SURAT HIJAU, POLEMIK YANG TIDAK TERTUNTASKAN DI SURABAYA


Dalam berita yang dilansir oleh http://www.jawapos.com/baca/artikel/3628/rencana-pelepasan-tanah-surat-ijo-di-surabaya-,  Pemerintah Kota menyatakan berdasarkan data yang dimilikinya menyebutkan setidaknya ada 36 ribu persil warga yang memenuhi syarat tersebut. Sebagian besar berada di Gubeng sebanyak 9.212 persil dan Wonokromo 7.073 persil. Berdasarkan Daftar Inventarisasi Tanah Yang Dikelola”, Surabaya: Dinas Pengelolaan Tanah Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya tahun 1996, jumlah total luas tanah yang termasuk dalam Surat Ijo sebesar 12.421.019,81 meter persegi (m²), meliputi wilayah Surabaya Utara 2.255.990,00 m², Surabaya Pusat 2.327.614,30 m², Surabaya Selatan 3.106.137,00 m², Surabaya Barat 525.780,50 m², Surabaya Timur 4.205.498,01 m², dari luas yang tersebut itu hampir semua kecamatan di Surabaya memiliki surat ijo. Surat Ijo sebenarnya adalah sebutan warga Surabaya untuk Surat Ijin Pemakaian Tanah, yang diterbitkan oleh Pemerintah Kota Surabaya bagi warga kota Surabaya yang menempati tanah yang “diklaim” asset milik Pemerintah Kota Surabaya. Mayoritas tanah-tanah yang diatasnya terbit surat hijau tersebut, Pemerintah Kota Surabaya memiliki alas hak berupa Sertipikat Hak Pengelolaan (HPL).

Sebagai contoh, atas tanah yang terlertak di daerah BarataJaya Surabaya, Pemerintah Kota Surabaya memiliki Sertipikat HPL yang terbit pada tahun 1997 dengan peruntukkan tanah salah satunya untuk Perumahan, namun menurut keterangan warga setempat, Pemerintah Kota sudah menarik uang sewa atas tanah-tanah tersebut jauh sebelum tahun 1997. Menurut keterangan warga pemegang "Surat IJo", sejarah kemunculan Surat Ijo diawali pada tahun 1970-1980-an ketika Pemerintah Kota Surabaya menjalankan program “pemutihan” tanah bagi warga Surabaya karena yang kebanyakan awam soal hukum menyadari bahwa program “pemutihan” Pemkot itu untuk mengangkat status kepemilikan tanahnya dari tanah kepemilikan secara hukum adat menjadi tanah kepemilikan secara hukum formal (1). Warga yang awam hukum tersebut berharap dengan program pemutihan tersebut warga memperoleh sertipikat Hak Guna Baangunan (HGB) di atas Hak Pengelolaan, dan selanjutnya setelah HGB. dapat dilanjutjkan menjadi Hak Milik.  Pemerintah Kota Surabaya saat itu memberi janji dan harapan pada warga untuk menyerahkan bukti-bukti kepemilikan tanah berupa Petok D, Petok Pajak Bumi, Zegel, dsb kepada Pemerintah Kota Surabaya dan bukan ke Kantor Pertanahan Kota Surabaya supaya program pemutihan Pemerintah Kota Surabaya tersebut dapat terlaksana dengan baik. Selain itu Pemerintah Kota Surabaya meminta kepada warga untuk menandatangani pernyataan bahwa warga tidak keberatan untuk Pemkot Surabaya mengajukan Hak Pengelolaan. Hingga akhirnya Pemerintah Kota Surabaya memperoleh Hak Pengelolaan kemudian menerbitkan Peraturan Daerah No. 1 Tahun 1997 tentang Ijin Pemakaian Tanah yang kemudian menjadi dasar hukum Pemerintah Kota Surabaya untuk menerbitkan Surat Ijin Pemakaian Tanah kepada warga untuk kemudian tiap tahun warga dibebani kewajiban membayar retribusi atas tanah tersebut. Hal tersebut membuat warga pemegang "surat ijo" bingung karena antara adanya perbedaan bukti hak atas tanah/bangunan dimana surat edaran yang disebarkan Pemerintah Kota Surabaya yang berisi akan menerbitkan hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan kepada warga, namun pada tahun 1997 warga diberikan Surat Ijin Pemakaian Tanah atau Surat Ijo, yang didalamnya terdapat ketentuan surat ijin pemakaian tanah tersebut dapat dicabut sewaktu-waktu apabila Pemerintah Kota Surabaya membutuhkan ditambah warga pemegang "surat ijo" dibebankan uang sewa kepada Pemerintah Kota Surabaya tiap tahunnya. Bagi sebagian warga kota surabaya (khususnya pemegang surat ijo) masih berharap untuk mendapatkan hak atas tanah, rumah dan tempat tinggal secara penuh dan ekslusif sesuai dengan Undang-Undang Pokok Agraria.

