
Perseroan terbatas berikutperaturan pelaksanaannya. Hal tersebut berarti
undang-undang Perseroan Terbatas sesuai dengan asas lex spesialis derogat lex
generalis yang berlaku bagi BUMN Persero. Dengan demikian, jika terjadi
kerugian di suatu BUMN Persero maka
kerugian tersebut bukan merupakan kerugian keuangan negara melainkan kerugian
juga disebut sebagai risiko bisnis sebagai badan hukum privat. Merujuk Rudhi Prasetya penggunaan kata
“dipisahkan” merangkum pengertian sebagai berikut:
1)
Kekayaan negara tersebut bukan lagi
sebagai kekayaan negara, tetapi sebatas penyertaan modal dalam Persero, oleh
karena telah berubah menjadi harta kekayaan Persero, maka
2)
Jika terjadi kerugian sebagai akibat
risiko bisnis (business risk), harus
dipahami dan diperlakukan dalam konteks “business
judgement” berdasarkan “business judgement rules”.
Erman Rajagukguk berpendapat
bahwa BUMN merupakan badan hukum yang memiliki kekayaan sendiri.[12]
Dengan demikian, kekayaan BUMN Persero maupun kekayaan BUMN Perum sebagai badan
hukum bukanlah kekayaan negara. Selanjutnya Erman Rajagukguk juga
berpendapat bahwa “Kekayaan negara yang dipisahkan” dalam Badan Usaha Milik
Negara secara fisik adalah berbentuk saham yang dipegang oleh negara, bukan
harta kekayaan Badan Usaha Milik Negara itu.[13]
Mahkamah Agung dengan Surat Mahkamah Agung Nomor : WKMA/Yud/20/VIII/2006 tanggal
16 Agustus 2006 yang kemudian dikenal dengan fatwa Mahkamah Agung berpendapat:
1.
Bahwa Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara berbunyi: “Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut
BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki
oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan
negara yang dipisahkan”
Pasat 4
ayat (l) undang-undang yang sama menyatakan bahwa “BUMN merupakan dan berasal
dari kekayaan negara yang dipisahkan”
Dalam
penjelasan Pasal 4 ayat (1) tersebut dikatakan bahwa “Yang dimaksud dengan
dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk
selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun pembinaan dan pengelolaannya
didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat”;
2.
Bahwa dalam pasal-pasal tersebut di atas, yang merupakan undang-undang
khusus tentang BUMN, jelas dikatakan bahwa modal BUMN berasal dari kekayaan
negara yang telah dipisahkan dari APBN dan selanjutnya pembinaan dan
pengelolaannya tidak didasarkan pada sistem APBN melainkan didasarkan pada
prinsip-prinsip perusahaan yang sehat;
3.
Bahwa Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara menyebutkan : “Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar
kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan
uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah”; Bahwa oleh
karena itu piutang BUMN bukanlah piutang Negara;
4.
Bahwa meskipun Pasal 8 Undang-Undang No. 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia
Urusan Piutang Negara menyatakan bahwa “piutang Negara atau hutang kepada
Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Negara atau Badan-badan
yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh Negara berdasarkan
suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun” dan dalam penjelasannya
dikatakan bahwa piutang Negara meliputi pula piutang “badan-badan yang umumnya
kekayaan dan modalnya sebagian atau seluruhnya milik Negara, misalnya Bank-bank
Negara, P.T-P.T Negara, Perusahan-Perusahaan Negara, Yayasan Perbekalan dan
Persedian, Yayasan Urusan Bahan Makanan dan sebagainya”, serta Pasal 12 ayat
(1) undang-undang yang sama mewajibkan Instansi-instansi Pemerintah dan
badan-badan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 untuk menyerahkan
piutang-piutang yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum akan tetapi
penanggung hutangnya tidak mau melunasi sebagaimana mestinya kepada Panitia
Urusan Piutang Negara, namun ketentuan tentang piutang BUMN dalam Undang-Undang
No. 49 Prp. Tahun 1960 tersebut tidak lagi mengikat secara hukum dengan adanya
Undang Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang merupakan
undang-undang khusus (lex specialis) dan lebih baru dari Undang-Undang No. 49
Prp. Tahun 1960;
5.
Bahwa begitu pula halnya dengan Pasal 2 huruf g Undang-Undang No. 17 Tahun
2003 yang berbunyi : Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1
meliputi : “g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh
pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain
yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada
perusahaan negara/perusahaan daerah” yang dengan adanya Undang Undang Nomor 19
Tahun 2003 tentang BUMN maka ketentuan dalam Pasal 2 huruf g khusus mengenai
“kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah” juga tidak mempunyai kekuatan mengikat secara
hukum;
6. Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, dapat dilakukan perubahan
seperlunya atas Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Penghapusan Piutang Negara/Daerah.
