Minggu, 18 Desember 2016

PENYELESAIAN GUGATAN SEDERHANA (SMALL CLAIMS COURT) DI INDONESIA

      Seringkali masyarakat pada umumnya takut untuk berurusan di Pengadilan dikarenakan masyarakat umum menganggap berurusan di Pengadilan melalui prosedur yang berbelit-belit memakan waktu yang lama dan biaya yang dibutuhkan cukup besar. Atas permasalahan tersebut Mahkamah Agung RI pada tanggal 7 Agustus 2015 melakukan terobosan dengan menetapkan Peraturan Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana (Perma 2/2015)Peraturan Mahkamah Agung tersebut dibuat dengan tujuan untuk mendukung asas peradilan sederhana, cepat dan berbiaya ringan untuk membuka akses yang luas bagi masyarakat untuk memperoleh keadilan. 
      Bentuk penyelesaian sengketa melalui gugatan sederhana atau Small Claims Court sudah diterapkan di banyak Negara, sebagai contoh di Inggris Raya dan di Amerika Serikat. Di Kota Nothern Ireland, Inggris raya salah satu syarat mengajukan gugatan sederhana adalah nominal gugatannya tidak boleh melebihi £3.000 (tiga ribu poundsterling)[1]. Di Kota New York, Amerika Serikat, syarat pengajuan gugatan sederhana adalah petitumnya tidak boleh melebihi $5.000 (lima ribu dollar amerika) dan tidak boleh menuntut lain selain pembayaran ganti rugi materiil, bahkan gugatan sederhana sering juga disebut “People court” karena dianggap berbiaya ringan dan sederhana penyelesaiannya[2].
            Di Indonesia, melalui Perma 2/2015 disebutkan yang dimaksud Penyelesaian Gugatan Sederhana adalah tata cara pemeriksaan di persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan materiil paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) yang diselesaikan dengan tata cara dan pembuktian yang sederhana (vide : Pasal 1 butir 1 Perma 2/2015). Hal yang menjadi pembeda dalam penyelesaian gugatan sederhana dengan gugatan biasa salah satunya adalah pada nominalnya, yaitu di bawah 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).  
Dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, disebutkan ruang lingkup dari gugatan sederhana adalah : cidera janji (wanprestasi) dan atau perbuatan melawan hukum dengan nilai gugatan materiil paling banyak dua juta rupiah (vide:pasal 3 ayat (1)). Sedangkan yang tidak termasuk dalam ruang lingkup gugatan sederhana adalah: 1) perkara yang penyelesaian sengketanya dilakukan melalui pengadilan khusus sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan; atau 2) sengketa hak atas tanah (vide: pasal 3 ayat (2)).

Persyaratan dalam mengajukan gugatan sederhana diatur dalam pasal 4 Perma 2/2015 sebagai berikut :
(1) Para pihak dalam gugatan sederhana terdiri dari penggugat dan tergugat yang masing-masing tidak boleh lebih dari satu, kecuali memiliki kepentingan hukum yang sama.
(2) Terhadap tergugat yang tidak diketahui tempat tinggalnya, tidak dapat diajukan gugatan sederhana.
(3)  Penggugat dan tergugat dalam gugatan sederhana berdomisili di daerah hukum Pengadilan yang sama.
(4)  Penggugat dan tergugat wajib menghadiri secara langsung setiap persidangan dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum.

 Tahapan-tahapan dalam persidangan sederhana berbeda dengan persidangan perkara perdata biasa, yang membedakan diantaranya:
-      Dalam perkara gugatan sederhana diperiksa dan dipimpin oleh hakim tunggal dan waktunya dibatasi maksimal 25 hari, yang dihitung sejak hari sidang pertama.
-    Dalam tahapan perkara gugatan sederhana, terdapat pemeriksaan pendahuluan, yang mana dalam tahap ini, hakim tunggal menilai dan menentukan apakah gugatan yang diajukan termasuk dalam gugatan sederhana atau tidak. Apabila tidak termasuk dalam gugatan sederhana, hakim mengeluarkan penetapan yang menyatakan gugatan bukan gugatan sederhana. Terhadap penetapan tersebut tidak ada upaya hukum. Sebaliknya apabila gugatan tersebut memenuhi syarat sebagai gugatan sederhana maka hakim menetapkan hari sidang pertama.
-  Dalam sidang pertama, hakim wajib mengupayakan perdamaian, apabila tidak ada kesepakatan perdamaian pada sidang pertama, persidangan dilanjutkan dengan pembacaan gugatan dan jawaban dari tergugat setelah itu lanjut ke acara pembuktian. Hal mencolok yang membedakan antara perkara gugatan sederhana dengan perkara perdata biasa adalah dalam acara gugatan sederhana tidak mengenal eksepsi, rekonvensi, permohonan provisi, replik, duplik dan atau kesimpulan.
-   Setelah putusan diucapkan tidak ada upaya hukum banding. Kasasi ataupun peninjauan kembali. Dalam pemeriksaan gugatan sederhana upaya hukum yang dikenal adalah upaya hukum keberatan yang diajukan paling lambat 7 hari setelah putusan dibacakan. Atas Putusan keberatan tersebut tidak dapat dilakukan upaya hukum banding, kasasi ataupun peninjauan kembali.