Bahwa semisal kebijakan Pemerintah Kota Surabaya melakukan penarikan uang sewa kepada warga Kota Surabaya sebelum tahun 1997 namun Pemerintah Kota Surabaya “baru” mendapatkan alas Hak Pengelolaan (HPL) atas sebagian tanah di Kota Surabaya pada tahun 1997 maka terdapat isu hukum yaitu apakah alas hak bagi Pemerintah Kota Surabaya untuk menarik sewa pada warga pada periode waktu antara tahun 1970 s/d 1997? dan apakah kebijakan penarikan sewa pada periode waktu tersebut sah dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku?.

Bahwa isu hukum selanjutnya adalah berkaitan dengan HPL yang diberikan kepada Pemerintah Kota Surabaya tanpa jangka waktu, hanya pada kolom jangka waktu hak tertulis “selama tanah tersebut dipergunakan sebagai Perumahan, Perdagangan, perkantoran/ tanah Negara / Industri, Pergudangan, Fasilitas Komersial, Fasilitas Sosial”, sehingga isu hukum lanjutannya adalah apakah Pemerintah Kota Surabaya telah memanfaaatkan tanah yang diatasnya muncul HPL tersebut untuk Perumahan, perdagangan, perkantoran/tanah Negara/industry, pergudangan, fasilitas komersial, fasilitas sosial? kemudian khusus pemanfaatan untuk Perumahan, apakah dengan memberikan surat ijin pemakaian tanah / surat ijo Pemerintah Kota Surabaya telah memenuhi fungsi untuk perumahan? terlebih dalam peraturan perundang-undangan pemegang hak pengelolaan harus menyerahkan bagian haknya atau dengan perjanjian kerjasama apabila atas obyek tanahnya apabila berhubungan dengan pihak ketiga. 

Hak pengelolaan secara tersurat tidak terdapat dalam Undang-Undang Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA). Istilah pengelolaan disebutkan dalam Penjelasan Umum Angka II Nomor 2 UUPA, yaitu :

Negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukkan dan keperluannya, misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atau memberikannya dalam pengelolaan  kepada suatu badan penguasa untuk digunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing”

Istilah Hak Pengelolaan awalnya muncul pada Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965, ditetapakan konversi hak penguasaan atas tanah Negara yaitu :

a.       Pasal 1
Jika hak penguasaan atas tanah Negara yang diberikan kepada departemen-departemen, direktorat-direktorat, dan daerah-daerah swantantra digunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu sendiri dikonversi menjadi Hak Pakai

b.      Pasal 2
Jika tanah Negara yang diberikan kepada departemen-departemen, direktorat-direktorat, dan daerah-daerah swantantra, selain digunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu sendiri, dimaksudkan juga untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka hak penguasaan atas tanah Negara tersebut dikonversi menjadi Hak Pengelolaan

Kemudian dalam Pasal 1 angka 3 Permen Agraria No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan disebutkan "Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.". Definisi hak pengelolaan secara jelas terdapat di dalam Penjelasan Pasal 2 ayat 3 huruf f UU No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (UU BPHTB) yaitu  Hak pengelolaan adalah "hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.

Bahwa Hak Pengelolaan adalah bagian dari Hak Negara untuk menguasai tanah dimana Negara melimpahkan sebagaian kewenangan untuk menguasai tanah kepada suatu departemen, direktorat atau daerah swantantra. Awalnya dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965, Wewenang yang diberikan kepada pemegang Hak Pengelolaan, adalah: 
a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut. 
b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya. 
c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan hak pakai          yang berjangka waktu 6 (enam) tahun.

Selanjutnya dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974 tersebut Hak Pengelolaan memberi wewenang untuk :
-         Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan ;
-         Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya ;
-       Menyerahkan bagian-bagian daripada tanah itu kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak tersebut yang meliput segi-segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu dan keuangannya, dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 tentang “Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak atas Tanah”, sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Berdasarkan Permendagri No. 1 Tahun 1977 tentang Tata cara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas bagian-bagian Tanah Hak Pengelolaan serta Pendaftarannya, dalam Pasal 2 disebutkan :

Bagian-bagian tanah hak pengelolaan yang diberikan kepada Pemerintah Daerah, Lembaga, Instansi dan atau Badan/Badan Hukum (milik) Pemerintah untuk pembangunan wilayah permukiman, dapat diserahkan kepada pihak ketiga dan diusulkan kepada Menteri Dalam Negeri atau Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan untuk diberikan dengan hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai, sesuai dengan rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang telah dipersiapkan oleh pemegang hak pengelolaan yang bersangkutan”.