Menyusul Fatwa Mahkamah Agung
tersebut Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006,
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata
Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.
Terbitnya Fatwa Mahkamah Agung tersebut, ditanggapi oleh Kementerian
Negara BUMN yang sebagaimana tertuang dalam suratnya No. S- 298/S.MBU/2007 25
Juni 2007 tertanggal 25 Juni 2007 yang ditujukan kepada Direksi, Komisaris, dan
Dewan Pengawas BUMN tentang hubungan UU Keuangan
Negara dengan UU BUMN yang isinya dapat disimpulkan sebagai berikut[15]
:
Sesuai dengan
UU Keuangan Negara dan UU BUMN, maka kekayaan Negara yang ada pada BUMN hanya
sebatas modal/saham, untuk selanjutnya dikelola secara korporasi sesuai dengan
kaidah-kaidah hukum korporasi, tidak lagi dikelola berdasarkan kaidahkaidah
hukum kekayaan Negara. Berdasarkan kedua undang-undang tersebut, mengingat
ruang lingkup Keuangan Negara terdiri dari kekayaan Negara yang tidak
dipisahkan dan kekayaan Negara yang dipisahkan, maka dalam pengelolaan keuangan
Negara berlaku dua kaidah atau rezim hukum, yaitu kaidah hukum Keuangan Negara
yang mengatur pengelolaan kekayaan Negara yang tidak dipisahkan (APBN/APBD),
dan kaidah hukum Korporasi yang mengatur pengelolaan kekayaan Negara yang
dipisahkan (BUMN/BUMD). Bagi BUMN memang berlaku kedua rezim hukum tersebut,
namun rezim hukum Keuangan Negara hanya berlaku bagi BUMN sebatas yang terkait
dengan permodalan dan eksistensi BUMN. Misalnya, di dalam UU BUMN diatur bahwa
pendirian, penggabungan, peleburan, pengambilalihan, perubahan modal,
privatisasi, dan pembubaran BUMN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, dan
bahkan dalam prosesnya melibatkan Menteri Teknis, Menteri Keuangan, Presiden,
dan DPR. Sedangkan tindakan-tindakan operasional (di luar permodalan dan
eksistensi BUMN), tunduk sepenuhnya kepada rezim hukum Korporasi. Hal tersebut jelas dinyatakan dalam
Pasal 11 UU BUMN yang menyatakan bahwa terhadap Persero berlaku segala
ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana
diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1995 (sekarang UU No. 40 Tahun2007 tentang
Perseroan Terbatas)
Pendapat
mengenai keuangan BUMN bukan merupakan keuangan negara juga sangat beralasan
apabila merujuk pada pasal 23 Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan :
“Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan
negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara
terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat”.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat ditafsirkan keuangan negara adalah yang
dikelola berdasarkan APBN, sedangkan yang dikelola diluar APBN bukan termasuk
keuangan negara.
Sebelum
pemerintah melakukan pemisahan kekayaan negara dalam rangka penyertaan BUMN,
uang tersebut masih berstatus uang publik, karena sebelum penyertaan modal
terjadi, negara masih berstatus sebagai badan hukum publik yang tunduk dengan
hukum publik. Namun setelah BUMN berdiri, kedudukan negara sebagai badan hukum
publik seketika bertransformasi menjadi badan hukum privat, yaitu melakukan
pendirian badan hukum BUMN, sehingga terjadilah transformasi dari uang publik
menjadi uang privat.[16] Erman Rajagukguk menambahkan bahwa dalam kenyataannya sekarang ini tuduhan
korupsi juga dikenakan terhadap tindakan direksi BUMN dalam transaksi-transaksi
yang didalilkan dapat merugikan negara. Dapat dikatakan telah terjadi salah pengertian dan penerapan
apa yang dimaksud dengan keuangan negara.[17]
Penyertaan atas modal saham itu sendiri menurut Pasal 34
ayat (1) UUPT dapat dilakukan dalam bentuk uang dan/atau dalam bentuk lainnya.