        Dengan demikian, terobosan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung RI ini diharapkan dapat membantu masyarakat dari seluruh lapisan untuk memperjuangkan hak-haknya.


[1] Nothern Ireland Courts and Tribunal Services, “Small Guide to Smart Claims”, 
[2] Jonathan Lippman, dkk, “Your Guide to Smart Claims & Commercial Small Claims in New York City, Nassau County Suffolk County”, Access to Justice New York City Courts, New York, USA, 2010, h.1
[3] Henry P. Panggabean. Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-Hari. Jakarta: Sinar Harapan, 2001, h.144

Kamis, 08 Desember 2016

TANGGUNG JAWAB DAN TANGGUNG GUGAT



            Seringkali istilah tanggung jawab dan tanggung gugat dalam masyarakat dianggap sama. Hal tersebut disebabkan oleh kurang digunakannya bahasa tanggung gugat dalam masyarakat sehari-hari sehingga banyak orang berasumsi bahwa tanggung jawab adalah sama dengan tanggung gugat
Mengenai tanggung jawab dengan tanggung gugat, beberapa ahli menyampaikan pendapat yang berbeda satu dengan lainnya.. Menurut Martono, tanggung jawab secara umum dapat berarti tiga macam, masing-masing accountability, responsibility dan liability.[1] Tanggung jawab dalam arti accountability adalah tanggung jawab yang ada kaitannya dengan keuangan atau kepercayaan, misalnya akuntan harus mempertanggung jawabkan laporan pembukuannya. Tanggung jawab dalam arti responsibility adalah tanggung jawab dalam arti hukum publik. Pelaku dapat dituntut di depan pengadilan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik pidana pelanggaran maupun kejahatan atau dikenakan sanksi administrasi oleh atasannya apabila orang tersebut tidak melakukan tugasnya sebagaimana dicantumkan dalam surat keputusan pengangkatannya. Sedangkan tanggung jawab dalam arti liability adalah tanggung jawab hukum menurut hukum perdata.[2]
J.H. Nieuwenhuis, berpendapat bahwa tanggung gugat merupakan kewajiban untuk menanggung ganti kerugian sebagai akibat pelanggaran norma. Perbuatan melanggar norma tersebut dapat terjadi disebabkan karena (1) perbuatan melawan hukum; dan  (2) wanprestasi.[3] Sejalan dengan pendapat tersebut, Peter Mahmud Marzuki berpendapat bahwa, tanggung jawab dalam arti liability diartikan sebagai tanggung gugat sebagai terjemahan dari liability/aansprakelijkheid yang merupakan bentuk spesifik dari tanggung jawab. Tanggung gugat merujuk kepada posisi seseorang atau badan hukum yang dipandang harus membayar suatu bentuk kompensasi atau ganti rugi setelah adanya peristiwa hukum atau tindakan hukum. Ia, misalnya harus membayar ganti kerugian kepada orang atau badan hukum lain karena telah melakukan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) sehingga menimbulkan kerugian bagi orang atau badan hukum lain tersebut. Istilah tanggung gugat berada dalam ruang lingkup hukum privat.[4]
            Berdasarkan hal tersebut di atas maka makna tanggunggugat/ liability mempunyai makna yang lebih sempit dibandingkan dengan tanggung jawab / responsibility, karena tanggunggugat / liability hanya digunakan dalam ranah hukum privat atau perdata.


[1]  K. Martono, Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan, Edisi Pertama,  RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm 306-307.
[2]  Ibid., hlm.308
[3] J.H. Nieuwenhuis, Hoofdstukken Verbintenissenrecht, terjemahan, Universitas Airlangga, Surabaya, 1985, hlm 135.

[4] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2008, hlm 258