Dalam Pasal 3 disebutkan :
            Ayat (1)
Setiap penyerahan penggunaan tanah yang merupakan bagian dari tanah hak pengelolaan kepada pihak ketiga oleh pemegang hak pengelolaan, baik yang disertai ataupun tidak disertai dengan pendirian bangunan di atasnya, wajib dilakukan dengan pembuatan perjanjian tertulis antara pihak pemegang hak pengelolaan dan pihak ke tiga yang bersangkutan.

Ayat (2)
Perjanjian termasuk dalam ayat (1) pasal ini memuat antara lain keterangan mengenai:
a. identitas pihak-pihak yang bersangkutan.
b. letak, batas -batas dan luas tanah yang dimaksud.
c. jenis penggunaannya.
d. hak atas tanah yang akan dimintakan untuk diberikan kepada pihak ketiga yang bersangkutan dan keterangan mengenai jangka waktunya serta kemungkinan untuk amemperpanjangnya.
e. jenis - jenis bangunan yang akan didirikan di atasnya dan ketentuan mengenai pemilikan bangunan-bangunan tersebut pada berakhirnya hak tanah yang diberikan.
f. jumlah uang pemasukan dan syarat-syarat pembayarannya.
g. syarat-syarat lain yang dipandang perlu.

Dalam Pasal 4 ayat (1) disebutkan :“Permohonan hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai diajukan oleh pihak ketiga yang memperoleh penunjukan/penyerahan tersebut pada pasal 2 dengan perantara pemegang hak pengelolaan yang bersangkutan

Kemudian ketentuan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999, berkaitan dengan pemegang hak pengelolaan yaitu dalam "hal tanah yang dimohon merupakan tanah hak pengelolaan, pemohon harus terlebih dahulu memperoleh penunjukan berupa perjanjian penggunaan tanah dari pemegang hak pengelolaan. dengan telah dibuatnya perjanjian penggunaan tanah, maka tercipta hubungan hukum antara pemegang hak pengelolaan dengan pihak ketiga"

Kemudian dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 112 Tahun 2000. Hak pengelolaan berisikan kewenangan untuk: 
a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut. 
b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya.
c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau           bekerja sama dengan pihak ketiga.

Bahwa dalam peraturan perundang-undangan diatas disebutkan bahwa hak yang dimiliki oleh pemegang Hak Pengelolaan adalah menggunakan tanah untuk pelaksanaan tugasnya dan menyerahkan bagian-bagian tanah hak pengelolaan kepada pihak ketiga atau bekerjasama dengan pihak ketiga. Apabila merujuk pada peraturan perundang undangan tersebut Pemerintah Kota Surabaya seharusnya menyerahkan bagian-bagian tanahnya kepada warga kota Surabaya setidak-tidaknya dengan Hak Guna Bangunan (HGB) atau Hak Guna Usaha (HGU).  Sehingga  perlu dikaji kembali kebijakan oleh Pemerintah Kota Surabaya kepada sebagian warga Surabaya atas penerbitan Surat Ijin Pemakaian Tanah, mengenai siapa sebenarnya yang berhak mendapatkan Sertipikat hak atas tanah, serta apakah penerbitan Perda Kota Surabaya No. 1 Tahun 1997 tentang Surat Ijin Pemakaian Tanah dan penerbitan Surat Ijin Pemakaian Tanah / Surat Ijo telah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan agar kebijakan Pemerintah Kota Surabaya nantinya dapat mengakomodir kepentingan masyarakat umum terlebih warga kota Surabaya yang yang ingin mendapatkan kepastian hukum atas hak berkaitan dengan rumah yang ditempatinya.

     Problematika surat ijo ini dari waktu ke waktu tidak dapat dituntaskan walapun Surabaya telah beberapakali berganti Walikota, diharapkan adanya kajian kembali mengenai kebijakan tersebut agar keadilan dapat dirasakan bersama baik untuk pihak warga maupun pemerintah kota.

Daftar Pustaka

(1) Wahyu Surya Dharma, Dinamika Gerakan Rakyat Anti Surat Ijo Surabaya (Geratis) 
(2) Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013