Secara yuridis, modal yang disertakan ke dalam perseroan bukan lagi menjadi
kekayaan orang menyertakan modal, tetapi menjadi kekayaan perseroan itu
sendiri. Di sini terjadi pemisahan kekayaan antara kekayaan pemegang saham dan
perseroan. Dengan karakteristik yang demikian, tanggung jawab pemegang saham
atas kerugian atau utang perseroan juga terbatas. Utang atau kerugian tersebut
semata-mata dibayar secukupnya dari harta kekayaan yang tesedia dalam
perseroan.[18]
Fatwa hukum MA tersebut sebenarnya menjadi penegasan bahwa
semua undang-undang yang menentukan kekayaan negara atau kekayaan daerah yang
telah dipisahkan menjadi modal BUMN, persero dan perusahaan daerah yang
berbentuk perseroan terbatas, bukan lagi merupakan kekayaan negara atau
kekayaan daerah yang berbentuk perseroan terbatas. Fatwa ini juga menegaskan
bahwa unsur merugikan keuangan negara sebagai salah satuunsur pidana korupsi,
tidak lagi dapat dikenakan pada BUMN serta perusahaan daerah, Implikasi lain
dari fatwa ini adalah: pertama, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak lagi mempunyai kekuasaan atau
kewenangan untuk memeriksa atau mengaudit keuangan badan-badan hukum tersebut.
Sebab, kekuasaan BPK dan BPKP untuk mengaudit badan hukum itu tidak lagi
mempunyai kekuatan hukum sejak adanya fatwa MA; kedua, aturan yang memberi
kekuasaan kepada lembaga pemerintah, Presiden dan DPR untuk ikut campur atau
membatasi kewenangan BUMN atau persero untuk mengurangi jumlah tagihan kepada
debitur (haircut),tidak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Perseroan
Terbatas (Persero) dapat menentukan peraturan internal sepenuhnya merupakan hak
perser
oan
terbatas, baik yang persero maupun yang bukan.
Dengan adanya UU BUMN, maka ketentuan Pasal 8 Undang-Undang
Nomor 49 Prp. Tahun 1960 Tentang Panitia Urusan Piutang Negara, Pasal 2 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan
Negara, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan
Negara, Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, khusus mengenai kekayaan yang
dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah menjadi tidak lagi
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
KESIMPULAN
BUMN merupakan
badan hukum privat dan memperhatikan prinisp separate legal entity’ (badan hukum/korporasi), dimana suatu harta kekayaan
yang telah dipisahkan dan dimasukkan sebagai modal ke dalam korporasi/badan
hukum, harta kekayaan itu menjadi harta korporasi dan tidak dapat diperlakukan
sebagai harta kekayaan pemilik awal, sehingga keuangan negara yang ditempatkan
pada BUMN tersebut bukanlah aset negara melainkan aset BUMN sebagai badan hukum
privat.
[2] Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum
Praktik dan Kritik, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,
2005, hlm. 95
[3]
Rudhi Prasetya, Badan Hukum
Korporasi, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2008, hal. 10
[4] Tan Kamello, Loc.Cit.
[5] Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum,Teori,
Kritik, dan Praktik, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 74.
[6] Hans Kelsen, Introduction
to The Problems of Legal Theory (Pengantar Teori Hukum), Alihbahasa: Siwi
Purwandari dan Nurainun Mangunsong, Nusa Media, Bandung, 2009, hlm.141
[7]
Ibid. hlm.77
[8] Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, PT RadjaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm.
8-9
[9] Pendapat Prof. Bagir Manan dalam
keterangannya di sidang Mahkamah Konstitusi perkara No. 62/PUU-XI/201/2013
[10] Nurcholis, Hanif, Teori dan Praktik Pemeritahan dan Otonomi Daerah, Jakarta, PT.
Grasindo, halaman 287
[11] Arifin P.Soria Atmadja,“Sumber-sumber Keuangan Negara”, Laporan
Akhir Kompendium Bidang Hukum Keuagan Negara, Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Kementerian Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2012, hal. 9-10
[12] Erman Rajagukguk, Tetes Pemikiran 1971-2006, Depok,
Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi Universitas Indonesia, 2006, hlm 384
[13]
Ibid.
[14]
Surat Mahkamah Agung Nomor : WKMA/Yud/20/VIII/2006tertanggal 16 Agustus 2006
(yang kemudian terkenal dengan fatwa Mahkamah Agung) yang isinya sebagai
berikut :
[15]
Gatot Supramono, “Kedudukan BUMN Dalam
Hubungannya Dengan Keuangan Negara dan Pengaruhnya Terhadap Penyelesaian
Sengketa Perdata di Pengadilan”, Paper Diskusi Pengadilan Tinggi
Banjarmasin.
[16] Ibid
[17] Erman Rajagukguk, Nyanyi
Sunyi Kemerdekaan Menuju Indonesia Negara Hukum Demokratis, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi, Depok, 2006, hlm. 9.
[18] Ridwan Khairandy, Konsepsi
Kekayaan Negara Yang Dipisahkan Dalam Perusahaan Perseroan, Jurnal Hukum Bisnis
Vol. 26-No.1/2007, hlm. 35